Manikam Sudah Menjadi Sekam: Refleksi Kehilangan Nilai Sejati
Dalam khazanah peribahasa Indonesia yang kaya, terdapat sebuah ungkapan yang menusuk sanubari, sarat makna, dan kerap kali menjadi cermin pahit realitas kehidupan: "manikam sudah menjadi sekam." Peribahasa ini, yang seolah-olah berbisik dari kedalaman kebijaksanaan leluhur, bukan sekadar rangkaian kata indah yang disusun rapi; ia adalah sebuah epitaf bagi nilai yang sirna, sebuah metafora pedih bagi potensi yang terabaikan, dan sebuah peringatan keras akan kerapuhan keindahan serta kebaikan di hadapan berbagai ujian, godaan, dan tantangan yang tak henti-hentinya menerpa eksistensi.
Manikam, yang secara harfiah berarti permata atau intan, adalah simbol kemuliaan, nilai tak tergantikan, keindahan yang abadi, serta substansi yang mendalam dan esensial. Ia adalah esensi yang paling berharga, sesuatu yang dijaga dengan penuh kasih sayang, diasah dengan teliti dan penuh dedikasi, serta dipamerkan dengan bangga sebagai bukti keunggulan dan kemurnian. Manikam berbicara tentang kualitas intrinsik yang unggul, tentang kemurnian yang tak tercela, tentang keunggulan yang tidak lekang oleh waktu dan tidak mudah tergantikan oleh hal lain. Ia mewakili segala sesuatu yang kita agungkan dan hargai: bakat luar biasa, idealisme yang teguh tak tergoyahkan, karakter yang kokoh tak terbandingkan, cinta yang tulus dan tanpa pamrih, atau sistem yang adil, transparan, dan efisien dalam melayani masyarakat. Ini adalah pilar-pilar yang diharapkan mampu menopang kehidupan dan memberikan makna mendalam bagi keberadaan.
Sebaliknya, sekam adalah kulit ari padi yang tidak memiliki nilai jual yang berarti, buangan yang dianggap remeh, atau ampas sisa setelah bagian yang paling berharga (beras) dipisahkan dari bijinya. Ia adalah lambang kehampaan, ketidakbergunaan, sesuatu yang rapuh dan mudah hancur, mudah terbakar habis menjadi abu, dan pada akhirnya hanya menjadi sampah yang tidak memiliki tempat atau tujuan. Sekam adalah representasi dari permukaan tanpa isi, janji yang tak terpenuhi dan hanya menjadi ilusi, atau potensi yang terbuang sia-sia tanpa pernah termanfaatkan. Transformasi dari manikam menjadi sekam bukan sekadar perubahan bentuk fisik yang kasat mata; ia adalah degradasi nilai yang total dan menyeluruh, sebuah kemunduran yang menyakitkan dari esensi yang mendalam menjadi ketiadaan yang hampa, meninggalkan kehampaan yang terasa pedih.
Artikel ini akan menguak lapis demi lapis makna yang terkandung dalam peribahasa "manikam sudah menjadi sekam," menjelajahi bagaimana fenomena universal ini terwujud dalam berbagai aspek kehidupan kita yang kompleks dan berliku. Dari perjalanan personal individu yang penuh intrik, dinamika kompleks dalam masyarakat dan institusi yang sarat kepentingan, hingga interaksi kita yang seringkali merusak dengan budaya dan lingkungan alam, kita akan melihat bagaimana sesuatu yang awalnya berharga, cemerlang, dan penuh harapan dapat perlahan-lahan kehilangan kilauannya, terkikis oleh waktu, dihancurkan oleh ketidakpedulian, atau digerus oleh pilihan-pilihan yang keliru dan merugikan, hingga akhirnya hanya menyisakan residu tanpa substansi, sebuah cangkang kosong yang tak lagi berarti. Ini adalah sebuah refleksi mendalam tentang kerapuhan nilai-nilai fundamental, tentang pentingnya kewaspadaan yang tiada henti, dan tentang perjuangan abadi yang tak pernah usai untuk menjaga agar manikam dalam diri dan dunia kita tidak pernah benar-benar menjadi sekam yang hampa dan tak berguna.
Transformasi ini seringkali bersifat insidius, tidak tiba-tiba, melainkan berupa proses bertahap. Sebuah manikam tidak langsung berubah menjadi sekam dalam semalam; ia luntur sedikit demi sedikit, terkikis oleh abrasi waktu, pengaruh buruk, atau pengabaian yang terus-menerus. Mirip dengan bagaimana sebuah permata kehilangan kilaunya jika tidak dibersihkan dan diasah, atau bagaimana sebuah bangunan megah runtuh perlahan-lahan akibat retakan kecil yang tidak diperbaiki. Peribahasa ini mengajak kita untuk peka terhadap tanda-tanda awal degradasi, untuk tidak terlena dengan kejayaan masa lalu, dan untuk selalu berupaya mempertahankan esensi dari setiap nilai yang kita junjung tinggi. Sebab, ketika sekam telah mengambil alih, upaya untuk mengembalikan manikam menjadi jauh lebih sulit, bahkan mustahil.
Manikam dalam Diri: Transformasi Personal dari Potensi Menjadi Ketiadaan
Setiap individu lahir ke dunia ini dengan "manikam"nya masing-masing, sebuah keunikan yang tak terulang dan potensi yang tak terbatas. Manikam personal ini bisa bermanifestasi sebagai bakat luar biasa dalam berbagai bidang, seperti kepiawaian artistik yang mengagumkan, kecerdasan analitis yang tajam dalam sains atau matematika, ketangkasan fisik yang memukau dalam olahraga, atau kharisma alami yang kuat dalam kepemimpinan. Ia juga dapat bermanifestasi sebagai karakter yang kuat dan teguh, idealisme yang membara dan tak padam, empati yang mendalam terhadap sesama, atau kecerdasan emosional yang tinggi yang memungkinkan seseorang memahami dan mengelola perasaannya sendiri serta orang lain. Pada awalnya, manikam ini bersinar terang, penuh potensi yang menjanjikan, dan memancarkan harapan akan masa depan yang gemilang. Seorang anak yang memiliki daya juang tinggi dan tak kenal menyerah, seorang remaja dengan mimpi besar untuk mengubah dunia menjadi lebih baik, atau seorang dewasa muda yang memegang teguh prinsip-prinsip etika dan moral adalah wujud-wujud awal dari manikam yang berharga, yang siap untuk diasah dan dikembangkan.
