Keindahan Bertandak: Harmoni Gerak dan Budaya Nusantara
Di setiap penjuru Nusantara, tersimpan kekayaan budaya yang tak terhingga, salah satunya adalah tradisi bertandak. Istilah ini, yang berakar kuat dalam budaya Melayu dan serumpunnya, merujuk pada aktivitas menari, khususnya tari tradisional yang penuh makna dan filosofi. Lebih dari sekadar rangkaian gerakan tubuh yang estetis, bertandak adalah manifestasi jiwa, ekspresi kegembiraan, penghormatan terhadap leluhur, serta sarana untuk menjalin kebersamaan. Setiap ayunan tangan, lenggok pinggul, dan pijakan kaki dalam bertandak mengandung narasi yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai luhur dan pandangan hidup masyarakat yang melahirkannya.
Bertandak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan sosial dan spiritual masyarakat di berbagai daerah. Mulai dari acara adat yang sakral, perayaan pesta panen yang meriah, hingga momen-momen kebersamaan yang hangat, bertandak selalu hadir sebagai pengisi ruang dan waktu, memberikan warna serta makna yang tak tergantikan. Kehadirannya bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan juga sebagai ritual, komunikasi dengan alam, dan cara untuk mempertahankan identitas budaya di tengah gempuran modernisasi yang terus bergerak cepat. Memahami bertandak berarti menyelami lautan kearifan lokal, merasakan degup jantung tradisi yang terus berdetak, dan mengagumi keindahan yang terpancar dari setiap gerakannya.
Mengurai Makna Bertandak: Lebih dari Sekadar Gerakan
Secara etimologis, kata "bertandak" seringkali dihubungkan dengan "tandak" yang berarti menari atau gerakan ritmis. Namun, dalam konteks budaya, makna bertandak jauh melampaui definisi kamus. Bertandak adalah sebuah aktivitas komunal yang melibatkan interaksi antara penari, pemusik, dan penonton. Ia adalah dialog tanpa kata, sebuah narasi yang terukir di udara melalui gestur dan irama. Di banyak daerah, bertandak bukan hanya sekadar unjuk kebolehan individu, melainkan representasi kolektif dari suatu masyarakat, yang menjunjung tinggi keharmonisan, keselarasan, dan kebersamaan.
Dalam lingkup budaya Melayu, misalnya, bertandak seringkali diasosiasikan dengan tari-tarian seperti Zapin, Joget, atau Mak Yong. Namun, konsep bertandak bisa diperluas untuk mencakup berbagai bentuk tari tradisional di Nusantara yang memiliki semangat dan tujuan serupa: mengekspresikan diri, merayakan kehidupan, atau melaksanakan ritual. Ciri khas bertandak terletak pada interaksinya yang dinamis, seringkali dengan penonton yang diajak ikut serta, menciptakan suasana yang intim dan partisipatif. Ini berbeda dengan pertunjukan tari yang lebih bersifat pasif, di mana penonton hanya menyaksikan. Bertandak mendorong keterlibatan, bahkan improvisasi, yang menjadi salah satu elemen keindahannya.
Setiap daerah mungkin memiliki istilahnya sendiri untuk menari secara tradisional, namun semangat bertandak sebagai kegiatan sosial yang interaktif dan ekspresif tetap relevan. Gerakan-gerakan yang lembut namun penuh energi, iringan musik yang menghentak namun melenakan, serta sorak-sorai yang menyemarakkan suasana, semuanya bersatu padu dalam sebuah pertunjukan bertandak. Ini adalah sebuah pengalaman multisensori yang menggetarkan hati dan membangkitkan rasa memiliki terhadap budaya. Oleh karena itu, memahami bertandak adalah memahami esensi sebuah perayaan, sebuah penghormatan, dan sebuah ikatan yang tak terlihat.
Fleksibilitas interpretasi kata "bertandak" ini juga menunjukkan bagaimana budaya di Nusantara saling berkaitan dan memiliki benang merah yang sama dalam mengekspresikan seni gerak. Walaupun istilah spesifik mungkin berbeda, semangat kolektif, interaktif, dan ekspresif dalam menari tetap menjadi inti. Bertandak, dengan demikian, bukan sekadar sebuah kata kerja, melainkan sebuah konsep budaya yang mencakup seluruh spektrum tarian tradisional yang bertujuan untuk merayakan kehidupan, mengabadikan sejarah, dan memperkuat jalinan sosial antarindividu dalam komunitas. Ini adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan sarana untuk mewariskan nilai-nilai kepada generasi yang akan datang.
Seiring waktu, bentuk-bentuk bertandak mengalami evolusi dan adaptasi. Namun, inti dari bertandak—yakni semangat spontanitas, kegembiraan yang tulus, dan interaksi yang hangat—tetap lestari. Dalam konteks modern, bertandak juga dapat menjadi bentuk perlawanan budaya terhadap homogenisasi global. Dengan terus bertandak, masyarakat menegaskan keberadaan identitas lokal mereka, menunjukkan bahwa tradisi memiliki kekuatan untuk tetap relevan dan beresonansi di era kontemporer. Ini bukan hanya tentang melestarikan gerakan, tetapi juga melestarikan cerita, semangat, dan jiwa dari komunitas yang menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, mari kita terus menghargai dan mendukung praktik bertandak ini sebagai pilar budaya yang tak ternilai.
Akar Sejarah dan Jejak Lestari Bertandak di Nusantara
Menelusuri akar sejarah bertandak membawa kita kembali ke masa-masa lampau, ketika seni tari belum terpisah dari kehidupan sehari-hari dan ritual. Pada awalnya, tarian ini mungkin lahir dari kebutuhan ekspresi manusia purba terhadap alam, rasa syukur atas panen yang melimpah, atau permohonan perlindungan dari kekuatan gaib. Seiring perkembangan peradaban, bertandak kemudian bertransformasi menjadi bentuk-bentuk yang lebih terstruktur, namun esensinya sebagai media komunikasi dan ekspresi tetap terjaga.
