Betara: Menguak Makna Dewa dan Kosmologi Nusantara
Di tengah pusaran waktu dan evolusi peradaban, Nusantara selalu menjadi panggung bagi kekayaan spiritual dan mitologi yang tak terhingga. Salah satu konsep paling fundamental dan meresap dalam kebudayaan kita adalah “Betara”. Kata ini, yang melampaui sekadar sebutan, merangkum esensi kekuasaan ilahi, kebijaksanaan kosmik, dan keteraturan alam semesta dalam pandangan masyarakat tradisional Indonesia. Dari prasasti kuno hingga lakon pewayangan yang hidup, Betara senantiasa hadir sebagai jangkar spiritual, penjelas realitas, dan penuntun moralitas.
Artikel ini akan membawa kita menyelami samudra makna Betara, menguraikan asal-usulnya, manifestasinya dalam kosmologi dan wiracarita, perannya dalam seni dan ritual, hingga resonansinya dalam spiritualitas kontemporer. Kita akan menelusuri bagaimana konsep Betara bukan hanya sekadar dewa-dewi dari agama tertentu, melainkan sebuah entitas yang berinteraksi, beradaptasi, dan bahkan melebur dengan kepercayaan lokal, menciptakan sintesis budaya yang unik dan tak tertandingi. Mari kita buka lembaran sejarah dan kebijaksanaan, untuk memahami mengapa Betara tetap menjadi pilar penting dalam identitas spiritual dan budaya Nusantara.
Bab I: Betara dalam Perspektif Etimologi dan Historis
1.1 Asal-usul Kata "Betara"
Kata "Betara" berakar kuat dari bahasa Sansekerta, yaitu "Bhatara" (भट्टारक). Secara harfiah, "Bhatara" berarti 'tuan yang mulia', 'pelindung', atau 'yang dihormati'. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada entitas ilahi atau figur yang memiliki kedudukan spiritual sangat tinggi. Di India, terutama dalam tradisi Hindu dan Buddha, "Bhatara" seringkali menjadi julukan bagi para dewa utama, raja-raja yang dianggap suci, atau guru-guru spiritual yang memiliki kekuatan dan kebijaksanaan luar biasa.
Ketika pengaruh peradaban Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara sekitar awal tarikh Masehi, istilah "Bhatara" ikut serta dalam gelombang akulturasi bahasa dan budaya. Seiring waktu, pengucapan dan penulisannya mengalami adaptasi fonologis sesuai dengan lidah dan aksara lokal. Di Jawa Kuno, misalnya, kata ini sering ditulis sebagai "Bhatara" atau "Bhaṭāra" dalam berbagai prasasti dan naskah kuno. Namun, dalam perkembangan bahasa sehari-hari dan penulisan selanjutnya, terjadi pergeseran menjadi "Batara" dan kemudian "Betara" seperti yang kita kenal sekarang.
Pergeseran ini bukan hanya sekadar perubahan bunyi, melainkan juga mencerminkan proses indigenisasi atau penyesuaian dengan konteks lokal. "Betara" menjadi lebih dari sekadar kata pinjaman; ia telah diinternalisasi dan diberikan makna yang mendalam dalam kosmologi dan spiritualitas masyarakat Nusantara. Ia tidak hanya merujuk pada dewa-dewi Hindu-Buddha, tetapi juga seringkali digunakan untuk mengacu pada entitas ilahi pra-Hindu yang kemudian disinkretisasikan, menciptakan sebuah mozaik spiritual yang kaya.
1.2 Jejak Betara di Zaman Kuno
Kehadiran konsep Betara di Nusantara dapat dilacak melalui berbagai peninggalan arkeologis dan literatur klasik. Prasasti-prasasti dari abad ke-5 hingga ke-15 Masehi menjadi saksi bisu betapa pentingnya peran Betara dalam kehidupan spiritual dan politik kerajaan-kerajaan kuno.
1.2.1 Pengaruh Hindu-Buddha dan Kerajaan Awal
Kedatangan agama Hindu dan Buddha membawa serta sistem kepercayaan, mitologi, dan kosa kata keagamaan yang kaya. Kerajaan-kerajaan awal seperti Tarumanegara, Kutai, Sriwijaya, dan Mataram Kuno mengadopsi struktur keagamaan ini, menempatkan para dewa-dewi Hindu seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa pada posisi sentral. Dalam konteks ini, "Betara" menjadi istilah umum untuk merujuk pada dewa-dewi tersebut. Misalnya, dalam prasasti-prasasti Mataram Kuno, sering ditemukan penyebutan "Bhatara Guru" untuk Siwa atau "Bhatara Wisnu" untuk Wisnu.
Kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di Sumatera, juga menunjukkan pengaruh Buddha yang kuat, di mana para bodhisattva dan dewa-dewi dalam panteon Buddha juga dapat disebut dengan istilah "Bhatara" dalam konteks penghormatan yang sama. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas istilah tersebut dalam mencakup berbagai entitas ilahi.
1.2.2 Inskripsi dan Prasasti Kuno
Banyak prasasti yang ditemukan di Jawa, Bali, dan Sumatera mencatat keberadaan Betara. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Prasasti Canggal (732 Masehi) yang mengisahkan pendirian lingga Siwa oleh Raja Sanjaya dan menyebutkan "Bhatara Siwa". Prasasti-prasasti lain seringkali berisi mantra atau dedikasi kepada para Betara untuk memohon perlindungan, kesuburan, atau kemenangan dalam perang. Penggunaan istilah ini dalam konteks kerajaan menunjukkan bahwa para raja dan elit penguasa memandang Betara sebagai pelindung kerajaan dan sumber legitimasi kekuasaan mereka.