Namun, perjalanan hidup yang penuh liku tidak selalu linier, tidak selalu mulus tanpa hambatan. Berbagai faktor, baik internal yang berasal dari dalam diri maupun eksternal yang datang dari luar, dapat mengikis kilau manikam ini, mengubahnya secara perlahan namun pasti menjadi sekam yang rapuh dan tak berarti. Salah satu faktor internal paling destruktif adalah rasa kepuasan diri yang berlebihan. Ketika seseorang merasa telah mencapai puncak kesuksesan, terlalu nyaman dengan pencapaiannya tanpa keinginan untuk terus berkembang, atau berhenti berusaha mengasah diri dan belajar hal baru, manikam itu mulai kehilangan cahayanya. Bakat yang tidak diasah secara konsisten akan menjadi tumpul, pengetahuan yang tidak diperbarui akan ketinggalan zaman, atau prinsip yang tidak diuji dalam berbagai situasi akan menjadi rapuh. Kebanggaan semu dan merasa cukup seringkali menjadi awal dari kehancuran potensi, sebab ia menghentikan laju pertumbuhan dan inovasi yang esensial.
Pilihan-pilihan hidup yang keliru dan gegabah juga memainkan peran krusial dalam proses degradasi ini. Seorang jenius yang, demi kekayaan atau kekuasaan, memilih jalan pintas melalui korupsi dan penipuan, seorang atlet berbakat yang terjerumus ke dalam lingkaran gelap narkoba atau gaya hidup hedonistik, atau seorang idealis yang berkompromi dengan prinsipnya demi keuntungan sesaat, semuanya adalah contoh bagaimana manikam personal yang cemerlang dapat berubah menjadi sekam yang hampa. Kehilangan integritas adalah salah satu bentuk paling menyakitkan dari transformasi ini. Ketika moralitas dan etika dikorbankan demi hal-hal yang fana, esensi kemanusiaan yang berharga pun sirna, digantikan oleh cangkang kosong dari ambisi sesaat atau pencarian kesenangan yang semu. Ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap diri sendiri dan potensi yang telah diberikan.
Faktor eksternal pun tak kalah berpengaruh dan seringkali menjadi penentu. Lingkungan yang toksik dan tidak mendukung, tekanan sosial yang menyesatkan dan menjerumuskan, atau kegagalan berulang yang tidak direspons dengan ketahanan dan pembelajaran, dapat memadamkan semangat juang seseorang. Seorang individu yang awalnya penuh semangat dan optimisme bisa menjadi sinis, apatis, atau bahkan destruktif jika terus-menerus dihadapkan pada kekecewaan tanpa dukungan, bimbingan, atau jalan keluar yang berarti. Trauma masa lalu yang tidak tertangani dengan baik juga bisa memenjarakan seseorang dalam lingkaran kepedihan, mengikis perlahan-lahan kebahagiaan, vitalitas, dan kapasitasnya untuk berkembang, hanya meninggalkan bayangan pucat dari diri mereka yang dulu penuh semangat dan harapan.
Bahkan rasa takut, baik itu takut akan kegagalan maupun takut akan kesuksesan, dapat merantai manikam dan mencegahnya untuk bersinar. Ketakutan akan kegagalan bisa membuat seseorang enggan mengambil risiko, menghindari tantangan, dan akhirnya stagnan dalam zona nyaman yang sempit. Sementara itu, ketakutan akan kesuksesan, yang terkadang muncul sebagai beban ekspektasi atau ancaman perubahan, bisa membuat seseorang secara tidak sadar menyabotase kemajuan dirinya. Dalam kedua skenario ini, manikam yang seharusnya tumbuh dan berkembang malah terperangkap dalam kepompong ketidakberanian, dan perlahan-lahan mengering menjadi sekam kesempatan yang terlewatkan.
Kasus-Kasus Degradasi Personal: Kisah-Kisah yang Menggugah
Mari kita bayangkan seorang musisi muda dengan jari-jari ajaib yang mampu menarikan melodi paling indah dan menyentuh jiwa. Ia adalah manikam, dikagumi oleh banyak orang, dijunjung tinggi oleh para kritikus, dan diprediksi akan menjadi legenda yang tak terlupakan. Namun, di tengah gemerlap popularitas yang memabukkan dan sorotan panggung yang tak henti, ia tenggelam dalam pusaran kesenangan sesaat, godaan narkotika, dan gaya hidup yang tak terkendali. Latihan diabaikan, disiplin diri menguap, dan sumber inspirasinya mengering. Yang tersisa hanyalah nama besar tanpa karya baru yang berarti, tanpa inovasi musikal yang segar. Konsernya menjadi repetitif, penampilannya hambar dan tanpa gairah, hanya mengandalkan reputasi lama. Manikam yang dulunya bersinar terang kini hanya menyisakan sekam, cangkang dari kehebatan masa lalu, tanpa substansi musikal yang hidup atau semangat artistik yang membara. Penggemar setianya pun perlahan beralih, meninggalkan sang idola yang hanya menjadi bayangan dari dirinya sendiri.
