Memesong: Gema Jiwa dalam Alunan Nada

Ilustrasi Abstrak Memesong

Alunan suara yang lahir dari sanubari, melintasi batas kata.

Di hamparan peradaban Nusantara, tersembunyi sebuah praktik yang melampaui definisi sederhana dari "bernyanyi". Ia bukan sekadar rangkaian nada yang teratur atau lirik yang terucap. Ia adalah getaran jiwa, sebuah proses sakral di mana sanubari dan semesta berdialog melalui suara. Praktik ini dikenal dengan istilah memesong, sebuah kata dari khazanah bahasa Jawa yang menyimpan kedalaman makna filosofis, spiritual, dan kultural. Memesong adalah seni melantunkan gema hati, sebuah jembatan sonik yang menghubungkan dunia batiniah dengan realitas lahiriah.

Memahami memesong berarti menyelami konsep rasa, sebuah pilar dalam kebudayaan Jawa yang sulit diterjemahkan secara harfiah. Rasa bukan hanya emosi, melainkan intuisi, persepsi batin, dan kesadaran mendalam akan keterhubungan segala sesuatu. Ketika seseorang memesong, ia tidak sedang mempertontonkan kemahiran teknik vokal semata. Ia sedang menumpahkan, mengolah, dan menyelaraskan rasa-nya. Suara yang keluar adalah manifestasi dari gejolak, ketenangan, kerinduan, atau kebijaksanaan yang bersemayam di dalam kalbu. Inilah yang membedakannya dari aktivitas bernyanyi biasa yang seringkali berorientasi pada hiburan atau performa.

Praktik ini berakar jauh ke masa lampau, jauh sebelum notasi musik modern dikenal di kepulauan ini. Ia adalah warisan lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi, melekat erat dalam berbagai ritual kehidupan. Dari senandung seorang ibu yang menidurkan bayinya, kidung para pertapa di lereng gunung yang sunyi, hingga lantunan suluk seorang dalang di tengah pertunjukan wayang semalam suntuk, memesong hadir sebagai napas kebudayaan. Ia menjadi media untuk menyampaikan doa, menuturkan sejarah, mengajarkan nilai-nilai luhur, dan bahkan sebagai sarana penyembuhan batin.

Akar Filosofis dan Sejarah: Suara sebagai Wahana Sakral

Untuk menelusuri jejak memesong, kita harus kembali ke pandangan dunia masyarakat agraris kuno di Nusantara. Bagi mereka, alam semesta tidaklah sunyi; ia dipenuhi oleh getaran dan suara. Gemerisik daun, deru angin, gemericik air, dan suara-suara makhluk hidup adalah bagian dari sebuah orkestra kosmik yang agung. Manusia, sebagai bagian tak terpisahkan dari alam, memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam orkestra ini melalui suaranya. Suara bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga wahana spiritual. Dengan melantunkan vokal tertentu, manusia purba percaya bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan roh leluhur, menenangkan kekuatan alam, atau memohon kesuburan.

Seiring masuknya pengaruh Hindu-Buddha, praktik vokal ini mengalami pengayaan bentuk dan fungsi. Konsep mantra dari India berakulturasi dengan tradisi lokal. Lantunan kidung-kidung suci menjadi bagian penting dalam upacara keagamaan di candi-candi megah. Naskah-naskah kuno seperti Kakawin Arjunawiwaha atau Sutasoma tidak hanya dibaca, tetapi juga ditembangkan dengan aturan metrum yang ketat. Proses menembangkan kakawin ini, yang dikenal sebagai mabasan di Bali, adalah cerminan dari bagaimana teks dan suara menyatu untuk mencapai pengalaman estetis dan spiritual yang lebih tinggi. Suara menjadi medium untuk menghidupkan kembali kisah-kisah epik dan menyerap kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya.

Puncak perkembangan seni memesong dalam konteks Jawa terjadi pada era kerajaan Islam, khususnya di lingkungan keraton Mataram dan penerusnya, Surakarta dan Yogyakarta. Di sinilah bentuk tembang macapat distandardisasi dan mencapai kematangan artistiknya. Para pujangga keraton seperti Ranggawarsita dan Yasadipura menggunakan tembang macapat sebagai medium utama untuk menuangkan karya sastra mereka yang monumental. Serat-serat (naskah) seperti Wedhatama, Wulangreh, atau Kalatidha ditulis dalam kerangka metrum macapat. Memesong tembang-tembang ini bukan lagi sekadar aktivitas seni, melainkan sebuah laku prihatin, sebuah cara untuk menginternalisasi ajaran-ajaran luhur tentang etika, kepemimpinan, dan spiritualitas. Tembang macapat menjadi kurikulum tak tertulis bagi pendidikan karakter kaum bangsawan dan masyarakat pada umumnya.

