Dalam setiap tatanan masyarakat, potensi konflik dan perselisihan adalah keniscayaan yang tak terhindarkan. Baik di tingkat individu, keluarga, komunitas, maupun negara, perbedaan pandangan, kepentingan, atau pemahaman bisa memicu sengketa. Untuk itu, diperlukan sebuah mekanisme yang adil dan berkeadilan untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga kedamaian dan harmoni dapat senantiasa terjaga. Dalam Islam, mekanisme ini dikenal dengan konsep bertahkim, sebuah prinsip fundamental yang menjadi pilar keadilan dan sumber kedamaian.
Bertahkim, secara harfiah, berarti menyerahkan suatu perkara kepada seorang hakam (juri, arbiter, atau hakim) untuk diputuskan berdasarkan syariat Allah. Ini bukan sekadar mencari solusi cepat, melainkan sebuah proses yang mendalam, berlandaskan iman, integritas, dan ketaatan kepada hukum Ilahi. Artikel ini akan mengupas tuntas makna, urgensi, prinsip-prinsip, implementasi, serta hikmah di balik praktik bertahkim dalam Islam, menjelaskan bagaimana ia menjadi solusi holistik untuk berbagai macam perselisihan, membawa kepada ketenteraman hati, dan memperkuat ikatan ukhuwah Islamiyah.
Memahami Makna dan Urgensi Bertahkim
Definisi Bertahkim dalam Perspektif Islam
Istilah "bertahkim" berasal dari kata dasar bahasa Arab, hakama (حَكَمَ), yang memiliki arti menghakimi, memutuskan, atau memerintah. Dalam konteks syariat Islam, bertahkim merujuk pada tindakan menyerahkan atau menunjuk seseorang atau suatu badan untuk menjadi hakam (penengah/juri/hakim) dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara dua pihak atau lebih. Hakam yang ditunjuk ini diharapkan dapat memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau setidaknya berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam yang adil dan maslahat.
Konsep ini sangat berbeda dengan arbitrase sekuler semata yang mungkin hanya berlandaskan hukum positif atau kesepakatan kontraktual. Bertahkim dalam Islam selalu membawa dimensi spiritual dan transendental, karena keputusan akhir harus selaras dengan kehendak Allah SWT. Pihak-pihak yang bertahkim berkomitmen untuk menerima keputusan hakam, bukan hanya karena otoritasnya, tetapi karena keyakinan bahwa keputusan itu adalah cerminan kebenaran yang diridhai Allah.
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa: 65)
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa keimanan seseorang dipertaruhkan ketika menghadapi perselisihan. Hakikat keimanan sejati adalah menerima sepenuhnya hukum Allah yang disampaikan melalui hakam, tanpa ada sedikitpun keraguan atau keberatan di dalam hati.
Urgensi Bertahkim dalam Kehidupan Bermasyarakat
Bertahkim memiliki peran yang sangat vital dalam menjaga kohesi sosial dan stabilitas masyarakat. Tanpa mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan berkeadilan, perselisihan dapat membesar, merusak hubungan, dan bahkan mengancam perdamaian. Beberapa urgensi bertahkim antara lain:
- Mencegah Konflik yang Meluas: Sengketa kecil yang tidak segera diselesaikan dengan adil dapat memicu dendam, kebencian, dan pada akhirnya, konflik yang lebih besar. Bertahkim berfungsi sebagai katup pengaman untuk meredakan ketegangan sejak dini.
- Menegakkan Keadilan: Tujuan utama bertahkim adalah untuk mencapai keadilan bagi semua pihak. Dengan merujuk pada syariat, keputusan yang diambil diharapkan objektif, tidak memihak, dan sesuai dengan hak-hak yang seharusnya.
- Memelihara Persatuan dan Persaudaraan: Dalam Islam, persatuan umat (ukhuwah) sangat dijunjung tinggi. Bertahkim membantu memulihkan hubungan yang retak akibat sengketa, mengingatkan pihak-pihak yang berselisih bahwa mereka adalah bersaudara.