Di wilayah Melayu, jejak-jejak bertandak dapat ditelusuri dari pengaruh budaya India dan Persia yang masuk seiring dengan penyebaran agama. Tari Zapin, misalnya, memiliki akar yang kuat dari Yaman dan adaptasi lokal yang kaya, menjadi salah satu bentuk bertandak yang paling populer. Demikian pula dengan Joget, yang memadukan unsur-unsur Portugis dengan kekayaan lokal, menciptakan gaya tarian yang ceria dan interaktif. Bentuk-bentuk awal dari bertandak ini seringkali ditampilkan dalam lingkungan istana, sebagai hiburan raja dan bangsawan, namun juga menyebar luas di kalangan rakyat jelata, menjadi bagian dari perayaan dan upacara adat.
Pengaruh animisme dan dinamisme juga memainkan peran penting dalam pembentukan awal bertandak. Beberapa tarian tradisional masih menunjukkan sisa-sisa kepercayaan ini, di mana gerakan-gerakan tertentu dilakukan untuk memanggil roh leluhur, menolak bala, atau meminta kesuburan tanah. Aspek ritualistik ini memberikan dimensi yang sakral pada bertandak, menjadikannya bukan hanya pertunjukan seni, tetapi juga sebuah jembatan antara dunia manusia dan dunia spiritual. Pemahaman terhadap asal-usul ini membantu kita menghargai kedalaman filosofi di balik setiap langkah dan gerak.
Seiring waktu, dengan masuknya agama-agama besar seperti Islam, Hindu, dan Buddha, bertandak mengalami akulturasi yang kompleks. Gerakan-gerakan yang semula memiliki makna spiritual animisme, kini diadaptasi dan diinterpretasikan ulang agar selaras dengan nilai-nilai agama yang baru. Kostum dan iringan musik juga mengalami perubahan, disesuaikan dengan estetika dan etika yang berkembang. Namun, melalui semua perubahan ini, semangat bertandak untuk menjaga kebersamaan dan ekspresi budaya tetap menjadi benang merah yang tidak terputus. Ini menunjukkan ketahanan dan kemampuan adaptasi budaya Nusantara.
Pada masa kolonial, bertandak menghadapi tantangan baru. Beberapa bentuk tarian tradisional sempat dilarang atau dianggap primitif oleh penguasa asing. Namun, justru di masa-masa sulit inilah, bertandak menjadi simbol perlawanan dan identitas budaya yang kuat. Masyarakat tetap mempraktikkannya secara sembunyi-sembunyi atau dalam bentuk yang disamarkan, memastikan bahwa warisan leluhur tidak padam. Kegigihan ini menunjukkan betapa dalamnya akar bertandak dalam jiwa masyarakat, dan bagaimana ia menjadi pilar penting dalam mempertahankan jati diri.
Pasca-kemerdekaan, ada upaya masif untuk merevitalisasi dan melestarikan bertandak sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Lembaga-lembaga kebudayaan, sekolah seni, dan komunitas lokal bekerja sama untuk mendokumentasikan, mengajarkan, dan menampilkan kembali berbagai bentuk bertandak. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa generasi penerus tidak kehilangan kontak dengan warisan budaya mereka yang tak ternilai. Proses ini juga melibatkan inovasi, di mana elemen-elemen modern kadang-kadang diintegrasikan tanpa mengorbankan esensi tradisional dari bertandak.
Kini, bertandak terus hidup dan berkembang, bukan hanya di panggung-panggung adat, tetapi juga di kancah internasional. Ia menjadi duta budaya Indonesia yang memperkenalkan kekayaan seni gerak Nusantara ke mata dunia. Setiap pertunjukan bertandak adalah pengingat akan perjalanan panjang sebuah tradisi, dari masa purba hingga era modern, yang terus beradaptasi, bertahan, dan bersinar. Keberadaannya adalah bukti nyata bahwa budaya adalah entitas yang hidup, bernapas, dan senantiasa relevan.
Ragam Bentuk dan Ekspresi dalam Seni Bertandak
Istilah bertandak mungkin paling akrab di telinga masyarakat Melayu, namun semangat dan karakteristiknya dapat ditemukan dalam berbagai bentuk tarian tradisional di seluruh Nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan gerak, irama, dan filosofi yang memperkaya khazanah bertandak secara keseluruhan. Memahami ragam ini adalah menyelami peta budaya Indonesia yang begitu majemuk dan berwarna.
Bertandak dalam Konteks Melayu: Zapin dan Joget
Di tanah Melayu, bertandak erat kaitannya dengan tari Zapin dan Joget. Tari Zapin, yang awalnya merupakan tarian hiburan di istana-istana Melayu, kini telah merakyat dan menjadi bagian penting dari setiap perayaan. Gerakannya yang lembut namun energik, dengan sentuhan Arab dan lokal, menciptakan harmonisasi yang indah. Ciri khasnya adalah pukulan rebana yang berirama cepat dan langkah kaki yang ringan namun tegas. Penari Zapin biasanya berpasangan, atau dalam kelompok, menari dengan penuh keserasian, mencerminkan nilai-nilai kesopanan dan kebersamaan.
Zapin adalah contoh sempurna bagaimana bertandak berkembang dari pengaruh luar menjadi identitas lokal yang kuat. Awalnya dibawa oleh para pedagang dan ulama dari Timur Tengah, tarian ini kemudian diadaptasi dengan irama dan melodi Melayu, menciptakan bentuk baru yang unik. Setiap daerah Melayu, dari Riau hingga Kalimantan Barat, memiliki variasi Zapinnya sendiri, menunjukkan kekayaan interpretasi terhadap sebuah bentuk tarian. Gerakan Zapin seringkali diiringi pantun dan lagu-lagu yang berisi nasihat atau pujian, menambah kedalaman makna pada setiap penampilan bertandak.
Sementara itu, tari Joget dikenal dengan gerakannya yang lebih lincah dan bersemangat. Pengaruh Portugis yang kuat dalam musik pengiringnya, seperti penggunaan akordion dan biola, memberikan nuansa yang berbeda. Joget seringkali bersifat improvisatif, di mana penari dapat saling berbalas pantun atau 'mengundang' penonton untuk ikut serta. Interaksi yang akrab dan riang gembira inilah yang menjadikan Joget salah satu bentuk bertandak yang paling disukai dalam pesta-pesta dan keramaian. Kebebasan ekspresi dalam Joget menjadikannya sangat populer sebagai hiburan sosial.