Ragam Bentuk Memesong: Dari Tembang Macapat hingga Kidung Malam

Kekayaan memesong tecermin dari beragam bentuknya, masing-masing memiliki karakter, struktur, dan fungsi yang unik. Setiap bentuk adalah wadah bagi ekspresi rasa yang berbeda-beda, disesuaikan dengan konteks dan tujuannya.

Tembang Macapat: Peta Perjalanan Hidup Manusia

Tembang macapat adalah bentuk memesong yang paling dikenal luas dan terstruktur. Terdiri dari sebelas jenis metrum (pupuh), masing-masing dengan aturan ketat mengenai jumlah baris per bait (guru gatra), jumlah suku kata per baris (guru wilangan), dan vokal akhir di setiap baris (guru lagu). Keunikan macapat terletak pada bagaimana setiap metrumnya melambangkan sebuah fase dalam perjalanan hidup manusia, dari dalam kandungan hingga kembali ke haribaan Ilahi. Melantunkan macapat adalah seperti merenungi siklus kehidupan itu sendiri.

"Ngelmu iku, kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyantosani. Setya budaya pangekese dur angkara."
(Ilmu itu, dapat diraih dengan cara dihayati. Dimulai dengan kemauan kuat, artinya kemauan yang menguatkan. Kesetiaan pada budaya adalah penakluk kejahatan.)
— Contoh Tembang Pocung dari Serat Wedhatama

Kidung: Lantunan Malam yang Penuh Daya Magis

Berbeda dengan tembang macapat yang lebih bersifat sastrawi dan didaktis, kidung memiliki nuansa yang lebih sakral dan mistis. Kidung seringkali dilantunkan pada malam hari, dalam suasana hening, sebagai bagian dari sebuah ritual atau laku spiritual. Ia diyakini memiliki kekuatan magis (daya sekti) untuk menolak bala, mendatangkan ketenangan, atau sebagai sarana berkomunikasi dengan dimensi lain.

Salah satu kidung yang paling termasyhur adalah Kidung Rumeksa ing Wengi (Kidung Penjaga di Malam Hari). Dipercaya digubah oleh Sunan Kalijaga, kidung ini adalah doa dalam bentuk syair yang dilantunkan untuk memohon perlindungan dari segala macam mara bahaya, baik yang terlihat maupun yang tak kasat mata. Memesong kidung ini membutuhkan suasana batin yang hening dan fokus, karena diyakini getaran suaranya mampu menciptakan selubung energi pelindung.

Suluk: Suara Batin Sang Dalang

Dalam pertunjukan wayang kulit, memesong mengambil bentuk suluk. Dilantunkan oleh sang dalang, suluk bukanlah nyanyian biasa. Ia adalah deskripsi puitis yang menggambarkan suasana adegan, kondisi batin seorang tokoh, atau keagungan alam semesta. Suluk diiringi oleh instrumen gamelan yang lembut, seperti rebab, gender, dan suling, menciptakan atmosfer yang magis dan membawa penonton masuk lebih dalam ke dalam cerita. Ada berbagai macam suluk, seperti pathetan yang menggambarkan suasana tenang dan agung, sendhon yang melukiskan kesedihan atau kerinduan, dan ada-ada yang mengiringi adegan tegang atau peperangan. Suluk adalah contoh sempurna bagaimana memesong menjadi alat untuk memanipulasi rasa penonton, membawa mereka tertawa, menangis, dan merenung bersama para tokoh wayang.

Dimensi Psikologis dan Spiritual Memesong

Di luar fungsi budaya dan artistiknya, memesong memiliki dampak yang mendalam pada kondisi psikologis dan spiritual pelakunya. Ia adalah bentuk terapi jiwa yang telah dipraktikkan selama berabad-abad, sebuah cara untuk mencapai keseimbangan dan harmoni batin.