1.2.3 Sinkretisme dengan Kepercayaan Lokal Pra-Hindu
Sebelum kedatangan Hindu-Buddha, masyarakat Nusantara telah memiliki sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat, dengan pemujaan terhadap roh-roh leluhur, roh penjaga alam, dan kekuatan alam. Istilah "Betara" tidak hanya diterapkan pada dewa-dewi asing, tetapi juga menyerap dan menyatukan konsep-konsep ilahi lokal ini. Roh-roh penjaga gunung, laut, atau tempat-tempat keramat seringkali juga disebut "Betara" atau "Batara" dalam konteks lokal yang lebih spesifik. Proses sinkretisme ini menghasilkan sebuah panteon yang sangat inklusif, di mana dewa-dewi Hindu berinteraksi dengan roh-roh lokal dan leluhur, menciptakan lapisan makna yang lebih kaya dan kompleks dalam pemahaman masyarakat tentang dunia spiritual.
Sebagai contoh, konsep "Sang Hyang" yang merujuk pada entitas suci atau leluhur yang dihormati, seringkali disandingkan atau bahkan disamakan dengan "Betara", menunjukkan adanya fusi kepercayaan yang mendalam. Ini bukan sekadar penggantian, tetapi lebih pada perluasan dan pengayaan makna spiritual yang sudah ada.
Bab II: Kosmologi dan Hierarki Betara
2.1 Trimurti dan Manifestasinya di Nusantara
Dalam ajaran Hindu, Trimurti adalah konsep tiga dewa utama yang bertanggung jawab atas penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran alam semesta. Ketiga dewa ini—Brahma, Wisnu, dan Siwa—memiliki manifestasi dan interpretasi yang unik di Nusantara, terutama dengan penggunaan istilah "Betara" di depannya.
2.1.1 Betara Brahma: Sang Pencipta
Betara Brahma adalah dewa pencipta dalam Trimurti. Di Nusantara, meskipun kurang menonjol dalam pemujaan individual dibandingkan Wisnu dan Siwa, perannya dalam kosmologi sangat fundamental. Ia seringkali digambarkan dengan empat kepala yang melambangkan empat arah mata angin dan empat Veda. Dalam mitologi Jawa dan Bali, Betara Brahma dipercaya sebagai nenek moyang atau sumber segala kehidupan. Candi-candi yang didedikasikan untuk Brahma mungkin tidak sebanyak untuk Siwa atau Wisnu, namun keberadaannya dalam relief candi dan naskah kuno mengukuhkan posisinya sebagai bagian integral dari kosmologi Betara.
Peran Betara Brahma sebagai pencipta seringkali dihubungkan dengan konsep awal mula kehidupan, benih semesta, dan segala sesuatu yang ada. Dalam upacara adat, kehadirannya diwakili oleh sesaji atau simbol yang melambangkan arah timur laut, atau elemen api sebagai simbol awal mula. Ia adalah simbol potensi tanpa batas yang melahirkan segala sesuatu dari ketiadaan.
2.1.2 Betara Wisnu: Sang Pemelihara
Betara Wisnu adalah dewa pemelihara dan pelindung alam semesta. Di Nusantara, Betara Wisnu sangat populer, terutama dalam tradisi pewayangan. Ia dikenal dengan berbagai avatara atau inkarnasinya, seperti Rama dan Krisna, yang turun ke bumi untuk menegakkan dharma (kebenaran) dan membasmi kejahatan. Candi-candi besar seperti Candi Prambanan memiliki arca Betara Wisnu yang megah, dan kisah-kisah petualangannya dalam Ramayana dan Mahabharata menjadi sumber inspirasi tak berujung bagi seni pertunjukan.
Sebagai pemelihara, Betara Wisnu melambangkan keteraturan, keadilan, dan keseimbangan. Ia adalah penjaga harmoni kosmik, yang selalu siap untuk mengintervensi ketika dunia terancam oleh kekacauan. Simbolnya, seperti cakram (senjata yang melambangkan hukum abadi) dan sangka (kerang yang melambangkan suara ilahi), seringkali ditemukan dalam ikonografi. Masyarakat percaya bahwa memuja Betara Wisnu akan membawa keberuntungan, kemakmuran, dan perlindungan dari segala marabahaya.
2.1.3 Betara Siwa (Betara Guru): Sang Pelebur dan Pembaharu
Betara Siwa adalah dewa pelebur atau penghancur dalam Trimurti, namun perannya di Nusantara seringkali diperluas menjadi pembaharu dan guru agung, sehingga sering dikenal sebagai Betara Guru. Pemujaan terhadap Siwa sangat dominan di Jawa dan Bali, menjadikannya salah satu dewa terpenting. Candi-candi seperti Prambanan dan Loro Jonggrang adalah bukti monumental dari pemujaan Siwa di Jawa.
Betara Siwa tidak hanya menghancurkan, tetapi juga menciptakan kembali. Penghancuran yang dilakukannya adalah bagian dari siklus kosmik yang tak terhindarkan, membuka jalan bagi penciptaan baru. Sebagai Betara Guru, ia adalah sumber segala ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan spiritualitas. Ia adalah yogi agung, guru para dewa dan manusia, yang mengajarkan jalan menuju moksa (pembebasan). Atributnya seperti trisula (melambangkan tiga aspek waktu: masa lalu, kini, dan nanti), ular kobra (simbol regenerasi), dan bulan sabit (kontrol atas waktu), sangat dikenal dalam ikonografi Nusantara.
Banyak raja-raja kuno di Nusantara mengidentifikasikan diri mereka dengan Betara Siwa atau Betara Guru, mengklaim legitimasi ilahi atas kekuasaan mereka. Konsep Siwa-Buddha yang berkembang di beberapa kerajaan juga menunjukkan bagaimana Siwa dianggap sebagai manifestasi yang sangat mendalam dan komprehensif dari keilahian.