Baik Zapin maupun Joget, keduanya adalah manifestasi luhur dari tradisi bertandak. Keduanya menekankan pada kebersamaan, ekspresi emosi yang elegan, dan penjalinan silaturahmi. Gerakan-gerakan dalam kedua tarian ini tidak hanya estetis, tetapi juga mengandung pesan-pesan moral dan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Dari langkah pembuka hingga penutup, setiap fase bertandak dalam Zapin dan Joget memiliki struktur yang dijaga, namun juga memberikan ruang untuk interpretasi personal dan spontanitas yang menjadikannya hidup dan dinamis.
Sentuhan Minangkabau: Indahnya Tari Piring dan Pasambahan
Di Minangkabau, meskipun istilah "bertandak" tidak secara langsung digunakan, semangatnya dapat ditemukan dalam tari-tarian seperti Tari Piring dan Tari Pasambahan. Tari Piring, yang awalnya merupakan tarian ritual persembahan rasa syukur kepada Dewi Padi, kini menjadi tarian penyambutan yang memukau. Para penari melenggang dengan indah sambil membawa piring berisi sesajen, kemudian menghentakkan piring-piring tersebut ke lantai, menciptakan irama yang khas. Kecepatan dan ketepatan gerak dalam Tari Piring adalah representasi dari kedisiplinan dan keindahan yang mendalam.
Setiap penari Tari Piring harus memiliki keseimbangan dan kelincahan yang luar biasa, karena mereka tidak hanya menari tetapi juga harus menjaga piring-piring di tangan mereka agar tidak jatuh. Prosesi "mancak" atau memecahkan piring di akhir pertunjukan melambangkan pembersihan dan kesiapan untuk memulai sesuatu yang baru, penuh harapan. Dalam konteks bertandak, Tari Piring adalah ekspresi rasa syukur dan kehormatan yang tinggi, disampaikan melalui gerak yang anggun dan penuh makna.
Tari Pasambahan, di sisi lain, adalah tarian penyambutan tamu kehormatan, di mana penari membawa carano (wadah berisi sirih lengkap) sebagai simbol keramahan. Gerakan lembut dan penuh hormat para penari Pasambahan menggambarkan adat Minangkabau yang menjunjung tinggi sopan santun dan etika. Meskipun tidak seinteraktif Joget, Tari Pasambahan adalah bentuk bertandak yang mengedepankan komunikasi dan penghormatan, sebuah dialog budaya yang disampaikan melalui keanggunan gerak. Keduanya, Tari Piring dan Tari Pasambahan, adalah bukti kekayaan ekspresi bertandak di ranah Minang.
Dalam kedua tarian ini, unsur 'bertandak' hadir dalam semangat presentasi yang kuat, di mana para penari bukan sekadar penghibur, tetapi juga pembawa pesan. Pesan tentang rasa syukur, tentang kehormatan, tentang keramahan, dan tentang nilai-nilai luhur adat. Setiap gerakan, setiap formasi, dan setiap mimik wajah penari adalah bagian dari narasi yang ingin disampaikan, menjadikan setiap pertunjukan sebagai momen bertandak yang tak terlupakan. Melalui mereka, kita bisa melihat bagaimana bertandak menjadi medium yang efektif untuk mewariskan dan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya.
Pengaruh Jawa dan Sunda: Kemiripan Gerak dan Filosofi
Meskipun istilah "bertandak" tidak umum digunakan di Jawa atau Sunda, esensi tarian rakyat yang interaktif dan ekspresif sangat terasa. Di Jawa, misalnya, ada tarian Tayub atau Lengger yang melibatkan interaksi langsung antara penari dan penonton. Tarian ini seringkali dipertunjukkan dalam acara bersih desa, pernikahan, atau hajatan lainnya, di mana penari (biasanya perempuan) mengundang laki-laki untuk menari bersama. Gerakan yang luwes dan penuh pesona, diiringi gamelan yang megah, menciptakan suasana yang meriah dan penuh keakraban. Tayub adalah salah satu bentuk tarian bertandak yang sangat hidup dan penuh energi, mewujudkan kegembiraan komunitas.
Dalam Tayub, penari wanita (disebut ledhek atau ronggeng) akan melemparkan selendang kepada penonton laki-laki sebagai ajakan untuk menari bersama. Ini adalah inti dari sifat interaktif bertandak, di mana batasan antara penampil dan penonton menjadi kabur, dan semua orang diundang untuk menjadi bagian dari perayaan. Gerakan Tayub yang khas, dengan putaran pinggul yang halus dan ayunan tangan yang anggun, adalah hasil dari latihan bertahun-tahun dan pemahaman mendalam tentang irama gamelan. Filosofi di balik Tayub seringkali dikaitkan dengan kesuburan, kemakmuran, dan kegembiraan komunal.
Di Sunda, tari Jaipongan juga memiliki semangat bertandak yang kuat. Meskipun merupakan kreasi baru yang muncul di abad ke-20, Jaipongan mengambil inspirasi dari tarian rakyat tradisional Sunda seperti Ketuk Tilu dan Ronggeng Gunung, yang kaya akan interaksi dan improvisasi. Gerakan Jaipongan yang dinamis, cepat, dan penuh semangat, diiringi kendang dan alat musik lainnya, sangat cocok untuk memeriahkan suasana pesta. Para penari Jaipongan, dengan kelincahan dan ekspresi mereka, mengajak penonton untuk ikut merasakan euforia tarian, sebuah bentuk bertandak modern yang tetap setia pada akar tradisinya.
Baik Tayub maupun Jaipongan, meskipun dengan sebutan berbeda, adalah representasi dari keinginan masyarakat untuk berkumpul, merayakan, dan mengekspresikan diri melalui gerak. Ini adalah inti dari bertandak: sebuah kegiatan sosial yang mempererat tali silaturahmi, memupuk kebersamaan, dan menghidupkan kembali semangat tradisi. Dari tarian yang sakral hingga tarian yang meriah, bertandak menunjukkan keragaman ekspresi budaya Nusantara yang tak ada habisnya, menjadi cermin dari jiwa masyarakat yang dinamis dan penuh warna.
Melalui berbagai bentuk ini, kita melihat bahwa konsep bertandak bukan hanya terbatas pada satu etnis atau satu gaya tari tertentu. Ia adalah payung besar yang menaungi berbagai manifestasi tari tradisional di Indonesia yang memiliki karakteristik utama: interaksi, ekspresi, dan tujuan sosial atau ritual. Dari Sabang sampai Merauke, semangat bertandak terus hidup, menunjukkan betapa kuatnya ikatan budaya yang mempersatukan bangsa ini.