Sebagai Katarsis dan Pengolah Emosi

Ketika seseorang memesong dengan sepenuh hati, ia sedang melakukan proses katarsis, yaitu pelepasan emosi yang terpendam. Melantunkan tembang Megatruh dapat menjadi cara yang sehat untuk menyalurkan dan mengolah rasa duka. Melantunkan Durma bisa menjadi medium untuk melepaskan amarah atau frustrasi secara konstruktif. Getaran suara yang dihasilkan dari dalam tubuh seolah-olah memijat organ-organ internal dan melepaskan ketegangan. Proses ini memungkinkan individu untuk menghadapi emosinya, memberinya nama melalui lirik dan nada, dan akhirnya, berdamai dengannya. Ini adalah bentuk kecerdasan emosional yang diajarkan secara implisit melalui seni.

Sebagai Laku Meditasi dan Kontemplasi

Memesong menuntut tingkat konsentrasi yang tinggi. Seseorang harus fokus pada napas, intonasi (luk), hiasan nada (gregel), dan yang terpenting, penghayatan terhadap makna lirik. Proses ini secara alami membawa pelakunya ke dalam kondisi meditatif. Pikiran yang biasanya liar dan bercabang menjadi tenang dan terpusat pada alunan suara. Dalam keheningan batin yang tercipta inilah, proses kontemplasi terjadi. Makna-makna luhur dalam syair tembang mulai meresap ke dalam kesadaran, bukan lagi sebagai konsep intelektual, tetapi sebagai pengalaman batin yang hidup. Banyak yang merasakan kedamaian luar biasa setelah sesi memesong, seolah-olah jiwa mereka baru saja "dicuci" dan disegarkan.

Menyelaraskan Diri dengan Semesta

Dalam pandangan mistik Jawa, suara adalah getaran. Tubuh manusia adalah instrumen, dan alam semesta adalah resonatornya. Ketika memesong, seseorang sedang berusaha menyelaraskan getaran internalnya (mikrokosmos) dengan getaran alam semesta (makrokosmos). Ini adalah upaya untuk mencapai kondisi laras atau harmoni. Dipercaya bahwa ketika suara yang dihasilkan selaras dengan "nada" semesta, pintu-pintu spiritual akan terbuka. Ini adalah jalan menuju pengalaman transendental, sebuah perasaan menyatu dengan segala sesuatu, atau yang sering disebut sebagai manunggaling kawula Gusti. Memesong, dalam konteks ini, adalah sebuah doa yang paling intim, sebuah zikir yang dilantunkan melalui medium keindahan seni.

Relevansi Memesong di Era Kontemporer

Di tengah gempuran budaya global dan percepatan gaya hidup digital, mungkin timbul pertanyaan: masihkah memesong relevan? Apakah praktik kuno ini mampu bertahan di dunia yang serba instan dan bising? Jawabannya adalah ya, bahkan mungkin kini ia lebih dibutuhkan dari sebelumnya.

Dunia modern seringkali membuat kita terasing dari diri kita sendiri. Kita sibuk dengan dunia luar, dengan layar gawai, dan dengan tuntutan produktivitas, hingga kita lupa untuk mendengarkan suara batin kita sendiri. Memesong menawarkan sebuah jeda, sebuah ruang untuk kembali ke dalam, untuk terhubung kembali dengan rasa. Ia adalah penawar bagi jiwa yang kering dan lelah. Di tengah kebisingan informasi, kelembutan alunan tembang macapat bisa menjadi oase yang menyejukkan.

Upaya pelestarian dan revitalisasi pun terus berjalan. Sanggar-sanggar seni di berbagai daerah tak kenal lelah mengajarkan seni ini kepada generasi muda. Para seniman kontemporer mulai mengeksplorasi memesong dalam karya-karya mereka, memadukannya dengan genre musik modern seperti jazz, elektronik, atau musik dunia. Mereka membuktikan bahwa memesong bukanlah artefak beku dari masa lalu, melainkan sumber inspirasi yang dinamis dan tak lekang oleh waktu. Melalui platform digital seperti YouTube atau Spotify, gema memesong kini dapat menjangkau telinga pendengar di seluruh dunia, membuktikan universalitas dari ekspresi jiwa.

Lebih dari sekadar melestarikan sebuah bentuk seni, menjaga keberlangsungan hidup memesong berarti menjaga sebuah cara pandang, sebuah kearifan. Ia mengajarkan kita bahwa ekspresi yang paling jujur datang dari hati, bahwa keindahan sejati terletak pada keselarasan, dan bahwa dalam setiap helaan napas dan getaran suara, terdapat potensi untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih agung dari diri kita sendiri. Memesong adalah warisan adiluhung yang mengingatkan kita akan kekuatan suara, bukan untuk berteriak paling keras, tetapi untuk berbisik paling dalam ke relung jiwa.