2.2 Para Dewa Pendamping dan Entitas Ilahi Lainnya
Selain Trimurti, panteon Betara di Nusantara sangatlah luas, mencakup berbagai dewa pendamping, dewi, dan entitas ilahi yang memiliki peran spesifik dalam menjaga keseimbangan alam semesta dan berinteraksi dengan kehidupan manusia.
2.2.1 Betara Indra: Penguasa Langit dan Hujan
Betara Indra adalah dewa petir, hujan, perang, dan raja para dewa dalam mitologi Weda. Di Nusantara, ia tetap memegang peran penting sebagai pengatur cuaca dan pemberi kesuburan tanah. Ia sering digambarkan menunggangi gajah Airawata dan memegang Vajra (senjata petir). Pemujaan terhadap Betara Indra sangat relevan bagi masyarakat agraris yang sangat bergantung pada hujan untuk pertanian. Kisah-kisahnya sering muncul dalam cerita rakyat dan pewayangan, melambangkan kekuatan alam yang dahsyat namun juga memberi kehidupan.
2.2.2 Betara Bayu: Dewa Angin
Betara Bayu adalah dewa angin, yang kekuatannya tak terlihat namun esensial bagi kehidupan. Ia seringkali dihubungkan dengan kecepatan, kekuatan, dan kemampuan bergerak bebas. Dalam wiracarita Mahabharata, Betara Bayu adalah ayah dari Bima dan Hanoman, dua tokoh pahlawan yang sangat kuat. Ini menggarisbawahi hubungannya dengan kekuatan fisik dan vitalitas. Pemujaan Betara Bayu mencerminkan penghormatan terhadap elemen alam dan kekuatannya yang tak terkendali namun vital.
2.2.3 Betara Kala: Simbol Waktu dan Kehancuran
Betara Kala adalah entitas yang sering digambarkan dengan wajah menyeramkan, melambangkan waktu yang tak terhindarkan dan kehancuran. Ia adalah putra dari Betara Siwa dan seringkali dikaitkan dengan gerhana, bencana alam, dan siklus kematian. Meskipun menakutkan, Betara Kala juga dipandang sebagai penjaga batas antara dunia manusia dan dunia spiritual, seringkali digambarkan pada relief gerbang candi untuk menolak roh jahat. Pemujaan kepadanya adalah upaya untuk menenangkan kekuatan destruktif alam dan waktu, agar tidak membawa malapetaka.
2.2.4 Betari Durga: Dewi Ibu dan Kekuatan Perkasa
Betari Durga adalah salah satu manifestasi Dewi Parwati, istri Betara Siwa. Ia adalah dewi perkasa yang melindungi dunia dari kejahatan dan kekuatan demonis. Digambarkan dengan banyak tangan memegang berbagai senjata, ia melambangkan kekuatan ilahi feminin yang tak terkalahkan. Pemujaan Betari Durga sangat kuat di Bali dan beberapa daerah di Jawa, di mana ia dianggap sebagai pelindung dan pemberi keberanian. Ia adalah simbol kekuatan, keberanian, dan pengorbanan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dharma.
2.2.5 Dewa-Dewi Lain dan Hubungan Hierarkis
Ada banyak Betara dan Betari lain yang membentuk panteon yang kompleks, seperti Betara Surya (dewa matahari), Betara Candra (dewa bulan), Betara Baruna (dewa laut), Betari Sri (dewi kesuburan dan kemakmuran), dan masih banyak lagi. Setiap Betara memiliki domain dan peran spesifik dalam menjaga alam semesta dan kehidupan manusia.
Hubungan hierarkis antar Betara seringkali digambarkan dalam mitologi, di mana Betara Guru (Siwa) biasanya menduduki posisi tertinggi, diikuti oleh Brahma dan Wisnu, dan kemudian dewa-dewi lainnya. Namun, hierarki ini tidak selalu kaku; dalam konteks tertentu, dewa tertentu bisa menjadi pusat pemujaan utama tergantung pada kebutuhan dan tradisi lokal.
2.3 Konsep Kosmos dan Alam Semesta
Konsep Betara tidak dapat dipisahkan dari pemahaman kosmologi masyarakat Nusantara. Alam semesta dipandang sebagai struktur yang berlapis-lapis, di mana setiap lapisan memiliki penghuni dan fungsi tersendiri, dengan para Betara yang menduduki puncak hierarki spiritual.
2.3.1 Tujuh Lapis Langit dan Tujuh Lapis Bumi
Dalam kosmologi Hindu-Buddha yang diserap Nusantara, alam semesta terdiri dari berbagai tingkatan, yang paling umum adalah konsep "sapta loka" (tujuh lapis langit atau alam atas) dan "sapta patala" (tujuh lapis bumi atau alam bawah).
- Alam Atas (Svarga Loka): Merupakan tempat bersemayamnya para Betara dan roh-roh suci. Semakin tinggi lapisannya, semakin suci dan mulia penghuninya. Alam ini adalah tujuan akhir bagi jiwa-jiwa yang telah mencapai kesempurnaan.
- Alam Tengah (Bhumi Loka / Martyaloka): Adalah alam tempat manusia hidup, berinteraksi, dan berkarma. Ini adalah alam tempat perjuangan antara kebaikan dan kejahatan terjadi, dan tindakan manusia di sini menentukan nasib mereka di alam selanjutnya.
- Alam Bawah (Patala Loka / Naraka Loka): Merupakan alam tempat tinggal makhluk-makhluk bawah dan jiwa-jiwa yang menjalani hukuman atas karma buruk mereka. Alam ini juga dihuni oleh berbagai entitas mitologis seperti naga dan raksasa.
Para Betara adalah pengatur dan penjaga setiap lapisan alam ini, memastikan keseimbangan dan jalannya siklus kehidupan dan kematian. Mereka adalah penghubung antara dunia manusia dan alam transenden.