Melodi Pengiring dan Kemegahan Busana dalam Bertandak
Setiap gerakan dalam bertandak tidak akan lengkap tanpa iringan musik yang tepat. Musik adalah jiwa yang meniupkan kehidupan ke dalam tarian, memberikan ritme, suasana, dan emosi yang ingin disampaikan. Demikian pula, busana yang dikenakan oleh para penandak (penari) bukan sekadar pakaian, melainkan simbol yang sarat makna, mencerminkan identitas budaya, status sosial, dan bahkan tujuan dari tarian itu sendiri.
Orkestrasi Tradisional: Nyawa dalam Setiap Irama
Iringan musik untuk bertandak sangat beragam, tergantung pada daerah dan jenis tariannya. Namun, ada beberapa alat musik tradisional yang seringkali menjadi tulang punggung dalam orkestrasi ini. Rebana, dengan suara pukulannya yang khas, adalah salah satu instrumen utama dalam banyak bentuk bertandak Melayu seperti Zapin. Irama cepat dan dinamis dari rebana mampu membangkitkan semangat dan mendorong para penari untuk bergerak lincah.
Gong dan kendang juga merupakan elemen vital. Gong, dengan gaungnya yang dalam dan resonan, seringkali menandai awal atau akhir sebuah gerakan, atau memberikan penekanan pada momen-momen penting dalam tarian. Kendang, dengan berbagai teknik pukulannya, memberikan dinamika dan variasi ritme yang kompleks, memandu penari melalui setiap fase gerakan. Di beberapa daerah, seperti di Jawa dan Sunda, gamelan lengkap dengan saron, bonang, demung, dan gongnya, menciptakan orkestrasi yang megah dan mendalam untuk mengiringi bertandak, menambahkan lapisan kekayaan suara yang tak tertandingi.
Instrumen tiup seperti serunai atau suling, serta alat musik petik seperti gambus, juga sering digunakan untuk membawa melodi utama. Suara melankolis dari serunai atau suling dapat menambah nuansa keanggunan pada tarian yang lembut, sementara gambus memberikan melodi yang khas Melayu, penuh dengan improvisasi dan ekspresi personal. Setiap alat musik memiliki perannya sendiri dalam menciptakan harmoni yang kompleks, yang tidak hanya mengiringi tetapi juga berinteraksi dengan gerakan penari, menciptakan sebuah kesatuan seni yang utuh.
Musik dalam bertandak bukan hanya sekadar latar belakang, melainkan sebuah entitas yang hidup. Para pemusik (sering disebut 'pemuzik' atau 'penabuh') adalah bagian integral dari pertunjukan, mereka tidak hanya memainkan alat musik tetapi juga merasakan dan merespons energi dari para penari dan penonton. Improvisasi antara penari dan pemusik seringkali terjadi, menciptakan momen-momen spontan yang tak terduga namun justru memperkaya pengalaman bertandak. Ini adalah sebuah dialog musikal yang terjadi secara real-time, menjadikan setiap penampilan unik dan tak terulang.
Selain instrumen, vokal juga sering menjadi bagian dari iringan bertandak. Pantun-pantun yang dilantunkan, syair-syair yang digubah, atau lagu-lagu tradisional yang dinyanyikan, semuanya menambah dimensi naratif pada tarian. Lirik-lirik ini seringkali berisi nasihat, pujian, atau cerita rakyat, yang diperkuat oleh gerak tubuh para penari. Gabungan antara melodi, ritme, dan lirik inilah yang membuat bertandak menjadi sebuah pengalaman yang kaya makna dan mendalam, tidak hanya untuk mata dan telinga, tetapi juga untuk jiwa.
Busana Penandak: Simbolisme dalam Setiap Lipatan
Busana yang dikenakan oleh para penandak adalah elemen penting lainnya yang tak terpisahkan dari bertandak. Setiap detail, mulai dari warna, motif, hingga aksesori, memiliki makna dan fungsi tersendiri. Busana ini tidak hanya memperindah penampilan, tetapi juga mencerminkan identitas budaya, status, dan bahkan filosofi dari tarian tersebut.
Dalam tarian Melayu seperti Zapin dan Joget, penari pria seringkali mengenakan baju Melayu lengkap dengan songket yang melilit pinggang (samping) dan tanjak di kepala. Warna-warna cerah seperti merah, kuning, hijau, dan biru seringkali dipilih, melambangkan kegembiraan dan semangat. Kain songket, dengan tenunannya yang rumit dan benang emas/perak yang berkilau, melambangkan kemewahan dan keagungan budaya Melayu. Tanjak, penutup kepala yang dilipat dengan berbagai bentuk, juga memiliki simbolisme status dan martabat.
Untuk penari wanita, busana Melayu tradisional seperti baju kurung atau baju kebaya dengan kain songket atau batik yang indah adalah pilihan utama. Selendang juga sering digunakan sebagai properti tari yang menambah keanggunan gerak. Warna-warna yang lembut namun tetap cerah, dengan motif-motif flora dan fauna yang kaya, menciptakan tampilan yang memukau. Perhiasan seperti gelang, kalung, dan anting juga dikenakan untuk memperindah penampilan, seringkali dengan desain tradisional yang turun-temurun. Setiap lipatan kain dan setiap motif pada busana adalah sebuah cerita.
Di daerah lain, seperti Minangkabau, busana untuk Tari Piring atau Pasambahan juga sangat khas. Penari wanita mengenakan Baju Kurung atau Baju Basiba yang disulam indah, dipadukan dengan kain songket atau sarung Minang. Hiasan kepala seperti suntiang atau tikuluak, dengan ornamen emas dan perak yang mewah, menjadi mahkota yang anggun, melambangkan kebesaran dan keindahan Minangkabau. Busana ini bukan hanya untuk keindahan, tetapi juga sebagai representasi identitas dan status.
Busana penandak juga berfungsi untuk menunjang gerakan tari. Bahan kain yang ringan dan potongan yang longgar memungkinkan penari untuk bergerak dengan leluasa dan luwes. Selendang, misalnya, dapat diayunkan atau dililitkan untuk mempertegas setiap gestur. Desain busana seringkali dirancang agar setiap gerakan, baik itu ayunan tangan, lenggok tubuh, atau langkah kaki, dapat terlihat lebih dramatis dan memukau, sehingga keseluruhan pertunjukan bertandak menjadi lebih ekspresif dan berkesan.