- Memberikan Kepastian Hukum: Setiap perselisihan membutuhkan kejelasan dan kepastian. Bertahkim memberikan solusi definitif yang mengakhiri ketidakpastian dan memungkinkan pihak-pihak untuk melanjutkan hidup.
- Melaksanakan Perintah Allah: Sebagaimana tersirat dalam QS. An-Nisa: 65, bertahkim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah. Mengabaikannya berarti mengabaikan salah satu pilar penting keimanan.
- Mendidik Masyarakat tentang Toleransi dan Kepatuhan: Proses bertahkim mengajarkan pihak-pihak yang berselisih untuk bersabar, mendengarkan, menghormati pendapat, dan pada akhirnya, patuh pada keputusan yang adil, meskipun mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan keinginan pribadi.
Prinsip-Prinsip Dasar Bertahkim dalam Islam
Agar proses bertahkim berjalan efektif dan menghasilkan keadilan yang hakiki, ada beberapa prinsip dasar yang harus dipatuhi:
1. Ketaatan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah
Ini adalah prinsip paling fundamental. Seorang hakam wajib memutuskan perkara berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak ada nash (teks) yang jelas, maka ia harus berijtihad (berusaha keras) untuk menemukan hukum yang paling mendekati dan maslahat, dengan tetap merujuk pada prinsip-prinsip umum syariat. Tidak ada keputusan yang sah dalam bertahkim jika bertentangan secara eksplisit dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Hal ini juga berlaku bagi pihak-pihak yang berselisih. Mereka harus memiliki keyakinan penuh bahwa rujukan tertinggi dalam penyelesaian sengketa adalah syariat Islam, bukan hawa nafsu atau kepentingan pribadi semata. Keyakinan inilah yang membedakan bertahkim Islam dengan arbitrase lainnya.
2. Keadilan dan Objektivitas
Hakam harus berlaku adil dan objektif, tanpa memihak kepada salah satu pihak, meskipun salah satu pihak adalah kerabat dekat, teman, atau orang yang disukai. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil di sisi Allah akan berada di mimbar-mimbar cahaya di sebelah kanan Ar-Rahman, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum mereka, keluarga mereka, dan dalam apa yang mereka pimpin." (HR. Muslim).
Prinsip ini menuntut hakam untuk mendengarkan argumen dari kedua belah pihak secara saksama, menimbang bukti-bukti yang relevan, dan membuat keputusan tanpa dipengaruhi oleh tekanan eksternal atau bias internal. Keadilan harus menjadi kompas utama dalam setiap langkah proses bertahkim.
3. Integritas dan Kredibilitas Hakam
Seorang hakam harus memiliki integritas moral yang tinggi, dipercaya oleh kedua belah pihak, serta memiliki pengetahuan yang memadai tentang syariat Islam dan permasalahan yang dihadapinya. Kredibilitas hakam adalah kunci keberhasilan bertahkim, karena keputusan yang diambilnya akan sulit diterima jika ia tidak dihormati atau diragukan kejujurannya.
Oleh karena itu, pemilihan hakam tidak boleh dilakukan sembarangan. Idealnya, hakam adalah seseorang yang dikenal saleh, berilmu, bijaksana, dan tidak memiliki kepentingan pribadi dalam sengketa yang akan diputusnya. Apabila hakam merasa tidak mampu atau memiliki konflik kepentingan, ia wajib menolak penunjukan tersebut.
4. Niat Baik dan Keikhlasan
Baik pihak yang berselisih maupun hakam harus memulai proses dengan niat yang tulus (ikhlas) untuk mencari kebenaran dan keadilan, semata-mata karena Allah. Niat yang baik akan membimbing proses menuju hasil yang diridhai Allah dan diterima dengan lapang dada oleh semua pihak. Tanpa keikhlasan, bertahkim bisa menjadi ajang perebutan kepentingan atau pemenuhan ego.