2.3.2 Tempat Bersemayam Para Betara
Para Betara dipercaya bersemayam di tempat-tempat suci yang tinggi, melambangkan kedekatan mereka dengan langit dan alam ilahi. Gunung Meru, atau dalam konteks lokal gunung-gunung berapi seperti Gunung Semeru, Gunung Agung, atau Gunung Salak, seringkali dianggap sebagai representasi mikro kosmos dari gunung suci ini, tempat tinggal para Betara.
Pura dan candi juga dibangun sebagai representasi dunia para dewa di bumi, dirancang sedemikian rupa agar umat manusia dapat mendekatkan diri kepada Betara. Orientasi bangunan, arca, dan relief semuanya dirancang untuk mencerminkan kosmologi ini, menciptakan ruang sakral yang menghubungkan dunia manusia dengan alam ilahi.
Selain itu, kekuatan Betara juga diyakini hadir di berbagai tempat alam, seperti sumber mata air, pohon-pohon besar, atau batu-batu keramat, yang kemudian dianggap sebagai tempat keramat atau "palinggih" (tempat duduk) bagi Betara atau roh leluhur.
Bab III: Betara Guru: Sentralitas Sang Mahadewa Nusantara
3.1 Identifikasi dengan Siwa
Di antara seluruh jajaran Betara, Betara Guru memiliki posisi yang sangat sentral dan istimewa dalam tradisi spiritual Nusantara, khususnya di Jawa dan Bali. Ia merupakan manifestasi utama dari Dewa Siwa dalam panteon Hindu India, namun dengan penekanan dan perluasan makna yang unik di Indonesia. Nama "Guru" sendiri menunjukkan perannya sebagai pengajar, pembimbing, dan sumber kebijaksanaan tertinggi.
Betara Guru diidentifikasikan dengan Siwa Mahadewa, dewa tertinggi yang menguasai berbagai aspek alam semesta: penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran. Pengidentifikasian ini tidak hanya terbatas pada atribut fisik dan mitologis, tetapi juga pada esensi filosofisnya. Siwa adalah yogi agung, penguasa yoga dan meditasi, yang diwakili oleh Betara Guru sebagai guru spiritual tertinggi bagi para dewa dan umat manusia.
Atribut dan simbol yang melekat pada Betara Guru sangat mirip dengan Siwa:
- Trisula: Senjata tiga mata yang melambangkan tiga fungsi kosmis (penciptaan, pemeliharaan, peleburan), atau tiga sifat dasar manusia (sattwa, rajas, tamas).
- Cakra: Meskipun lebih identik dengan Wisnu, Betara Guru kadang juga digambarkan memegang cakra, melambangkan hukum abadi dan siklus waktu.
- Mahkota/Jatamakuta: Hiasan kepala yang tinggi dengan rambut yang disanggul (jatamakuta), seringkali dihiasi bulan sabit dan tengkorak, melambangkan penguasaan atas waktu dan kematian.
- Ular Kobra (Naga): Melingkar di leher atau tubuhnya, melambangkan energi kundalini, regenerasi, dan kekuasaan atas alam bawah.
- Mata Ketiga (Trinetra): Simbol kebijaksanaan transenden yang dapat melihat melampaui ilusi dunia.
Penekanan pada aspek "Guru" menunjukkan bahwa dalam pandangan Nusantara, Siwa bukan hanya kekuatan destruktif, melainkan juga sumber pencerahan dan petunjuk spiritual. Ia adalah sumber segala ajaran, ritual, dan tata cara keagamaan yang benar.
3.2 Peran dalam Mitologi Jawa dan Bali
Betara Guru mendominasi banyak kisah mitologi di Jawa dan Bali, menjadikannya tokoh sentral dalam berbagai narasi penciptaan, konflik, dan ajaran moral.
3.2.1 Sebagai Pencipta, Penguasa Jagat, dan Guru Para Dewa
Dalam mitologi Jawa, Betara Guru sering digambarkan sebagai pencipta awal alam semesta atau setidaknya sebagai entitas yang mengatur dan menyusunnya dari kekacauan primordial. Ia adalah penguasa tertinggi di Kahyangan (dunia para dewa) dan memiliki kekuasaan mutlak atas segala makhluk. Para dewa lain, termasuk Betara Brahma dan Betara Wisnu, seringkali digambarkan sebagai adik atau bawahan yang menuruti titah Betara Guru.
Sebagai guru para dewa, Betara Guru bertanggung jawab untuk mendidik dan membimbing dewa-dewi lain dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka. Kisah-kisah tentang Betara Guru seringkali penuh dengan kebijaksanaan, mengajarkan tentang dharma, karma, dan moksa.
3.2.2 Kisah-Kisah Penting yang Melibatkan Betara Guru
Banyak lakon pewayangan dan cerita rakyat yang menonjolkan peran Betara Guru. Salah satu yang paling terkenal adalah kisah penciptaan manusia atau pengatur nasib. Dalam beberapa versi, ia adalah nenek moyang raja-raja Jawa. Kisah lain seringkali melibatkan intervensinya dalam konflik antara dewa dan raksasa, atau ketika terjadi kekacauan di dunia manusia, di mana ia akan mengirimkan avatara atau utusan untuk memulihkan keseimbangan.
Kisah Batara Kala, misalnya, seringkali dikaitkan dengan Betara Guru. Batara Kala diceritakan lahir dari air mani Betara Guru yang jatuh ke laut atau karena kemarahan dan emosi sang Betara. Meskipun menakutkan, kelahiran Batara Kala sering dianggap sebagai bagian dari rencana kosmik untuk menyeimbangkan alam semesta, di bawah pengawasan Betara Guru.