Demikian pula seorang pemimpin muda yang memulai kariernya dengan idealisme membara, berjanji akan membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Kata-katanya adalah manikam, memancarkan harapan bagi banyak orang yang mendambakan perubahan. Namun, seiring berjalannya waktu dan ia semakin terjerat dalam lingkaran kekuasaan yang memabukkan, godaan harta yang melimpah, dan intrik politik yang kejam, prinsip-prinsipnya terkikis satu per satu. Janji-janji mulia yang pernah diucapkan dilupakan begitu saja. Ia menjadi bagian dari sistem yang dulu ingin ia lawan dan reformasi, bahkan mungkin menjadi lebih buruk dari pendahulunya. Manikam idealismenya telah lama menjadi sekam, hanya meninggalkan seorang politisi oportunistik tanpa kompas moral, membuat rakyat yang dulu percaya padanya merasa pahit, kecewa, dan kehilangan kepercayaan pada pemimpin.
Pola degradasi ini juga sangat nyata terlihat pada seorang akademisi yang memulai dengan semangat penelitian yang murni, berhasrat untuk menyumbangkan ilmu pengetahuan bagi kemajuan umat manusia dan memecahkan misteri-misteri alam. Namun, tuntutan publikasi yang berlebihan, politik kampus yang picik, dan perlombaan yang tak sehat untuk gelar serta jabatan, perlahan menggeser fokus utamanya. Penelitiannya menjadi dangkal, hanya untuk memenuhi kuota dan angka, bukan karena dorongan intelektual sejati atau rasa ingin tahu yang mendalam. Karya-karya yang dihasilkan menjadi tanpa jiwa, hanya kumpulan data dan teori tanpa makna mendalam atau implikasi praktis yang signifikan. Manikam kecerdasan dan dedikasinya telah berkarat, menjadi sekam berupa tumpukan kertas tanpa esensi, kehilangan nilai keilmuan yang orisinal dan kontribusi yang berarti.
Dalam konteks hubungan interpersonal, sebuah cinta yang berawal dari kejujuran tulus, saling menghormati yang mendalam, dan gairah yang membara adalah manikam yang sangat berharga dan patut dijaga. Namun, seiring waktu, jika komunikasi terputus dan dialog menjadi langka, kepercayaan terkikis oleh pengkhianatan kecil yang berulang atau kebohongan, atau egoisme mulai mendominasi dan mengalahkan empati, manikam itu bisa memudar. Pasangan yang dulunya saling melengkapi dan mendukung kini hidup dalam kesendirian yang pahit, saling mencurigai, atau bahkan menyimpan dendam. Hubungan yang dulunya indah dan penuh arti, kini hanya menyisakan puing-puing kepahitan, sekam dari janji-janji yang tak terpenuhi, mimpi-mimpi yang hancur, dan harapan yang kandas. Cinta yang seharusnya menjadi kekuatan pengikat kini menjadi beban yang berat.
Transformasi ini mengingatkan kita bahwa potensi, bakat, dan karakter mulia bukanlah sesuatu yang statis atau otomatis bertahan. Mereka memerlukan pemeliharaan terus-menerus, pengasahan yang konsisten, dan lingkungan yang mendukung untuk tetap bersinar terang dan relevan. Tanpa upaya ini, manikam itu, betapapun cemerlangnya di awal kelahirannya, akan rentan terhadap erosi, abrasi, dan kehancuran, hingga akhirnya yang tersisa hanyalah sekam yang tidak berarti, menjadi peringatan bisu yang menyakitkan akan apa yang pernah ada dan apa yang telah hilang, sebuah kesempatan yang takkan pernah kembali.
Manikam dalam Masyarakat dan Institusi: Ketika Pilar Berubah Menjadi Debu
Peribahasa "manikam sudah menjadi sekam" tidak hanya berlaku pada individu, tetapi juga memiliki resonansi yang kuat dan mendalam dalam struktur masyarakat dan institusi. Setiap masyarakat, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks, dibangun di atas fondasi nilai-nilai luhur, idealisme yang tinggi, dan institusi yang diharapkan mampu menjadi pilar kebaikan, keadilan, kemajuan, serta penjaga moral. Pada awalnya, institusi-institusi ini, apakah itu pemerintahan yang berfungsi melayani rakyat, sistem pendidikan yang bertujuan mencerdaskan bangsa, lembaga keagamaan yang memberikan bimbingan moral, atau organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kemanusiaan, didirikan dengan tujuan mulia dan visi yang cemerlang. Mereka adalah manikam, menjanjikan pelayanan publik yang optimal, pendidikan yang berkualitas tinggi, bimbingan spiritual yang mencerahkan, atau bantuan kemanusiaan yang tulus dan tanpa pamrih.
Namun, sejarah berulang kali menunjukkan bagaimana manikam ini bisa terkikis dan akhirnya berubah menjadi sekam yang rapuh dan tak berdaya. Proses degradasi ini seringkali dimulai dari pergeseran fokus dan prioritas. Institusi yang tadinya berorientasi pada pelayanan publik, kebaikan bersama, atau pencarian kebenaran ilmiah, perlahan bergeser menjadi berorientasi pada kekuasaan politik, keuntungan finansial pribadi atau kelompok, atau kepentingan kelompok sempit yang egois. Ketika tujuan asli pendirian institusi hilang dalam kabut ambisi pribadi yang gelap, esensi dari institusi itu pun memudar, seperti cahaya yang redup. Nilai-nilai inti yang membentuk fondasinya mulai runtuh, digantikan oleh motivasi yang dangkal dan merusak.
Korupsi adalah salah satu penyebab paling merusak dan mematikan. Ibarat penyakit kronis yang menggerogoti dari dalam, korupsi mengubah manikam integritas dan kepercayaan publik menjadi sekam kepalsuan, ketidakadilan, dan kehancuran moral. Sumber daya negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat disalahgunakan secara sistematis untuk memperkaya segelintir orang yang rakus. Proses pengambilan keputusan menjadi bias dan tidak transparan, meritokrasi digantikan oleh nepotisme dan kronisme, dan keadilan menjadi barang mahal yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau uang. Sebuah pemerintahan yang korup, misalnya, awalnya bisa saja muncul dari idealisme untuk melayani rakyat, namun ketika kekuasaan menjadi tujuan akhir daripada sarana, manikam itu berubah menjadi sekam yang hanya menyengsarakan rakyat dan merusak tatanan sosial.