Dengan demikian, baik musik pengiring maupun busana penandak adalah dua pilar penting yang tidak dapat dipisahkan dari seni bertandak. Keduanya bekerja sama untuk menciptakan pengalaman estetis yang menyeluruh, memperkaya makna, dan memastikan bahwa setiap pertunjukan bertandak adalah perayaan budaya yang utuh dan tak terlupakan. Mereka adalah saksi bisu dari kekayaan tradisi yang terus hidup dan bernafas di setiap sudut Nusantara.
Bertandak: Cermin Kehidupan Sosial dan Ritual Komunitas
Bertandak, dalam berbagai bentuknya, adalah lebih dari sekadar seni pertunjukan. Ia adalah cermin yang memantulkan kehidupan sosial, nilai-nilai komunitas, dan keyakinan spiritual masyarakat Nusantara. Melalui bertandak, masyarakat merayakan keberhasilan, menyatukan ikatan sosial, dan menjalin komunikasi dengan alam serta leluhur mereka. Ini adalah manifestasi hidup dari kebersamaan dan identitas kolektif.
Perayaan dan Pesta Adat: Puncak Ekspresi Kebahagiaan
Salah satu konteks paling umum di mana bertandak ditemukan adalah dalam perayaan dan pesta adat. Pernikahan, syukuran panen, khitanan, atau perayaan hari besar keagamaan, semuanya menjadi panggung bagi bertandak untuk menunjukkan kegembiraan dan kebersamaan. Dalam pesta pernikahan Melayu, misalnya, tarian Zapin atau Joget seringkali menjadi puncak acara, di mana mempelai dan tamu undangan dapat bertandak bersama, menciptakan suasana yang meriah dan penuh sukacita. Ini adalah momen di mana komunitas berkumpul, berbagi kebahagiaan, dan mempererat tali silaturahmi.
Dalam syukuran panen, bertandak bisa menjadi bentuk rasa syukur kepada Tuhan atau Dewi Padi atas hasil bumi yang melimpah. Gerakan-gerakan yang riang dan penuh semangat melambangkan kegembiraan dan optimisme. Partisipasi masyarakat yang luas dalam bertandak pada acara-acara semacam ini menunjukkan bahwa tarian ini bukan hanya milik penari profesional, tetapi milik seluruh komunitas. Semua orang diajak untuk bergerak bersama, merasakan irama yang sama, dan merayakan keberkahan yang sama. Ini adalah ekspresi kolektif dari rasa syukur dan kebahagiaan.
Tradisi bertandak dalam perayaan juga seringkali menjadi ajang untuk menunjukkan identitas budaya suatu kelompok. Melalui kostum yang khas, musik yang unik, dan gerakan tarian yang spesifik, masyarakat menegaskan siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Ini adalah cara yang efektif untuk mewariskan nilai-nilai dan tradisi kepada generasi muda, yang melihat langsung bagaimana leluhur mereka merayakan kehidupan. Anak-anak yang tumbuh menyaksikan orang tua mereka bertandak akan secara alami menyerap semangat dan makna di balik tarian tersebut.
Selain itu, bertandak dalam pesta adat sering berfungsi sebagai sarana sosialisasi. Di masa lalu, ini bisa menjadi tempat bertemunya muda-mudi, tempat di mana ikatan kekerabatan diperkuat, atau tempat di mana pemimpin masyarakat menyampaikan pesan-pesan penting secara tidak langsung melalui seni. Fleksibilitas bertandak, terutama dalam tarian yang interaktif seperti Joget atau Tayub, memungkinkan berbagai lapisan masyarakat untuk terlibat, dari anak-anak hingga orang tua, menciptakan sebuah jaring sosial yang kuat dan saling mendukung.
Kegembiraan yang terpancar dari setiap sesi bertandak juga memiliki efek terapeutik. Dalam kehidupan yang penuh tekanan, momen-momen bertandak memberikan ruang bagi individu untuk melepaskan diri, bersukacita, dan merasakan kebersamaan. Musik yang menghentak dan gerakan yang mengalir bebas dapat mengurangi stres dan membangkitkan semangat. Oleh karena itu, bertandak bukan hanya seni, tetapi juga sebuah ritual komunal yang mendukung kesehatan mental dan emosional masyarakat, memperkuat ikatan yang membuat komunitas menjadi tangguh.
Ritual dan Upacara: Kesakralan dalam Setiap Langkah
Di luar perayaan yang meriah, bertandak juga memiliki peran penting dalam berbagai ritual dan upacara adat yang bersifat sakral. Dalam konteks ini, bertandak bukan lagi sekadar hiburan, melainkan sebuah media untuk berkomunikasi dengan kekuatan spiritual, memohon restu, menolak bala, atau menghormati leluhur.
Sebagai contoh, di beberapa kebudayaan, ada tarian-tarian yang dilakukan sebelum menanam padi atau setelah panen untuk memohon kesuburan atau mengungkapkan rasa syukur. Gerakan-gerakan dalam tarian semacam ini seringkali lebih terstruktur, simbolis, dan diulang-ulang, menciptakan suasana meditatif dan khusyuk. Penari mungkin mengenakan busana khusus yang dianggap memiliki kekuatan magis atau melambangkan elemen-elemen alam. Setiap langkah dan gestur dalam bertandak ini memiliki tujuan spiritual yang jelas, bukan sekadar estetika.
Beberapa bentuk bertandak juga terkait dengan prosesi penyembuhan tradisional atau ritual pembersihan. Dalam tarian-tarian ini, penari mungkin akan memasuki kondisi trans, di mana mereka diyakini dapat berkomunikasi dengan dunia lain. Musik yang dimainkan pun seringkali memiliki melodi repetitif dan ritme hipnotis yang mendukung kondisi tersebut. Ini menunjukkan betapa dalamnya kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan bertandak sebagai jembatan antara dunia fisik dan metafisik.