3.2.3 Hubungan dengan Manusia dan Leluhur
Betara Guru juga memiliki hubungan yang erat dengan manusia, terutama dalam tradisi Jawa. Ia dianggap sebagai 'eyang' (kakek) spiritual atau leluhur agung yang memberikan ajaran dan petunjuk kepada para raja dan orang bijak. Melalui perantara para pertapa atau resi, ajaran Betara Guru dapat sampai kepada manusia, membimbing mereka dalam menjalani kehidupan yang berbudi luhur.
Dalam tradisi Kejawen, Betara Guru seringkali dihubungkan dengan konsep 'Sang Hyang Widi Wasa' atau 'Gusti Ingkang Murbeng Dumadi', sebuah entitas ilahi tunggal yang melampaui segala bentuk. Ini menunjukkan bagaimana konsep Betara Guru telah berkembang menjadi sebuah representasi keilahian yang paling agung dan universal.
3.3 Transformasi dan Sinkretisme
Kehadiran Betara Guru tidak berhenti pada era Hindu-Buddha. Konsep ini terus berevolusi dan mengalami sinkretisme dengan kepercayaan baru, terutama Islam, menciptakan warisan spiritual yang lebih kaya.
3.3.1 Penyerapan ke dalam Islam (Wali Songo, Serat-Serat)
Ketika Islam masuk ke Jawa, konsep-konsep Hindu-Buddha tidak sepenuhnya lenyap, melainkan seringkali diadaptasi dan disinkretisasikan. Para Wali Songo, penyebar Islam di Jawa, dikenal karena kebijaksanaan mereka dalam mengadaptasi budaya dan kepercayaan lokal. Dalam beberapa serat atau naskah kuno Jawa yang ditulis setelah Islam masuk, seperti Serat Centhini atau Serat Paramayoga, nama Betara Guru masih muncul, namun seringkali diinterpretasikan ulang.
Ia bisa dianggap sebagai salah satu nabi atau leluhur yang kemudian dihubungkan dengan ajaran Islam, atau sebagai personifikasi dari konsep ketuhanan sebelum datangnya Islam. Misalnya, dalam pewayangan, Betara Guru kadang dianggap sebagai 'Kanjeng Nabi Adam' atau 'Sang Hyang Ismaya' yang merupakan leluhur para dewa dan manusia. Ini menunjukkan upaya untuk menyambungkan dua tradisi besar melalui figur sentral Betara Guru.
3.3.2 Pengaruhnya pada Konsep 'Tuhan Yang Maha Esa'
Peran Betara Guru sebagai dewa tertinggi, penguasa jagat, dan sumber kebijaksanaan, memiliki resonansi yang kuat dengan konsep monoteisme, yaitu 'Tuhan Yang Maha Esa' dalam agama-agama Abrahamik. Dalam beberapa interpretasi modern, Betara Guru dapat dilihat sebagai salah satu representasi awal atau pemahaman masyarakat Nusantara tentang satu Tuhan yang mengatur alam semesta. Ini memfasilitasi transisi spiritual dan memungkinkan masyarakat untuk melihat kesinambungan antara kepercayaan lama dan baru.
Dalam konteks Bali Hindu Dharma, konsep 'Ida Sang Hyang Widhi Wasa' (Tuhan Yang Maha Esa) seringkali diyakini sebagai manifestasi tunggal yang memiliki berbagai aspek atau perwujudan, di mana Betara Guru adalah salah satu manifestasi utamanya. Ini menunjukkan bagaimana konsep Betara terus relevan dalam kerangka keagamaan yang lebih luas, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.
Bab IV: Betara dalam Wiracarita dan Sastra Klasik
4.1 Ramayana dan Mahabharata Versi Nusantara
Wiracarita Ramayana dan Mahabharata adalah dua karya sastra epik paling monumental dari India yang memiliki pengaruh besar di seluruh Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Di Indonesia, kisah-kisah ini tidak hanya diterjemahkan, tetapi juga diadaptasi dan diinterpretasikan ulang secara mendalam, menciptakan versi lokal yang unik yang sangat meresap dalam budaya, terutama melalui media pewayangan.
4.1.1 Peran Para Betara dalam Kisah-Kisah Epik Ini
Dalam kedua wiracarita ini, para Betara memainkan peran krusial sebagai pengatur takdir, pemberi anugerah, penjelas moralitas, dan bahkan sebagai partisipan langsung dalam konflik.
- Ramayana: Betara Wisnu adalah tokoh sentral, karena Rama adalah inkarnasi (avatara) dari Betara Wisnu. Para Betara lain seperti Betara Indra, Betara Bayu, dan Betara Surya juga seringkali muncul untuk membantu Rama dalam perjuangannya melawan Rahwana. Betara Guru (Siwa) seringkali menjadi penasihat atau pengatur takdir yang lebih tinggi. Peran mereka adalah memastikan dharma ditegakkan dan keadilan kembali.
- Mahabharata: Kisah ini juga dipenuhi dengan intervensi dan kehadiran Betara. Krisna, penasihat Pandawa, adalah inkarnasi lain dari Betara Wisnu. Betara Indra adalah ayah dari Arjuna, Betara Bayu adalah ayah dari Bima, dan Betara Surya adalah ayah dari Karna. Hubungan kekerabatan antara manusia dan dewa ini seringkali menjadi sumber kekuatan dan keajaiban dalam cerita. Para Betara juga berperan dalam memberikan senjata sakti, kutukan, atau berkah yang menentukan jalannya perang Bharata Yuda.
4.1.2 Perbedaan dan Adaptasi Lokal (Wayang Kulit, Kakawin)
Versi Nusantara dari Ramayana dan Mahabharata tidak semata-mata meniru versi India. Ada banyak adaptasi lokal yang signifikan, terutama dalam cerita pewayangan Jawa dan Bali, serta dalam kakawin (puisi epik kuno).