Pihak-pihak yang bertahkim harus ikhlas menerima apapun keputusan yang diambil oleh hakam, selama keputusan itu berlandaskan syariat. Keikhlasan ini juga berarti kesediaan untuk memaafkan, berdamai, dan melupakan dendam setelah keputusan diambil.
5. Mendengarkan Kedua Belah Pihak (Sami'na wa Atho'na)
Hakam wajib memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan argumen, bukti, dan saksi mereka. Tidak boleh ada keputusan yang diambil berdasarkan asumsi atau hanya mendengarkan dari satu sisi saja. Prinsip ini adalah bagian integral dari keadilan.
Selain itu, pihak-pihak yang berselisih harus memiliki semangat "sami'na wa atho'na" (kami dengar dan kami patuh) terhadap keputusan hakam yang berlandaskan syariat. Kepatuhan ini adalah manifestasi dari keimanan dan keyakinan bahwa keputusan tersebut adalah yang terbaik menurut Allah.
Proses dan Mekanisme Bertahkim
Meskipun bertahkim dapat bersifat informal dalam beberapa konteks, seperti mediasi keluarga, prinsip-prinsip umumnya tetap harus diikuti. Proses bertahkim yang terstruktur biasanya meliputi langkah-langkah berikut:
1. Inisiasi dan Kesepakatan
Langkah pertama adalah kedua belah pihak yang berselisih secara sukarela setuju untuk bertahkim. Mereka harus bersepakat untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang hakam atau majelis hakam. Kesepakatan ini adalah fondasi legalitas dan penerimaan keputusan nantinya. Tanpa kesepakatan sukarela, proses bertahkim tidak sah dan keputusannya tidak mengikat secara moral maupun hukum (dalam konteks Islam).
Dalam kesepakatan ini, penting juga untuk mendefinisikan ruang lingkup sengketa, isu-isu yang akan diputuskan, dan batas-batas wewenang hakam. Semakin jelas kesepakatan awal, semakin lancar prosesnya.
2. Pemilihan Hakam
Pihak-pihak yang berselisih kemudian memilih hakam. Hakam bisa satu orang (jika sengketa sederhana) atau lebih (untuk sengketa kompleks, biasanya ganjil untuk menghindari suara seri). Pemilihan hakam adalah tahap krusial karena kredibilitas dan keilmuan hakam akan sangat mempengaruhi legitimasi keputusan. Kriteria umum hakam telah dijelaskan sebelumnya: berilmu, adil, jujur, berintegritas, dan tidak memiliki kepentingan pribadi.
Dalam kasus perselisihan rumah tangga, misalnya, Al-Qur'an menyarankan penunjukan dua hakam: satu dari pihak suami dan satu dari pihak istri. Ini menunjukkan pentingnya representasi dan perspektif yang seimbang.
3. Sidang (Dengarkan Argumen dan Bukti)
Setelah hakam terpilih, dimulailah proses persidangan atau dengar pendapat. Hakam akan memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing pihak untuk menyampaikan kronologi sengketa, argumen mereka, bukti-bukti (dokumen, saksi), dan tuntutan mereka. Hakam harus aktif mendengarkan, mengajukan pertanyaan klarifikasi, dan memastikan bahwa setiap pihak merasa didengarkan.
Prinsip audi alteram partem (dengarkan pihak lain) sangat ditekankan di sini. Tidak boleh ada penilaian atau kesimpulan awal sebelum semua informasi dari kedua belah pihak dikumpulkan dan dipertimbangkan secara cermat.
4. Penelitian dan Pertimbangan
Setelah semua argumen dan bukti disampaikan, hakam akan meneliti, menganalisis, dan mempertimbangkan semua fakta yang ada. Ini adalah fase di mana hakam menggunakan keilmuan syariatnya, kebijaksanaannya, dan keadilannya untuk memahami akar masalah dan mencari solusi terbaik. Hakam mungkin juga mencari nasihat dari ulama lain atau pakar di bidang terkait jika diperlukan.
Dalam tahap ini, hakam tidak hanya mencari "siapa yang benar dan siapa yang salah" dalam arti sempit, tetapi juga mencari solusi yang membawa maslahat (kebaikan) terbesar dan menghindari mafsadah (kerusakan) terkecil, sesuai dengan semangat syariat Islam.