Dalam upacara kematian atau peringatan leluhur, bertandak juga dapat ditemukan sebagai bentuk penghormatan terakhir. Tarian-tarian ini mungkin lebih lambat dan melankolis, mencerminkan kesedihan atau rasa kehilangan, namun tetap mempertahankan keanggunan dan makna yang mendalam. Tujuan utamanya adalah untuk mengantar jiwa yang meninggal, atau untuk menjaga hubungan baik dengan roh-roh leluhur, memastikan bahwa mereka tetap dihormati dan diingat oleh generasi yang hidup.
Kesakralan bertandak dalam ritual ini seringkali dilindungi oleh tabu dan aturan-aturan adat yang ketat. Hanya individu atau kelompok tertentu yang diizinkan untuk melakukan tarian-tarian ini, dan mereka harus melalui persiapan spiritual yang intens. Pengetahuan tentang gerakan, musik, dan makna simbolis diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, menjamin keaslian dan kemurnian ritual bertandak. Ini menunjukkan betapa seriusnya masyarakat memandang peran tarian ini dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Dengan demikian, baik dalam kegembiraan perayaan maupun kekhusyukan ritual, bertandak memainkan peran sentral dalam merefleksikan dan membentuk kehidupan sosial dan spiritual komunitas. Ia adalah bahasa universal yang melampaui kata-kata, sebuah tradisi yang terus mengikat masyarakat dalam jalinan yang tak terputus. Melalui bertandak, kita tidak hanya melihat seni, tetapi juga jiwa sebuah bangsa yang kaya akan nilai dan kearifan.
Mengenal Lebih Dekat Teknik dan Filosofi Gerakan Bertandak
Setiap bentuk bertandak memiliki teknik dan filosofinya sendiri, yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses belajar yang mendalam. Gerakan-gerakan dalam bertandak bukanlah sekadar improvisasi, meskipun spontanitas seringkali hadir, melainkan dibangun di atas dasar-dasar yang kuat, penuh makna, dan ekspresi. Memahami teknik dan filosofi ini adalah kunci untuk mengapresiasi keindahan bertandak secara utuh.
Dasar-dasar Gerakan: Dari Langkah Kaki hingga Ekspresi Wajah
Pada umumnya, gerakan dasar dalam bertandak melibatkan seluruh bagian tubuh. Langkah kaki adalah fondasi utama, seringkali ringan dan berpijak pada tumit atau ujung jari kaki, menciptakan kesan melayang atau mengayun. Dalam tarian Melayu seperti Zapin, langkah kaki yang disebut "langkah satu dua" atau "langkah tapak" menjadi ciri khas, memerlukan kelincahan dan ketepatan ritme. Setiap pijakan kaki harus selaras dengan irama musik, menciptakan dialog antara penari dan pemusik.
Posisi tubuh dan lenggok pinggul juga sangat penting. Tubuh seringkali tegak namun lentur, memungkinkan gerakan mengayun atau meliuk yang anggun. Lenggok pinggul, terutama dalam tari Joget, memberikan dimensi keindahan dan kelembutan pada gerakan. Ini bukan hanya tentang fleksibilitas fisik, tetapi juga tentang cara tubuh mengungkapkan emosi dan narasi. Penari harus mampu mengontrol setiap otot untuk menciptakan efek yang diinginkan, dari gerakan yang paling halus hingga yang paling energik.
Gerakan tangan dan jari adalah elemen ekspresif lain yang tak kalah penting. Setiap ayunan tangan, lentikan jari, atau posisi telapak tangan memiliki makna tertentu. Misalnya, tangan yang terbuka dapat melambangkan penerimaan atau keramahtamahan, sementara gerakan melambai bisa berarti ajakan atau perpisahan. Dalam beberapa tarian, tangan menjadi perpanjangan dari ekspresi wajah, memperkuat pesan yang disampaikan. Gerakan tangan juga seringkali mengikuti melodi alat musik tertentu, seperti gambus atau serunai, menciptakan korespondensi visual dan auditori.
Ekspresi wajah juga memegang peranan krusial dalam bertandak. Senyum yang ramah, tatapan mata yang penuh makna, atau ekspresi serius yang mencerminkan kekhusyukan, semuanya menambah kedalaman pada penampilan. Penari yang mahir dapat menyampaikan seluruh spektrum emosi hanya melalui ekspresi wajah mereka, menarik penonton ke dalam cerita yang sedang mereka tampilkan. Keselarasan antara gerak tubuh, irama musik, dan ekspresi wajah inilah yang menciptakan pengalaman bertandak yang benar-benar memukau.
Penguasaan dasar-dasar gerakan ini memerlukan latihan yang berulang dan bimbingan dari guru tari yang berpengalaman. Para penandak muda tidak hanya diajarkan teknik fisik, tetapi juga pemahaman tentang makna di balik setiap gerakan. Proses belajar bertandak adalah sebuah perjalanan yang melatih kedisiplinan, kesabaran, dan kemampuan untuk merasakan irama dari dalam diri. Ini adalah pendidikan yang holistik, membentuk tidak hanya penari yang terampil, tetapi juga individu yang menghargai warisan budaya mereka.
Improvisasi adalah aspek lain yang sering muncul dalam beberapa bentuk bertandak, terutama dalam tarian rakyat yang interaktif. Penari yang sudah menguasai dasar-dasar dapat menambahkan sentuhan personal mereka, merespons musik atau interaksi dengan penonton secara spontan. Improvisasi ini bukanlah gerakan yang asal-asalan, melainkan kreasi yang lahir dari pemahaman mendalam tentang tarian, memungkinkan bertandak untuk tetap hidup, segar, dan relevan dalam setiap penampilan.
Filosofi di Balik Setiap Ayunan dan Lentikan
Di balik setiap gerakan bertandak, tersimpan filosofi yang mendalam, mencerminkan pandangan hidup, nilai-nilai, dan kearifan lokal masyarakat. Gerakan yang lembut dan mengalir seringkali melambangkan kehalusan budi pekerti, kesabaran, dan keharmonisan dengan alam. Misalnya, gerakan seperti ayunan tangan yang menyerupai ombak laut atau hembusan angin, menggambarkan hubungan erat manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Gerakan yang tegas dan kuat, seperti hentakan kaki atau putaran tubuh yang cepat, dapat melambangkan semangat keberanian, ketegasan, atau kegembiraan yang meluap-luap. Dalam tarian yang bersifat ritualistik, gerakan-gerakan ini bisa menjadi simbol penolakan bala atau pemanggilan kekuatan spiritual. Setiap gerakan memiliki intensitas dan makna yang berbeda, yang semuanya berkontribusi pada narasi keseluruhan dari bertandak.