- Wayang Kulit: Dalam pewayangan, karakter Betara diberikan ciri khas fisik, karakter, dan bahkan dialog yang berbeda dari sumber aslinya. Misalnya, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong—para punakawan (abdi setia Pandawa)—adalah karakter khas Jawa yang tidak ada dalam versi India. Mereka seringkali menjadi penjelas filosofi, kritik sosial, dan bahkan medium untuk menyuarakan ajaran spiritual yang mendalam. Dalam beberapa lakon, Semar diidentifikasi sebagai penjelmaan Sang Hyang Ismaya, kakak tertua Betara Guru, yang turun ke bumi untuk mendampingi kesatria pilihan.
- Kakawin: Karya sastra kuno seperti Kakawin Ramayana dan Kakawin Bharatayuddha juga menunjukkan adaptasi gaya bahasa, konteks budaya, dan bahkan penambahan atau pengurangan detail cerita. Misalnya, dalam Kakawin Ramayana, terdapat penekanan pada keindahan alam Jawa dan nilai-nilai lokal.
Adaptasi ini menunjukkan bahwa Betara dan wiracarita ini bukan sekadar cerita asing, melainkan telah menjadi bagian integral dari identitas budaya Nusantara, diinterpretasikan ulang untuk relevan dengan pengalaman dan pandangan dunia masyarakat lokal.
4.2 Sastra-Sastra Lain
Selain wiracarita besar, konsep Betara juga meresap dalam berbagai sastra klasik Nusantara lainnya, termasuk serat, kidung, dan babad.
4.2.1 Serat Centhini, Kidung, Babat
- Serat Centhini: Karya ensiklopedis dari abad ke-19 ini menggambarkan secara detail kehidupan sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Jawa. Di dalamnya, kisah-kisah tentang Betara muncul dalam konteks ritual, kepercayaan lokal, dan ajaran mistik. Serat Centhini menunjukkan bagaimana konsep Betara terus hidup dan berinteraksi dengan kepercayaan Islam dan Kejawen.
- Kidung: Bentuk puisi kuno yang sering dinyanyikan, banyak kidung yang berisi pujian kepada para dewa, kisah-kisah mitologis, atau ajaran moral yang melibatkan Betara. Kidung seringkali digunakan dalam upacara adat atau sebagai bagian dari pertunjukan seni.
- Babad: Teks sejarah dan pseudo-sejarah yang mencatat silsilah raja-raja dan berdirinya kerajaan. Dalam babad, seringkali terdapat klaim keturunan ilahi dari para raja, yang dihubungkan dengan Betara tertentu, seperti Babad Tanah Jawi yang menghubungkan leluhur raja-raja Jawa dengan Betara Guru. Ini adalah upaya untuk melegitimasi kekuasaan politik melalui garis keturunan spiritual.
Sastra-sastra ini menunjukkan bahwa Betara bukan hanya entitas mitologis, tetapi juga fondasi naratif yang digunakan untuk menjelaskan sejarah, kekuasaan, dan moralitas dalam masyarakat Nusantara.
4.3 Simbolisme dan Alegori
Gambaran tentang Betara dalam sastra dan wiracarita seringkali sarat dengan simbolisme dan alegori, melampaui literalitas cerita dan menyampaikan pesan-pesan filosofis yang mendalam.
4.3.1 Betara sebagai Representasi Kekuatan Alam, Moral, atau Psikologis
Setiap Betara dapat dilihat sebagai personifikasi dari aspek-aspek tertentu alam semesta atau sifat-sifat manusia.
- Kekuatan Alam: Betara Indra melambangkan kekuatan petir dan hujan; Betara Bayu melambangkan angin dan vitalitas; Betara Baruna melambangkan laut dan misteri kedalaman. Melalui kisah-kisah mereka, masyarakat belajar untuk menghormati dan memahami kekuatan alam yang tak terkendali.
- Moralitas: Kisah para Betara yang berjuang melawan raksasa atau iblis seringkali menjadi alegori perjuangan antara kebaikan (dharma) dan kejahatan (adharma) dalam diri manusia dan masyarakat. Wisnu sebagai pemelihara melambangkan keadilan, sedangkan Siwa sebagai pelebur melambangkan siklus perubahan dan transformasi yang diperlukan.
- Psikologis: Dalam beberapa interpretasi esoteris, para Betara juga dapat mewakili arketipe psikologis atau energi dalam diri manusia. Misalnya, Betara Guru dapat melambangkan kebijaksanaan internal atau superego yang membimbing seseorang menuju pencerahan.
4.3.2 Pesan-Pesan Filosofis di Balik Narasi
Melalui kisah-kisah Betara, masyarakat Nusantara diajarkan tentang:
- Karma: Hukum sebab-akibat, di mana tindakan baik akan menghasilkan kebaikan, dan tindakan buruk akan menghasilkan konsekuensi yang sesuai. Para Betara seringkali menjadi penentu atau pelaksana hukum karma ini.
- Dharma: Kebenaran universal, moralitas, dan tugas seseorang. Wiracarita seperti Ramayana dan Mahabharata adalah panduan tentang bagaimana menegakkan dharma dalam menghadapi berbagai tantangan.
- Keseimbangan Alam Semesta: Konsep bahwa segala sesuatu di alam semesta harus berada dalam keseimbangan. Konflik antara dewa dan asura (raksasa) seringkali berakhir dengan pemulihan keseimbangan ini, menunjukkan pentingnya harmoni.
Dengan demikian, Betara bukan hanya sekadar figur dalam mitos, melainkan juga cerminan dari pandangan dunia dan sistem nilai yang mendalam, membimbing manusia untuk hidup selaras dengan alam dan prinsip-prinsip kebenaran.