5. Penetapan Keputusan (Hukm)
Berdasarkan penelitian dan pertimbangan, hakam kemudian membuat keputusan (hukm). Keputusan ini harus jelas, adil, dan berlandaskan pada syariat Islam. Hakam wajib menjelaskan dasar hukum dari keputusannya agar pihak-pihak yang berselisih dapat memahami dan menerimanya dengan lapang dada.
Keputusan ini bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang telah sepakat untuk bertahkim. Kepatuhan terhadap keputusan hakam adalah bagian dari integritas keimanan mereka. Menolak keputusan hakam yang telah memenuhi syarat syariat adalah tindakan yang tercela dalam Islam.
6. Implementasi dan Penegakan
Setelah keputusan ditetapkan, langkah selanjutnya adalah implementasinya. Pihak-pihak yang berselisih wajib melaksanakan keputusan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Dalam beberapa kasus, hakam mungkin juga berperan dalam memastikan bahwa keputusan dijalankan dengan benar. Jika salah satu pihak enggan melaksanakan, hakam dapat mengingatkan mereka akan kewajiban mereka di hadapan Allah.
Dalam sistem peradilan Islam, hukm yang dihasilkan dari bertahkim dapat memiliki kekuatan hukum yang setara dengan putusan pengadilan, tergantung pada otoritas hakam dan kesepakatan awal para pihak.
Bidang Aplikasi Bertahkim
Konsep bertahkim sangat fleksibel dan dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terbatas pada ranah peradilan formal saja.
1. Bertahkim dalam Perselisihan Rumah Tangga (Sengketa Suami-Istri)
Salah satu aplikasi bertahkim yang paling jelas disebutkan dalam Al-Qur'an adalah dalam konteks perselisihan suami-istri. Allah SWT berfirman:
"Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti." (QS. An-Nisa: 35)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika hubungan suami-istri mencapai tingkat perselisihan yang mengkhawatirkan, langkah pertama adalah melibatkan pihak ketiga yang netral dan bijaksana dari kedua belah keluarga. Tujuan utama dari hakam ini adalah untuk mencari jalan keluar, mendamaikan, atau jika tidak memungkinkan, memberikan solusi yang adil bagi perceraian.
Dalam konteks ini, hakam tidak hanya sebagai pemutus hukum, tetapi juga sebagai mediator dan konselor yang berusaha memulihkan ikatan keluarga. Ini menunjukkan bahwa bertahkim dalam Islam tidak selalu tentang mencari kesalahan, tetapi seringkali tentang mencari perdamaian dan maslahat.
2. Bertahkim dalam Sengketa Muamalah (Bisnis dan Keuangan)
Dalam transaksi bisnis, jual beli, utang-piutang, kemitraan, atau kontrak lainnya, potensi sengketa selalu ada. Bertahkim menjadi pilihan yang sangat baik untuk menyelesaikan sengketa muamalah secara Islam, menghindari pengadilan sekuler yang mungkin tidak memahami prinsip-prinsip syariah.
Contohnya, dua pengusaha yang berselisih tentang pembagian keuntungan dalam usaha patungan dapat bertahkim kepada seorang ulama atau ahli ekonomi syariah yang dihormati. Keputusan hakam akan didasarkan pada prinsip-prinsip akad syariah yang mereka sepakati dan hukum Islam tentang hak dan kewajiban dalam muamalah. Ini juga mencakup sengketa warisan, di mana bertahkim dapat memastikan pembagian harta sesuai faraidh.
3. Bertahkim dalam Perselisihan Komunitas dan Sosial
Di tingkat komunitas, perselisihan antarwarga, antara kelompok, atau antara individu dan institusi lokal dapat diselesaikan melalui bertahkim. Tokoh masyarakat, ulama setempat, atau pemimpin adat yang memahami syariat dapat berperan sebagai hakam.