Birokrasi yang berlebihan, berbelit-belit, dan inefisiensi juga merupakan faktor signifikan yang berkontribusi pada degradasi ini. Ketika aturan dan prosedur menjadi lebih penting daripada tujuan mulia yang ingin dicapai, sistem menjadi kaku, lambat, dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Manikam efektivitas, responsivitas, dan pelayanan publik yang prima berubah menjadi sekam kerumitan, frustrasi, dan pemborosan. Warga negara harus berjuang menghadapi labirin administrasi yang tak berujung, sementara sumber daya dan waktu terbuang sia-sia tanpa hasil yang berarti. Sebuah lembaga pendidikan yang dulunya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan inovasi, bisa saja terjerat dalam birokrasi yang membelenggu kreativitas dan menghambat inovasi, sehingga tujuan utamanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi terhambat dan kualitas lulusannya menurun drastis.
Selain korupsi dan birokrasi, kurangnya akuntabilitas dan transparansi juga menjadi faktor kunci dalam hilangnya manikam institusional. Ketika tidak ada mekanisme yang kuat untuk memastikan bahwa para pembuat keputusan bertanggung jawab atas tindakan mereka, atau ketika informasi penting disembunyikan dari publik, maka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan terbuka lebar. Institusi yang awalnya didirikan untuk melayani kepentingan umum bisa berubah menjadi benteng kekuasaan yang kebal kritik, di mana kepentingan pribadi atau kelompok dilindungi tanpa pengawasan. Manikam kepercayaan publik, yang merupakan fondasi setiap institusi yang sehat, perlahan-lahan runtuh, digantikan oleh sekam kecurigaan, ketidakpuasan, dan sinisme yang meresap ke seluruh sendi masyarakat.
Kehilangan memori institusional juga dapat menjadi penyebab. Ketika sebuah organisasi tidak mampu belajar dari kesalahan masa lalu, atau ketika pengalaman dan kearifan para pendahulunya tidak ditransfer ke generasi berikutnya, maka kesalahan yang sama cenderung terulang. Visi awal yang kuat menjadi kabur, prinsip-prinsip yang telah teruji dilupakan, dan institusi tersebut kehilangan arahnya. Manikam berupa hikmah dan pembelajaran kolektif berubah menjadi sekam kebodohan institusional, yang rentan terhadap manipulasi dan penyimpangan dari misi utamanya.
Fenomena Institusional: Dari Harapan Menjadi Kekecewaan
Ambil contoh sebuah partai politik. Pada awal kelahirannya, mungkin partai tersebut didirikan dengan visi yang luhur, berjuang untuk hak-hak rakyat, mengusung ide-ide perubahan yang progresif, dan menjadi wadah aspirasi publik yang genuine. Ini adalah manikam, harapan bagi masyarakat yang mendambakan pemimpin jujur, berintegritas, dan pro-rakyat. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah mencicipi kekuasaan, seringkali terjadi pergeseran fokus yang menyakitkan. Idealisme awal terkikis oleh pragmatisme politik yang berlebihan, kompromi etika yang terus-menerus, perebutan jabatan yang serakah, dan kepentingan pribadi para elit yang mengalahkan kepentingan umum. Janji-janji kampanye yang manis dan bombastis berubah menjadi narasi kosong tanpa realisasi, kebijakan yang dibuat lebih menguntungkan segelintir kelompok daripada kesejahteraan rakyat banyak, dan suara rakyat hanya menjadi komoditas politik yang dimanfaatkan saat pemilihan umum. Manikam kepercayaan publik dan idealisme politik telah berubah menjadi sekam kekecewaan, sinisme, dan ketidakpercayaan yang mendalam di mata masyarakat, yang merasa dikhianati dan dimanfaatkan.
Demikian pula dengan media massa. Pada hakikatnya, media adalah pilar keempat demokrasi, manikam yang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan, penyampai informasi yang akurat dan berimbang, serta penjaga kebenaran yang tak kenal takut. Namun, ketika media terkooptasi oleh kepentingan politik tertentu, dikendalikan oleh pemilik modal yang berorientasi profit semata tanpa memedulikan etika jurnalisme, atau lebih memilih sensasi dan kontroversi daripada substansi dan fakta, maka esensi jurnalisme yang murni itu akan runtuh. Berita menjadi bias dan tendensius, fakta dimanipulasi untuk agenda tersembunyi, dan informasi yang seharusnya mencerahkan justru menyesatkan dan memecah belah. Manikam objektivitas, independensi, dan integritas jurnalisme telah berganti rupa menjadi sekam propaganda, gosip murahan, dan hiburan dangkal yang merusak nalar serta moral publik. Kepercayaan publik terhadap media pun ambruk, membuka ruang bagi penyebaran hoaks dan disinformasi.
Bahkan dalam skala yang lebih mikro, di lingkungan komunitas atau organisasi nirlaba, fenomena ini dapat terjadi. Sebuah organisasi yang didirikan dengan tujuan mulia untuk membantu kaum rentan, menyediakan pendidikan gratis, atau melestarikan lingkungan, bisa saja seiring waktu terjebak dalam masalah manajemen internal yang kacau, perebutan kekuasaan antaranggota yang merusak, atau penyalahgunaan dana yang dialokasikan untuk misi mulia tersebut. Energi dan sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk misi utama terbuang sia-sia untuk konflik internal dan kepentingan pribadi. Niat baik awal, yang merupakan manikam yang berharga, akhirnya hanya menyisakan sekam dari sebuah organisasi yang tidak efektif, kehilangan dukungan dari donatur dan sukarelawan, dan gagal mencapai tujuan utamanya, bahkan mungkin meninggalkan citra buruk di mata masyarakat.
Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa keberadaan sebuah institusi yang mulia dengan visi yang cemerlang tidak menjamin kelanggengan nilai-nilainya. Seperti manikam yang harus terus diasah dan dijaga dari kotoran dan noda, institusi juga memerlukan pengawasan yang ketat, akuntabilitas yang transparan, integritas yang tak tergoyahkan, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap visi awalnya. Tanpa itu, setiap pilar yang kokoh, setiap benteng kebaikan, setiap sumber harapan, dapat perlahan-lahan runtuh, hingga yang tersisa hanyalah puing-puing tanpa makna, sekam dari sebuah masa lalu yang penuh janji namun berakhir dengan kekecewaan dan kegagalan. Mencegah transformasi ini memerlukan vigilansi kolektif dan komitmen yang berkelanjutan dari semua pihak yang terlibat.
Manikam dalam Budaya dan Lingkungan: Kekayaan yang Terlupakan dan Terbuang
Beyond individual and institutional realms, the proverb "manikam sudah menjadi sekam" also casts a long shadow over our most profound and irreplaceable assets: our cultural heritage and the natural environment. Budaya, dalam segala manifestasinya yang beragam dan kaya – mulai dari tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, seni rupa yang memukau dan penuh makna, musik dan tarian yang menghidupkan jiwa, kearifan lokal yang telah teruji oleh zaman, hingga cara hidup dan nilai-nilai yang membentuk identitas kolektif – adalah manikam yang tak ternilai harganya. Ia adalah cerminan jiwa suatu bangsa yang unik, jembatan penghubung yang kokoh antar generasi, dan sumber identitas yang tak tergoyahkan. Setiap ukiran pada relief candi kuno, setiap alunan gamelan yang mistis, setiap cerita rakyat yang dituturkan dengan penuh hikmah, adalah permata yang mengandung kebijaksanaan, sejarah panjang, dan keindahan yang mendalam, yang seharusnya dijaga dengan sepenuh hati.
Demikian pula dengan lingkungan alam, yang merupakan anugerah tak terkira. Hutan yang rimbun dan perawan dengan keanekaragaman hayati yang melimpah, sungai yang jernih dan mengalirkan kehidupan, lautan yang kaya akan biota laut yang memukau, gunung yang menjulang tinggi dengan keagungannya, dan tanah yang subur yang menyediakan pangan – semua ini adalah manikam yang dianugerahkan alam, pondasi utama keberlangsungan hidup kita. Mereka menyediakan udara bersih yang vital, air tawar yang esensial, pangan yang melimpah, dan estetika yang menenangkan jiwa, bahkan menjadi penyeimbang iklim global. Keharmonisan ekosistem adalah kekayaan yang tak bisa dibeli dengan uang, sebuah mahkota berharga yang menopang eksistensi manusia dan segala bentuk kehidupan lainnya.
Namun, dalam hiruk pikuk modernisasi yang serba cepat dan pengejaran materi yang tak berujung, seringkali manikam-manikam ini diabaikan, bahkan dirusak tanpa ampun, hingga akhirnya berubah menjadi sekam yang hampa. Komersialisasi budaya adalah salah satu pemicu utama dari degradasi ini. Ketika seni tradisional diubah menjadi komoditas pasar semata tanpa pemahaman mendalam akan nilai filosofis dan spiritualnya, atau ketika upacara adat direduksi menjadi atraksi turis yang dangkal dan eksotis tanpa makna, maka esensi budaya itu hilang. Tarian yang tadinya sakral dan penuh makna kini hanya menjadi tontonan, lagu-lagu daerah yang penuh hikmah kini hanya diperdengarkan tanpa penjiwaan atau pemahaman. Manikam identitas dan kearifan budaya perlahan berubah menjadi sekam, berupa tontonan tanpa substansi, replika tanpa jiwa, yang hanya menyisakan kebanggaan superfisial tanpa pemahaman akar yang mendalam. Kebanggaan semu ini seringkali justru mempercepat kematian budaya tersebut.
Globalisasi, meskipun membawa banyak manfaat dalam pertukaran informasi dan teknologi, juga turut berkontribusi pada erosi budaya yang mengkhawatirkan. Arus informasi dan tren dari berbagai belahan dunia yang sangat masif seringkali menenggelamkan keunikan budaya lokal yang rapuh. Generasi muda menjadi lebih akrab dan terpengaruh oleh budaya pop asing daripada warisan nenek moyang mereka. Bahasa daerah yang kaya akan kosakata dan ekspresi mulai terpinggirkan dan terancam punah, cerita-cerita rakyat yang mendidik dan penuh moral terlupakan, dan nilai-nilai tradisional yang menjadi pondasi etika digantikan oleh gaya hidup yang seragam dan cenderung materialistis. Manikam keanekaragaman dan kedalaman budaya lokal berubah menjadi sekam homogenitas, kehilangan warna, karakter, dan keunikan yang membuatnya istimewa dan tak ternilai.
Penetrasi nilai-nilai asing tanpa filterisasi yang memadai juga mempercepat proses ini. Ketika identitas diri tidak cukup kuat untuk menghadapi gempuran budaya luar, maka terjadilah krisis identitas. Manusia modern seringkali kehilangan akar budayanya, merasa terasing di tanah sendiri, dan pada akhirnya hanya menjadi konsumen pasif dari budaya lain. Ini bukan lagi tentang pertukaran budaya yang sehat, melainkan tentang penyeragaman yang mengikis esensi keberagaman manusia. Manikam berupa kebanggaan atas identitas diri yang kuat, kini menjadi sekam kebingungan dan kegamangan dalam menentukan arah hidup.