Bab V: Manifestasi Betara dalam Budaya Populer dan Seni
5.1 Wayang Kulit dan Wayang Orang
Wayang, baik kulit maupun orang, adalah bentuk seni pertunjukan paling ikonik di Indonesia yang tidak hanya menghibur tetapi juga menyampaikan ajaran filosofis dan spiritual. Dalam wayang, Betara adalah tokoh sentral yang menghidupkan narasi epik.
5.1.1 Karakter Betara dalam Pewayangan
Hampir semua dewa-dewi dalam panteon Hindu-Buddha yang diserap ke Nusantara memiliki perwujudan dalam wayang. Mereka digambarkan dengan karakteristik visual dan suara yang khas:
- Betara Guru (Siwa): Digambarkan dengan kulit putih pucat, bermahkota tinggi (gelung supit urang), kadang memiliki mata ketiga. Ia bicara dengan suara berwibawa, seringkali menjadi penasihat atau pengambil keputusan tertinggi di Kahyangan.
- Betara Wisnu: Berkulit gelap kebiruan, wajah tampan, postur anggun, melambangkan keadilan dan kebijaksanaan.
- Betara Brahma: Berkulit merah, kadang digambarkan dengan empat kepala (walaupun jarang dalam boneka wayang kulit), melambangkan keberanian dan kekuatan penciptaan.
- Betara Indra: Digambarkan gagah, seringkali memegang panah atau guntur, dengan mahkota yang indah.
Setiap karakter Betara memiliki wanda (gaya atau ekspresi) dan suluk (lagu pengiring) tersendiri yang menggambarkan karakter dan emosi mereka, memberikan dimensi spiritual yang mendalam pada pertunjukan.
5.1.2 Filosofi dan Makna Setiap Tokoh Betara
Di balik bentuk fisik dan cerita, setiap Betara dalam wayang memiliki makna filosofis yang dalam. Mereka bukan hanya dewa, tetapi arketipe sifat-sifat manusia dan kekuatan alam semesta.
- Betara Guru sering melambangkan akal budi, kebijaksanaan, dan otoritas spiritual.
- Betara Wisnu mewakili keadilan, perlindungan, dan pengorbanan.
5.1.3 Busana, Gerak, dan Dialog
Detail dalam busana (dodogan), gerak tubuh (solah), dan dialog (ginem) setiap Betara dalam wayang sangat kaya makna. Busana mereka seringkali mencerminkan status dan kekuasaan ilahi. Gerakan mereka anggun dan terukur, melambangkan ketenangan dan kebijaksanaan. Dialog mereka, yang seringkali menggunakan bahasa Jawa Kawi atau bahasa yang lebih halus (krama inggil), mengandung petuah dan ajaran yang mendalam, membimbing penonton untuk merefleksikan kehidupan dan spiritualitas.
5.2 Arsitektur dan Pura
Arsitektur keagamaan di Nusantara, terutama candi-candi Hindu di Jawa dan pura-pura di Bali, adalah perwujudan fisik dari kosmologi Betara.
5.2.1 Rancangan Candi dan Pura yang Mencerminkan Kosmologi Betara
Candi dan pura dibangun berdasarkan konsep-konsep kosmologi Hindu-Buddha, di mana struktur bangunan melambangkan Gunung Meru, pusat alam semesta dan tempat bersemayamnya para Betara.
- Candi: Seperti Candi Prambanan yang megah, dirancang dengan tiga bagian utama (Bhurloka, Bhuwarloka, Swarloka) yang melambangkan dunia bawah (manusia), dunia tengah (roh), dan dunia atas (dewa). Ruang paling suci di candi utama (mandapa atau garbagriha) didedikasikan untuk arca dewa utama (misalnya Siwa), yang dipandang sebagai kehadiran Betara di bumi.
- Pura: Di Bali, pura-pura juga memiliki tiga mandala (nista, madya, utama) yang merepresentasikan tingkatan spiritual dari dunia luar hingga yang paling suci. Pelinggih (tempat duduk) untuk setiap Betara didirikan di mandala utama, memungkinkan umat untuk bersembahyang dan berkomunikasi dengan alam ilahi. Orientasi pura ke arah gunung (misalnya Gunung Agung) juga mencerminkan kosmologi ini.
5.2.2 Arca dan Relief yang Menggambarkan Betara
Arca-arca dan relief pada dinding candi atau pura adalah media visual utama untuk menggambarkan Betara. Setiap arca dibuat dengan ikonografi yang ketat: posisi tubuh (asana), mudra (sikap tangan), atribut (senjata atau benda), dan busana, semuanya memiliki makna simbolis yang merujuk pada identitas dan kekuasaan Betara yang digambarkan.
- Relief Ramayana dan Mahabharata pada candi seperti Prambanan menggambarkan kisah-kisah para Betara yang hidup, perjuangan mereka, dan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.
- Arca-arca Betara Wisnu yang menunggangi Garuda di candi-candi menandakan perlindungan dan kekuatan.
- Arca Betara Siwa yang sedang bermeditasi melambangkan ketenangan dan kebijaksanaan.
5.3 Upacara Adat dan Ritual
Konsep Betara menjadi inti dari berbagai upacara adat dan ritual di Nusantara, terutama di daerah yang kuat tradisi Hindu-Buddha-nya.
5.3.1 Peran Betara dalam Ritual Pertanian, Kelahiran, Kematian
- Ritual Pertanian: Pemujaan Betari Sri (dewi padi dan kesuburan) sangat penting dalam upacara pertanian (misalnya upacara panen, penanaman). Para petani memohon kepada Betari Sri agar diberikan hasil panen yang melimpah dan dijauhkan dari hama.
- Ritual Kelahiran: Dalam tradisi Bali, berbagai upacara (misalnya megedong-gedongan saat kehamilan, atau upacara tiga bulanan bayi) melibatkan permohonan kepada Betara untuk melindungi bayi dan keluarga, serta memberikan berkah.