Misalnya, sengketa batas tanah, penggunaan fasilitas umum, atau masalah tetangga dapat diselesaikan secara damai melalui hakam yang dipercaya. Keberadaan hakam di tengah masyarakat membantu menjaga harmoni dan mencegah sengketa kecil membesar menjadi konflik yang merusak.
4. Bertahkim dalam Tata Negara dan Politik
Meskipun lebih kompleks, prinsip bertahkim juga relevan dalam konteks tata negara dan politik Islam. Ketika terjadi perselisihan antara pemimpin dan rakyat, atau antar fraksi politik, rujukan kepada hukum Allah melalui ulama yang kredibel atau majelis syura (dewan permusyawaratan) adalah bentuk bertahkim.
Dalam sejarah Islam, banyak ulama besar yang berperan sebagai penasihat dan bahkan hakam bagi para penguasa untuk memastikan keputusan negara selaras dengan syariat dan kemaslahatan umat. Ini adalah mekanisme untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan memastikan bahwa kebijakan publik mencerminkan keadilan Ilahi.
Hikmah dan Keutamaan Bertahkim
Praktik bertahkim tidak hanya sekadar prosedur penyelesaian sengketa, tetapi juga sarat dengan hikmah dan keutamaan yang mendalam bagi individu maupun masyarakat.
1. Mencapai Keridhaan Allah
Karena bertahkim berlandaskan pada penyerahan diri kepada hukum Allah, maka setiap proses dan keputusan yang adil dalam bertahkim adalah bentuk ibadah dan upaya mencari keridhaan-Nya. Pihak-pihak yang ikhlas menerima keputusan hakam yang syar'i akan mendapatkan pahala dan ketenangan hati.
Keutamaan ini menjadikan bertahkim sebagai sebuah amalan yang tidak hanya menyelesaikan masalah duniawi, tetapi juga membawa keberkahan ukhrawi. Ini berbeda dengan penyelesaian sengketa yang hanya berorientasi pada keuntungan materi atau kemenangan ego.
2. Mendidik Jiwa untuk Menerima Kebenaran
Bertahkim melatih individu untuk memiliki jiwa besar dalam menerima kebenaran, meskipun kebenaran itu mungkin tidak sesuai dengan keinginan pribadi atau bahkan merugikan secara materi. Ini adalah latihan kesabaran, keikhlasan, dan tawakal kepada Allah.
Proses ini membantu menekan ego, menghilangkan sifat dengki, dan menumbuhkan rasa rendah hati. Ketika seseorang bisa menerima keputusan yang adil meskipun pahit, itu menandakan kematangan spiritual dan kekuatan iman.
3. Memperkuat Ikatan Ukhuwah Islamiyah
Dengan adanya mekanisme bertahkim, perselisihan dapat diselesaikan tanpa merusak persaudaraan yang telah terjalin. Bahkan, dalam banyak kasus, bertahkim justru dapat memperbaiki hubungan yang retak, karena kedua belah pihak dipaksa untuk berinteraksi dalam kerangka keadilan dan saling pengertian.
Hakam seringkali berperan sebagai penasihat yang mengingatkan tentang pentingnya ukhuwah, memaafkan, dan menjaga silaturahmi. Ini adalah salah satu keunggulan bertahkim dibandingkan proses litigasi yang seringkali memperdalam jurang permusuhan.
4. Mengurangi Beban Pengadilan Formal
Dalam masyarakat yang memiliki kesadaran bertahkim yang tinggi, banyak sengketa dapat diselesaikan di luar jalur pengadilan formal. Ini meringankan beban sistem peradilan negara, mengurangi birokrasi, dan mempercepat proses penyelesaian masalah.
Bertahkim menyediakan alternatif yang lebih cepat, efisien, dan seringkali lebih intim serta personal dalam penyelesaian sengketa, yang sangat cocok untuk masalah-masalah yang tidak memerlukan formalitas ketat.
5. Membangun Masyarakat yang Adil dan Damai
Secara kolektif, praktik bertahkim yang meluas dalam masyarakat akan menciptakan lingkungan yang lebih adil dan damai. Masyarakat akan terbiasa menyelesaikan masalah dengan bijak, merujuk pada prinsip-prinsip syariat, dan saling menghormati hak masing-masing.