Kerusakan Lingkungan: Dari Surga Menjadi Lahan Tandus
Di bidang lingkungan, fenomena "manikam sudah menjadi sekam" terlihat secara dramatis, kasat mata, dan seringkali tidak dapat diubah kembali ke kondisi semula. Hutan hujan tropis, yang dulunya merupakan manikam keanekaragaman hayati yang tak tertandingi dan dijuluki paru-paru dunia karena perannya dalam menghasilkan oksigen, kini banyak yang telah berubah menjadi sekam gersang akibat deforestasi massal yang brutal untuk perkebunan monokultur skala besar seperti kelapa sawit atau penambangan sumber daya alam. Sungai yang dulunya jernih mengalirkan kehidupan dan menjadi sumber air bersih, kini telah tercemar parah oleh limbah industri dan rumah tangga yang dibuang sembarangan, mengubahnya menjadi sekam berupa aliran air hitam yang mematikan bagi kehidupan akuatik dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Kualitas udara yang bersih, yang seharusnya menjadi hak setiap makhluk hidup, pun ikut terkontaminasi oleh polusi dari pabrik dan kendaraan, mengancam kesehatan seluruh populasi.
Terumbu karang, ekosistem bawah laut yang memukau dengan keindahan dan fungsinya sebagai penopang kehidupan laut serta pelindung pantai dari abrasi, juga mengalami nasib serupa yang memprihatinkan. Akibat penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan menggunakan metode merusak, polusi laut oleh sampah plastik dan limbah kimia, serta perubahan iklim global yang menyebabkan pemutihan karang, banyak terumbu karang yang memutih dan mati, mengubah manikam berupa taman laut yang indah dan penuh warna menjadi sekam berupa kerangka karang yang tak bernyawa dan hancur. Kekayaan hayati laut yang dulunya melimpah ruah, kini hanya menjadi catatan dalam buku-buku sejarah, sebuah peringatan pahit akan kehancuran yang tak terpulihkan dan kehilangan yang tak tergantikan. Ribuan spesies laut terancam punah karena habitatnya rusak.
Pengabaian terhadap kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan juga mempercepat proses ini, yang sebenarnya telah terbukti efektif selama berabad-abad. Masyarakat adat memiliki pengetahuan turun-temurun tentang cara hidup selaras dengan alam, menjaga keseimbangan ekosistem, dan memanfaatkan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan. Namun, ketika pengetahuan ini dianggap primitif dan digantikan oleh metode eksploitasi yang serakah dan berorientasi profit jangka pendek, maka terjadilah kerusakan yang masif dan tak terkendali. Manikam hubungan harmonis antara manusia dan alam telah berubah menjadi sekam berupa konflik sosial, bencana ekologis yang berulang, dan degradasi sumber daya yang tak terhindarkan, meninggalkan warisan berupa bumi yang sakit bagi generasi mendatang. Kegagalan memahami interkoneksi antara alam dan budaya adalah akar masalahnya.
Untuk mencegah agar manikam budaya dan lingkungan kita tidak sepenuhnya menjadi sekam yang hampa dan tak berarti, diperlukan upaya kolektif yang sangat serius dan terkoordinasi dari semua pihak. Pendidikan yang menanamkan rasa cinta, bangga, dan tanggung jawab terhadap warisan budaya serta alam, regulasi yang ketat dan ditegakkan tanpa pandang bulu untuk perlindungan lingkungan, inovasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta kesadaran akan dampak jangka panjang dari setiap tindakan kita adalah kunci utama. Kita harus belajar untuk tidak hanya melihat nilai materi yang bersifat sementara, tetapi juga nilai intrinsik dan spiritual yang terkandung dalam setiap manikam yang kita miliki, agar warisan berharga ini dapat terus bersinar, berkembang, dan memberikan manfaat tak terbatas untuk generasi mendatang. Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan peradaban kita.
Refleksi Filosofis: Mengapa Transformasi Ini Terjadi dan Adakah Harapan?
Setelah menelusuri berbagai manifestasi "manikam sudah menjadi sekam" dalam kehidupan personal, sosial, budaya, dan lingkungan, sebuah pertanyaan filosofis yang mendalam dan esensial muncul di benak kita: mengapa transformasi yang begitu menyakitkan ini begitu sering terjadi? Apa yang menyebabkan sesuatu yang awalnya berharga, mulia, dan penuh potensi tak terbatas, dapat berakhir sebagai sesuatu yang tidak berarti, hampa, dan terbuang? Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah tunggal atau sederhana, melainkan sebuah jalinan kompleks dari sifat dasar manusia yang ambigu, dinamika sosial yang selalu berubah, dan hakikat keberadaan itu sendiri yang penuh misteri. Ini adalah sebuah pertanyaan yang menggugah untuk merenungkan makna eksistensi.
Salah satu alasan utama adalah sifat fana dan dinamisnya nilai yang kita pegang. Nilai, dalam banyak kasus, bukanlah entitas statis yang melekat abadi pada suatu objek atau konsep tanpa perubahan. Ia seringkali merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh interaksi antarindividu, persepsi individual yang subjektif, dan juga sangat dipengaruhi oleh konteks historis serta waktu. Manikam bisa kehilangan nilainya bukan karena esensinya benar-benar hilang atau musnah, melainkan karena persepsi kolektif kita terhadapnya berubah, atau karena kondisi eksternal membuatnya tidak lagi relevan, tidak lagi dihargai, atau bahkan dianggap sebagai beban. Sebuah keterampilan yang sangat berharga di masa lalu, seperti menenun kain tradisional, bisa menjadi usang dan tak diminati di era teknologi digital yang serba cepat. Sebuah tradisi yang sakral bagi leluhur, mungkin dianggap kuno dan tidak praktis oleh generasi sekarang. Ini bukan berarti manikam itu hilang sepenuhnya, melainkan kilau dan relevansinya telah meredup di mata mereka yang melihat, atau ia telah terpinggirkan oleh kemunculan nilai-nilai baru.