Keseimbangan dan keselarasan adalah filosofi sentral dalam banyak tarian bertandak. Gerakan yang seimbang antara kiri dan kanan, atas dan bawah, depan dan belakang, mencerminkan keinginan untuk mencapai keseimbangan dalam hidup. Keselarasan gerak antar penari, atau antara penari dan musik, melambangkan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan hidup rukun dalam komunitas. Bertandak mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari harmoni, bukan dari dominasi.
Filosofi lain yang sering ditemukan adalah mengenai kerendahan hati dan rasa syukur. Banyak tarian diawali dengan gerakan hormat atau sembah, dan diakhiri dengan ekspresi terima kasih. Ini adalah pengingat bahwa seni adalah anugerah, dan bahwa setiap pertunjukan adalah kesempatan untuk bersyukur atas kehidupan dan warisan budaya. Bahkan dalam tarian yang paling meriah sekalipun, ada elemen kerendahan hati yang tersirat, menunjukkan bahwa kegembiraan sejati datang dari hati yang bersyukur.
Simbolisme dalam busana dan properti tari juga melengkapi filosofi gerakan. Warna, motif, dan aksesori semuanya dirancang untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Misalnya, warna hijau bisa melambangkan kesuburan, kuning keemasan melambangkan kemuliaan, dan motif flora atau fauna tertentu bisa memiliki makna spiritual atau pelindung. Semua elemen ini bersatu padu, menciptakan sebuah narasi visual yang kaya dan mendalam, yang diperkuat oleh setiap gerak tubuh penari. Memahami hal ini membuat pengalaman bertandak jauh lebih bermakna.
Melalui penggabungan teknik yang presisi dengan filosofi yang kaya, bertandak menjadi sebuah seni yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga mendalam untuk direnungkan. Ia adalah medium untuk melatih tubuh dan jiwa, untuk mengekspresikan diri, dan untuk menghubungkan individu dengan akar budaya mereka. Oleh karena itu, setiap ayunan dan lentikan dalam bertandak adalah langkah kecil dalam sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan kearifan dan keindahan.
Tantangan dan Semangat Pelestarian Seni Bertandak
Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, seni bertandak menghadapi berbagai tantangan yang mengancam keberlangsungan dan kelestariannya. Namun, di sisi lain, semangat untuk melestarikan dan mengembangkan bertandak justru semakin kuat, didorong oleh kesadaran akan pentingnya menjaga warisan budaya.
Menghadapi Arus Modernisasi
Salah satu tantangan terbesar bagi bertandak adalah kompetisi dengan bentuk-bentuk hiburan modern yang lebih mudah diakses dan seringkali dianggap lebih 'kekinian' oleh generasi muda. Musik pop, film, dan media sosial menawarkan hiburan instan yang berbeda dengan bertandak yang membutuhkan pemahaman dan apresiasi yang lebih dalam. Akibatnya, minat generasi muda untuk mempelajari atau bahkan sekadar menyaksikan pertunjukan bertandak cenderung menurun di beberapa daerah.
Pergeseran nilai dan gaya hidup juga mempengaruhi praktik bertandak. Jadwal yang padat, urbanisasi, dan minimnya ruang publik untuk berlatih atau mementaskan tarian tradisional, membuat bertandak semakin terpinggirkan. Banyak guru tari tradisional yang kesulitan menemukan murid, dan kelompok-kelompok seni daerah menghadapi kendala finansial untuk terus beraktivitas. Ini adalah lingkaran setan di mana kurangnya dukungan berujung pada menurunnya minat, yang kemudian memperburuk kondisi pelestarian.
Selain itu, kurangnya dokumentasi yang komprehensif mengenai berbagai bentuk bertandak juga menjadi masalah serius. Banyak gerakan, melodi, dan filosofi yang diwariskan secara lisan, berisiko hilang seiring dengan berpulangnya para sesepuh atau maestro tari. Tanpa catatan yang memadai, detail-detail penting dari bertandak bisa lenyap selamanya, membuat proses revitalisasi di masa depan menjadi lebih sulit.
Eksploitasi komersial tanpa pemahaman budaya yang memadai juga menjadi ancaman. Ketika bertandak hanya dipandang sebagai komoditas pariwisata, ada risiko terjadinya simplifikasi, distorsi, atau bahkan penjiplakan yang tidak menghormati nilai-nilai asli tarian tersebut. Penting untuk menjaga keseimbangan antara komersialisasi dan pelestarian nilai budaya agar bertandak tidak kehilangan esensinya.
Adaptasi yang berlebihan juga bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun inovasi diperlukan agar bertandak tetap relevan, perubahan yang terlalu drastis tanpa pemahaman yang kuat tentang dasar-dasar tradisional dapat mengaburkan identitas asli tarian. Tantangannya adalah menemukan cara untuk berinovasi sambil tetap berakar kuat pada tradisi, memastikan bahwa setiap kreasi baru tetap merupakan kelanjutan dari warisan bertandak.
Peran Komunitas dan Generasi Muda
Meskipun menghadapi banyak tantangan, semangat pelestarian bertandak tidak pernah padam. Berbagai komunitas, sanggar tari, dan individu-individu yang peduli terus berupaya menjaga agar bertandak tetap hidup. Mereka mendirikan sekolah-sekolah tari tradisional, mengadakan workshop, dan secara rutin mementaskan pertunjukan, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Generasi muda kini mulai menunjukkan minat yang meningkat terhadap warisan budaya mereka. Melalui media sosial dan platform digital, mereka menemukan cara-cara baru untuk berbagi dan mempromosikan bertandak, menjadikannya lebih menarik bagi teman-teman sebaya mereka. Video-video tarian tradisional yang viral, atau workshop yang diselenggarakan dengan pendekatan modern, membantu menjembatani kesenjangan antara tradisi dan tren kekinian. Ini menunjukkan bahwa bertandak memiliki potensi untuk beradaptasi dan menarik minat generasi digital.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam pelestarian ini, melalui dukungan kebijakan, pendanaan, dan program-program kebudayaan. Pengakuan bertandak sebagai warisan tak benda, misalnya, dapat memberikan perlindungan hukum dan mendorong upaya pelestarian yang lebih terstruktur. Festival-festival tari internasional yang diadakan di Indonesia juga menjadi platform penting untuk memperkenalkan bertandak ke kancah global dan meningkatkan kebanggaan nasional.