Ini adalah fondasi bagi sebuah masyarakat madani yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kasih sayang, sesuai dengan cita-cita Islam. Ketiadaan bertahkim, sebaliknya, dapat membiarkan bibit-bibit perselisihan tumbuh liar, merusak struktur sosial dan moral.
Tantangan dan Misinterpretasi Bertahkim
Meskipun bertahkim menawarkan solusi yang komprehensif, implementasinya tidak tanpa tantangan. Beberapa di antaranya adalah:
1. Ketiadaan Hakam yang Kompeten dan Berintegritas
Salah satu tantangan terbesar adalah menemukan hakam yang benar-benar memenuhi kriteria: berilmu, adil, jujur, dan dipercaya oleh semua pihak. Di beberapa daerah atau komunitas, mungkin sulit menemukan figur yang memiliki kombinasi kualitas ini, atau figur yang ada terlalu sibuk.
Pengembangan kader ulama dan cendekiawan yang mumpuni dalam fiqh munakahat (hukum keluarga), fiqh muamalah (hukum bisnis), dan resolusi konflik adalah esensial untuk mendukung praktik bertahkim yang sehat.
2. Enggan Menerima Keputusan Hakam
Meskipun telah sepakat untuk bertahkim, tidak jarang salah satu pihak atau bahkan keduanya merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil dan enggan melaksanakannya. Ini bisa terjadi karena ego, kepentingan pribadi yang terlalu kuat, atau kurangnya pemahaman tentang pentingnya ketaatan pada keputusan yang syar'i.
Ayat An-Nisa: 65 menunjukkan bahwa penolakan ini dapat merusak keimanan. Oleh karena itu, edukasi tentang urgensi menerima keputusan hakam sangat penting.
3. Tekanan dari Lingkungan atau Kekuatan Luar
Dalam beberapa kasus, proses bertahkim dapat dipengaruhi oleh tekanan dari lingkungan, keluarga besar, atau kekuatan ekonomi/politik yang ingin memihak salah satu pihak. Ini dapat mengganggu objektivitas hakam dan integritas proses.
Hakam harus memiliki keberanian untuk menolak tekanan tersebut dan tetap berpegang pada kebenaran, sementara pihak-pihak yang berselisih harus memiliki keberanian untuk mencari keadilan tanpa tunduk pada intervensi yang tidak syar'i.
4. Misinterpretasi dan Penyalahgunaan
Konsep bertahkim terkadang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu atau diinterpretasikan secara keliru. Misalnya, bertahkim dijadikan alat untuk membenarkan tindakan yang tidak syar'i atau untuk memaksakan kehendak kelompok tertentu atas nama agama.
Penting untuk selalu merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah serta pemahaman ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang kredibel untuk memastikan bahwa praktik bertahkim berjalan sesuai tuntunan yang benar.
5. Integrasi dengan Sistem Hukum Negara
Di negara-negara Muslim yang memiliki sistem hukum ganda (syariat dan sipil) atau di negara minoritas Muslim, integrasi atau pengakuan terhadap keputusan bertahkim oleh sistem hukum negara bisa menjadi tantangan. Ini membutuhkan dialog dan pemahaman antara kedua sistem.
Meski demikian, secara internal, di kalangan umat Islam, keputusan bertahkim tetap mengikat secara moral dan keagamaan, terlepas dari pengakuan hukum positif.
Membangun Budaya Bertahkim dalam Masyarakat Muslim
Untuk memaksimalkan manfaat bertahkim, perlu adanya upaya kolektif untuk membangun dan memperkuat budaya bertahkim dalam masyarakat Muslim. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
1. Pendidikan dan Sosialisasi
Edukasi tentang konsep, prinsip, dan urgensi bertahkim harus terus-menerus dilakukan di masjid, majelis taklim, sekolah, dan media massa. Pemahaman yang benar akan mendorong umat untuk lebih sering merujuk pada bertahkim sebagai solusi konflik.