Aspek lain yang tak terhindarkan adalah kelemahan, kerapuhan, dan kontradiksi dalam sifat dasar manusia. Sifat-sifat seperti keserakahan yang tak pernah puas, keangkuhan yang membutakan, kemalasan yang menghambat kemajuan, ketidakpedulian yang merusak ikatan sosial, dan ketakutan yang melumpuhkan, adalah benih-benih yang dapat mengubah manikam menjadi sekam. Ambisi yang tak terkendali dapat mengorbankan integritas dan moralitas demi pencapaian pribadi. Kepuasan diri dapat menghentikan pertumbuhan dan inovasi. Ketidakpedulian terhadap sesama atau lingkungan dapat merusak harmoni yang telah terbangun dengan susah payah. Dalam banyak kasus, manusia sendirilah yang secara aktif melalui tindakan mereka, atau secara pasif melalui pengabaian mereka, merusak manikam yang ada di tangan mereka, karena ketidakmampuan untuk menjaga, merawat, atau menghargai nilai sejati yang terkandung di dalamnya. Ini adalah tragedi yang berulang dalam sejarah manusia.
Tekanan dari luar juga memainkan peran besar dan tak terhindarkan. Globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan kapitalisme yang serba cepat seringkali memprioritaskan efisiensi, keuntungan materi, dan homogenitas di atas nilai-nilai non-material seperti keindahan, keunikan budaya, atau kelestarian lingkungan. Dalam perlombaan tanpa henti untuk mencapai kemajuan materi dan pertumbuhan ekonomi, banyak manikam yang dianggap menghambat atau tidak menguntungkan secara finansial, sehingga dikorbankan atau diabaikan tanpa pertimbangan. Kecepatan perubahan yang tak terelakkan ini seringkali membuat kita kehilangan arah, mengabaikan apa yang benar-benar penting dan esensial demi mengejar ilusi kemakmuran atau kenyamanan sesaat yang tidak berkelanjutan. Sistem nilai yang cenderung materialistis ini secara tidak langsung mengikis penghargaan terhadap manikam yang bersifat non-materi.
Bahkan kemajuan teknologi, yang pada satu sisi merupakan manikam inovasi, di sisi lain juga bisa menjadi penyebab sekam. Kemudahan akses informasi dan hiburan instan, misalnya, bisa mengikis kemampuan kita untuk berpikir kritis, merenung, dan menghargai proses yang mendalam. Relasi antarmanusia menjadi dangkal karena terlalu banyak interaksi virtual, dan keterampilan esensial seperti empati atau komunikasi tatap muka menjadi tumpul. Manikam berupa kecerdasan emosional dan interaksi sosial yang otentik dapat berubah menjadi sekam ketergantungan pada teknologi dan isolasi diri, meskipun secara fisik kita dikelilingi oleh banyak orang.
Mencari Harapan di Tengah Puing-Puing Sekam
Meskipun demikian, apakah fenomena "manikam sudah menjadi sekam" selalu berarti akhir yang tragis dan tanpa jalan keluar? Tidak selalu. Dalam setiap sekam, seringkali masih tersimpan potensi yang laten untuk pembelajaran yang mendalam, refleksi yang jujur, dan bahkan regenerasi yang memungkinkan. Sekam, sebagai sisa dari apa yang pernah ada, bisa menjadi pengingat yang menyakitkan namun efektif akan apa yang telah hilang, pemicu untuk introspeksi diri yang radikal, dan motivasi yang kuat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Ia bisa menjadi pupuk bagi pertumbuhan baru, asalkan kita memiliki kesadaran untuk memanfaatkannya.
Pentingnya kesadaran dan kehendak bebas manusia adalah kunci utama dalam proses ini. Kemampuan untuk merefleksikan diri, mengakui kesalahan dengan lapang dada, dan berani untuk berubah ke arah yang lebih baik dapat menghentikan proses degradasi. Seorang individu yang sadar akan kemunduran dirinya dapat memilih untuk bangkit kembali, mengasah kembali bakatnya yang sempat tumpul, dan membangun kembali integritasnya yang runtuh. Sebuah institusi yang mengakui kegagalannya dapat mereformasi diri secara menyeluruh, kembali kepada visi awalnya yang luhur, dan memperbaiki sistemnya yang rusak. Masyarakat yang menyadari erosi budayanya dapat mengaktifkan kembali gerakan pelestarian, menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah, dan menanamkan nilai-nilai luhur pada generasi berikutnya agar tidak terputus dari akar budayanya.
Konsep rekonsiliasi dan restorasi juga menawarkan secercah harapan di tengah kegelapan. Lingkungan yang rusak parah, meskipun sulit, masih bisa dipulihkan melalui upaya reboisasi yang masif, restorasi ekosistem yang terencana, dan perubahan perilaku konsumsi manusia yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Budaya yang nyaris punah masih bisa dihidupkan kembali melalui dokumentasi yang cermat, pendidikan yang intensif, dan praktik aktif oleh komunitas yang peduli. Meskipun "manikam" yang asli mungkin tidak akan pernah kembali dalam bentuk yang persis sama seperti dulu, proses restorasi dapat menciptakan "manikam" baru yang beradaptasi dengan konteks zaman modern, namun tetap memegang teguh esensi nilai-nilai luhur yang menjadi pondasinya. Ini adalah evolusi nilai, bukan sekadar kehilangan.