Kolaborasi antar seniman tradisional dan kontemporer juga membuka jalan baru untuk bertandak. Dengan memadukan elemen-elemen tradisional dengan gaya modern, mereka menciptakan karya-karya baru yang segar, yang tetap menghormati akar budaya tetapi juga mampu berbicara kepada audiens yang lebih luas. Ini adalah bentuk inovasi yang bijak, yang memastikan bahwa bertandak tidak hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang dan relevan di masa depan.
Melalui upaya kolektif ini, diharapkan seni bertandak tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan terus bersinar sebagai salah satu permata budaya Nusantara. Setiap langkah yang diambil untuk melestarikan bertandak adalah investasi bagi masa depan, memastikan bahwa kekayaan warisan ini akan terus dinikmati dan dipelajari oleh generasi-generasi yang akan datang. Bertandak adalah panggilan untuk menjaga ingatan kolektif, sebuah manifestasi hidup dari identitas yang tak lekang oleh waktu.
Masa Depan Bertandak: Inovasi Tanpa Kehilangan Jati Diri
Melihat ke depan, masa depan seni bertandak tergantung pada kemampuannya untuk berinovasi tanpa kehilangan esensi dan jati dirinya. Tantangan terbesar adalah bagaimana membuat bertandak tetap menarik dan relevan bagi generasi mendatang, sementara tetap mempertahankan kekayaan tradisi yang telah diwariskan selama berabad-abad. Ini adalah sebuah perjalanan adaptasi yang membutuhkan kreativitas, kebijaksanaan, dan komitmen yang kuat dari semua pihak.
Salah satu kunci inovasi adalah melalui pendidikan. Mengintegrasikan bertandak ke dalam kurikulum sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga menengah, dapat menanamkan kecintaan terhadap tarian tradisional sejak dini. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada teknik menari, tetapi juga pada sejarah, filosofi, dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap gerakan. Dengan demikian, generasi muda akan tumbuh dengan pemahaman yang mendalam tentang bertandak sebagai bagian dari identitas mereka.
Pemanfaatan teknologi digital juga merupakan jalan yang menjanjikan. Platform media sosial, video tutorial online, dan aplikasi interaktif dapat menjadi sarana efektif untuk mengajarkan dan mempromosikan bertandak kepada khalayak yang lebih luas. Dokumentasi digital yang berkualitas tinggi, termasuk rekaman video pertunjukan, wawancara dengan maestro, dan analisis gerakan, akan sangat membantu dalam pelestarian dan penyebarluasan pengetahuan tentang bertandak.
Kolaborasi lintas seni dan lintas budaya juga dapat memberikan angin segar bagi bertandak. Menggabungkan unsur bertandak dengan musik kontemporer, seni visual, teater modern, atau bahkan seni tari dari negara lain, dapat menciptakan bentuk-bentuk baru yang menarik dan relevan. Namun, penting untuk memastikan bahwa setiap kolaborasi dilakukan dengan rasa hormat terhadap tradisi asli, sehingga inovasi tidak berarti pengorbanan jati diri. Tujuan utamanya adalah memperkaya, bukan mengganti.
Pengembangan industri kreatif berbasis bertandak juga perlu didorong. Ini bisa berupa produksi kostum dan aksesori tari tradisional yang lebih modern namun tetap otentik, penciptaan musik baru yang terinspirasi dari irama bertandak, atau bahkan pengembangan pariwisata budaya yang menawarkan pengalaman bertandak yang imersif. Dengan menciptakan nilai ekonomi dari bertandak, akan ada insentif lebih bagi masyarakat untuk melestarikannya, sekaligus membuka peluang pekerjaan bagi para seniman dan pengrajin.
Pentingnya peran komunitas lokal dalam menjaga api bertandak tetap menyala tidak bisa diremehkan. Komunitas adalah penjaga tradisi yang paling fundamental. Dengan memberdayakan sanggar-sanggar tari, kelompok-kelompok adat, dan para sesepuh, kita memastikan bahwa pengetahuan dan praktik bertandak terus diwariskan secara langsung dari generasi ke generasi. Program-program mentorship dan regenerasi penari serta pemusik tradisional harus terus didukung dan diperluas.
Pada akhirnya, masa depan bertandak adalah tentang keseimbangan antara mempertahankan warisan yang tak ternilai dan merangkul perubahan yang tak terhindarkan. Ini tentang menemukan cara untuk merayakan keaslian sambil tetap terbuka terhadap interpretasi baru. Bertandak akan terus menjadi narasi yang hidup dan bernafas, selama ada hati yang tulus untuk mempraktikkan, mempelajari, dan mencintainya. Setiap gerakan bertandak adalah janji untuk menjaga budaya tetap hidup, sebuah tarian abadi dalam simfoni kehidupan Nusantara.
Melalui upaya kolektif, dengan melibatkan pemerintah, komunitas, seniman, pendidik, dan terutama generasi muda, bertandak akan terus berevolusi dan beradaptasi. Ia akan terus menjadi simbol kekayaan budaya Indonesia, yang mampu menyatukan, menghibur, dan menginspirasi. Masa depan bertandak adalah masa depan yang cerah, penuh dengan harmoni gerak, melodi yang menggetarkan, dan makna yang tak lekang oleh waktu. Mari kita terus bertandak, merayakan hidup, dan menjaga api budaya ini tetap menyala terang.
Bertandak adalah sebuah perjalanan tak berujung dalam merayakan identitas, ekspresi, dan kebersamaan. Dari panggung-panggung perayaan hingga altar-altar ritual, dari jejak sejarah kuno hingga panggung-panggung kontemporer, semangat bertandak terus berkobar, menerangi jiwa Nusantara. Ia adalah tarian kehidupan yang tak pernah usai, sebuah melodi abadi yang terus mengalun di setiap denyut jantung budaya Indonesia. Melalui setiap gerakan, setiap irama, dan setiap senyum penandak, kita diingatkan akan kekayaan tak ternilai yang harus dijaga, dirayakan, dan diwariskan kepada setiap generasi.