Kurikulum pendidikan Islam harus mencakup pembahasan mendalam tentang fiqh perselisihan, mediasi, dan peran hakam. Ini akan membekali generasi muda dengan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai ini.
2. Pengembangan Sumber Daya Hakam
Masyarakat perlu mengidentifikasi, melatih, dan memberdayakan individu-individu yang memenuhi syarat untuk menjadi hakam. Ini bisa melalui program pelatihan khusus bagi ulama, da'i, tokoh masyarakat, atau bahkan para profesional hukum yang memiliki pemahaman syariah.
Sertifikasi atau pengakuan kompetensi bagi hakam juga bisa menjadi langkah untuk meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap mereka.
3. Pembentukan Lembaga Arbitrase Syariah
Membentuk lembaga-lembaga arbitrase syariah formal atau informal di tingkat komunitas, kota, atau bahkan nasional dapat menjadi wadah bagi pelaksanaan bertahkim yang lebih terstruktur dan profesional. Lembaga ini dapat menyediakan daftar hakam yang berkualitas, memfasilitasi proses, dan menyimpan catatan keputusan.
Lembaga semacam ini dapat berperan vital dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang lebih kompleks, terutama di bidang muamalah, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada sistem peradilan konvensional.
4. Mendorong Toleransi dan Memaafkan
Budaya bertahkim juga harus diiringi dengan penekanan pada nilai-nilai toleransi, kesabaran, dan kesediaan untuk memaafkan. Seringkali, keputusan bertahkim meskipun adil, akan lebih mudah diterima jika pihak-pihak yang berselisih memiliki hati yang lapang untuk berdamai dan memulai lembaran baru.
Khutbah Jum'at, ceramah, dan pengajian dapat secara rutin mengingatkan umat tentang keutamaan islah (perdamaian) dan berlapang dada dalam menghadapi perbedaan.
5. Teladan dari Para Pemimpin
Para pemimpin agama, sosial, dan politik harus memberikan teladan dalam praktik bertahkim. Ketika mereka sendiri merujuk pada hakam untuk menyelesaikan perselisihan atau menerima keputusan hakam dengan lapang dada, ini akan memberikan dorongan kuat bagi masyarakat untuk mengikuti jejak mereka.
Kepemimpinan adalah kunci untuk membentuk budaya. Jika pemimpin menunjukkan komitmen terhadap bertahkim, masyarakat akan lebih termotivasi untuk mengadopsinya sebagai cara hidup.
Kesimpulan
Bertahkim adalah sebuah konsep yang indah dan mendalam dalam Islam, sebuah mekanisme ilahiah untuk menegakkan keadilan, menyelesaikan sengketa, dan menjaga kedamaian di antara sesama manusia. Lebih dari sekadar prosedur hukum, bertahkim adalah manifestasi dari keimanan, ketaatan kepada Allah, dan komitmen terhadap ukhuwah Islamiyah.
Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Qur'an dan As-Sunnah, memilih hakam yang adil dan berintegritas, serta berlapang dada menerima keputusan yang syar'i, umat Islam dapat mempraktikkan bertahkim dalam setiap aspek kehidupan mereka, mulai dari urusan rumah tangga, bisnis, hingga kemasyarakatan. Tantangan dalam implementasinya memang ada, namun dengan pendidikan yang berkelanjutan, pengembangan sumber daya, dan teladan dari para pemimpin, budaya bertahkim dapat terus diperkuat.
Ketika bertahkim menjadi pilar utama dalam penyelesaian konflik, masyarakat akan tumbuh menjadi komunitas yang lebih harmonis, adil, dan diberkahi. Setiap perselisihan yang diselesaikan secara bertahkim adalah langkah menuju keridhaan Allah, mendekatkan hati yang berselisih, dan mengukuhkan fondasi kedamaian sejati yang berlandaskan syariat-Nya. Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk senantiasa bertahkim kepada hukum Allah dalam setiap permasalahan yang kita hadapi.