Dalam konteks sekam sebagai ampas, ia bukan selalu tanpa nilai. Sekam padi, misalnya, bisa diolah menjadi bahan bakar biomassa, pupuk kompos, atau bahkan bahan bangunan. Ini adalah metafora kuat bahwa bahkan dari sisa-sisa atau puing-puing, dengan inovasi dan perspektif yang berbeda, kita bisa menemukan nilai baru. Demikian pula dalam kehidupan: dari kegagalan yang pahit, kita bisa memetik pelajaran berharga. Dari kehancuran sebuah institusi, kita bisa membangun kembali dengan fondasi yang lebih kuat. Dari budaya yang nyaris terlupakan, kita bisa menemukan inspirasi untuk kreativitas baru. Intinya adalah kemampuan manusia untuk bertransformasi, untuk melihat potensi di balik kerusakan, dan untuk menggunakan masa lalu sebagai pendorong, bukan sebagai belenggu.
Pada akhirnya, peribahasa ini bukan hanya tentang kehilangan dan kemunduran, tetapi juga tentang peringatan yang abadi dan panggilan untuk bertindak. Ia mengingatkan kita akan kerapuhan nilai, perlunya kewaspadaan abadi, dan pentingnya menjaga setiap manikam yang kita miliki – baik dalam diri, dalam masyarakat, dalam budaya, maupun dalam lingkungan. Harapan terletak pada kemampuan kita untuk terus belajar tanpa henti, beradaptasi dengan bijak terhadap perubahan, dan berjuang tanpa lelah untuk melestarikan dan menciptakan nilai sejati, agar cahaya manikam tidak pernah sepenuhnya padam dan tergantikan oleh kehampaan sekam yang tak berguna. Ini adalah tugas mulia yang harus diemban oleh setiap generasi.
Penutup: Menjaga Cahaya Manikam di Tengah Pusaran Perubahan
"Manikam sudah menjadi sekam" adalah sebuah peribahasa yang menorehkan luka mendalam, namun secara paradoks juga menyuguhkan pelajaran tak ternilai yang sangat relevan di setiap zaman. Ini adalah kisah universal tentang kerapuhan nilai-nilai yang kita agungkan, tentang potensi yang sirna begitu saja, dan tentang betapa mudahnya kemuliaan bergeser menjadi kehampaan yang terasa pedih. Dari kilau bakat personal yang meredup karena pengabaian, idealisme institusi yang terkikis oleh korupsi dan kepentingan pribadi, hingga kekayaan budaya yang dilupakan dan alam yang dirusak secara brutal, kita menyaksikan bagaimana manikam dapat kehilangan esensinya yang murni jika tidak dirawat, dijaga, dan dihargai sebagaimana mestinya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Ini adalah siklus yang harus diputus melalui tindakan proaktif.
Perjalanan kita melalui berbagai dimensi kehidupan di mana peribahasa ini beresonansi telah menunjukkan betapa vitalnya kewaspadaan yang tiada henti. Manikam, meskipun berharga dan mulia, bukanlah sesuatu yang statis atau abadi tanpa adanya usaha dan perjuangan. Ia adalah entitas dinamis yang membutuhkan perhatian konstan, pengasahan yang sistematis, dan komitmen yang berkelanjutan dari setiap individu dan entitas kolektif. Setiap individu, setiap organisasi, setiap masyarakat, memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk mengenali manikam yang mereka miliki, baik yang kasat mata maupun yang tak terlihat, dan melindunginya dari ancaman degradasi, baik yang berasal dari dalam diri sendiri maupun dari tekanan eksternal yang merusak.
Penting untuk selalu diingat bahwa proses transformasi dari manikam menjadi sekam seringkali tidak terjadi secara instan atau tiba-tiba. Ia adalah hasil dari serangkaian keputusan kecil yang keliru yang terakumulasi, ketidakpedulian yang menumpuk seiring waktu, atau kompromi yang terus-menerus terhadap nilai-nilai inti yang seharusnya dipertahankan. Oleh karena itu, menjaga manikam berarti melakukan introspeksi secara berkala dan jujur, mengevaluasi kembali prioritas dan arah hidup, dan memiliki keberanian moral untuk mengambil tindakan korektif yang sulit sebelum kerusakan menjadi tak terpulihkan dan mencapai titik tanpa kembali. Tindakan kecil yang konsisten dapat mencegah kehancuran besar.
Apakah ada harapan untuk mengembalikan kilau manikam yang telah redup, atau bahkan menciptakan manikam baru dari sekam yang tersisa? Tentu saja ada, dan harapan itu selalu menyala. Harapan terletak pada kemampuan inheren manusia untuk belajar dari kesalahan masa lalu, untuk bangkit dari keterpurukan dan kegagalan, dan untuk berjuang tanpa lelah demi kebaikan yang lebih besar dan tujuan yang lebih luhur. Setiap kali seseorang memilih integritas di atas keuntungan pribadi, setiap kali sebuah komunitas menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah, setiap kali sebuah kebijakan publik berpihak pada keadilan, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan bersama, kita sedang menyaksikan upaya yang heroik untuk mengembalikan kilau manikam, atau bahkan menciptakan manikam baru yang lebih resilient dan relevan dari puing-puing sekam yang dulu dianggap tak berguna.
Pesan akhir yang kuat dari peribahasa "manikam sudah menjadi sekam" adalah sebuah seruan untuk tindakan yang proaktif, untuk kepedulian yang mendalam, dan untuk visi jangka panjang yang melampaui kepentingan sesaat. Marilah kita senantiasa memegang teguh nilai-nilai yang sejati dan abadi, merawat potensi luar biasa yang kita miliki, dan melindungi warisan berharga yang telah dipercayakan kepada kita oleh generasi sebelumnya. Biarlah cahaya manikam dalam diri kita, dalam masyarakat kita, dan dalam dunia kita terus bersinar terang benderang, menjadi mercusuar yang memandu kita menuju masa depan yang penuh makna, bermartabat, dan berkelanjutan, jauh dari kehampaan dan kesia-siaan sekam yang hanya meninggalkan penyesalan. Tugas ini adalah tanggung jawab kita bersama, untuk menjaga agar esensi kehidupan tidak pernah hilang.