- Ritual Kematian: Upacara ngaben di Bali, misalnya, bertujuan untuk mengembalikan Panca Mahabhuta (lima elemen penyusun tubuh) ke asalnya dan menyucikan roh agar dapat bersatu dengan Betara. Betara Yama (dewa kematian) seringkali disebut dalam konteks ini, sebagai penjaga alam kematian.
5.3.2 Sajian, Sesaji, dan Doa yang Ditujukan kepada Betara
Dalam setiap upacara, sajen (persembahan) dan sesaji (persembahan simbolis) disiapkan dengan sangat teliti, masing-masing dengan makna dan simbolisme tersendiri. Bunga, buah-buahan, makanan, dupa, dan air suci adalah bagian integral dari sesaji yang dipersembahkan kepada Betara. Melalui doa dan mantra, umat berkomunikasi dengan para Betara, memohon berkah, perlindungan, atau petunjuk.
Penyajian sesaji bukan hanya tindakan fisik, melainkan juga simbol dari penyerahan diri, rasa syukur, dan harapan spiritual. Setiap elemen dalam sesaji memiliki makna kosmologis dan filosofis yang mendalam, merepresentasikan harmoni alam semesta.
5.4 Seni Rupa dan Kerajinan
Inspirasi dari Betara juga mengalir deras ke berbagai bentuk seni rupa dan kerajinan tangan di Nusantara.
5.4.1 Lukisan, Patung, Ukiran yang Terinspirasi oleh Betara
- Lukisan: Di Bali, lukisan tradisional Kamasan seringkali menggambarkan kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata, dengan para Betara sebagai tokoh utamanya. Lukisan-lukisan ini tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai media pendidikan moral dan spiritual.
- Patung: Patung-patung Betara, baik dari batu, kayu, maupun perunggu, banyak ditemukan di seluruh Indonesia. Patung-patung ini bisa ditemukan di pura, candi, museum, atau sebagai koleksi pribadi, menunjukkan kekaguman terhadap bentuk ilahi.
- Ukiran: Ukiran kayu dan batu dengan motif Betara banyak ditemukan pada elemen arsitektur tradisional, perabotan, dan benda-benda ritual. Ukiran dewa-dewi, flora, dan fauna mitologis seringkali digabungkan, menciptakan karya seni yang rumit dan penuh makna.
5.4.2 Motif dan Ornamen
Motif dan ornamen yang terinspirasi dari Betara juga meresap ke dalam kain batik, songket, tenun, dan kerajinan lainnya. Motif seperti Garuda (kendaraan Betara Wisnu), Padmasana (singgasana teratai dewa), atau bahkan bentuk-bentuk stilasi dari mahkota Betara, sering digunakan, menjadikan seni kerajinan tidak hanya indah tetapi juga mengandung nilai spiritual yang tinggi.
Melalui berbagai bentuk seni ini, konsep Betara terus hidup, berinteraksi dengan masyarakat, dan terus menginspirasi generasi demi generasi untuk memahami kedalaman spiritual dan kekayaan budaya Nusantara.
Bab VI: Betara dan Spiritualitas Kontemporer
6.1 Pergeseran Makna
Di era modern yang serba cepat dan global, makna Betara mengalami pergeseran yang menarik, dari entitas supernatural menjadi simbol spiritual, budaya, dan bahkan identitas.
6.1.1 Dari Entitas Supernatural Menjadi Simbol Spiritual atau Budaya
Bagi sebagian masyarakat kontemporer, terutama yang tidak lagi menganut agama Hindu secara dogmatis, Betara mungkin tidak lagi dipandang sebagai dewa-dewi yang memiliki intervensi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mereka tetap dihormati sebagai simbol.
- Simbol Spiritual: Betara dapat diinterpretasikan sebagai personifikasi dari prinsip-prinsip spiritual universal seperti kebaikan, keadilan, kebijaksanaan, atau kekuatan alam. Misalnya, Betara Guru dapat melambangkan kebijaksanaan batiniah yang dicari dalam meditasi atau refleksi.
- Simbol Budaya: Betara menjadi representasi penting dari warisan budaya dan identitas bangsa. Kisah-kisah Betara diakui sebagai bagian tak terpisahkan dari narasi nasional, yang perlu dilestarikan dan dipahami sebagai akar dari peradaban Nusantara. Pewayangan, seni tari, dan musik yang terinspirasi Betara tetap dipertahankan sebagai kekayaan kultural.
Pergeseran ini memungkinkan konsep Betara untuk tetap relevan di tengah masyarakat yang semakin plural dan rasional, menawarkan nilai-nilai abadi tanpa harus terikat pada dogma keagamaan tertentu.
6.1.2 Bagaimana Masyarakat Modern Memahami Betara
Masyarakat modern memahami Betara melalui berbagai lensa:
- Lensa Akademis: Para sejarawan, antropolog, dan filolog mengkaji Betara sebagai bagian dari studi mitologi, agama, dan kebudayaan.
- Lensa Seni dan Hiburan: Melalui film, komik, dan video game, Betara diinterpretasikan ulang dalam konteks modern, menjangkau audiens yang lebih luas.
- Lensa Spiritual Personal: Beberapa individu mungkin menemukan inspirasi dari kisah-kisah Betara untuk mencari makna hidup, mengembangkan moralitas, atau menemukan kedamaian batin, tanpa harus secara formal menganut agama Hindu.
6.2 Relevansi Filosofis
Meskipun zaman telah berubah, relevansi filosofis dari konsep Betara tetap kuat, menawarkan pelajaran berharga untuk kehidupan kontemporer.
6.2.1 Konsep Karma, Dharma, Keseimbangan Alam Semesta
- Karma: Ajaran tentang karma yang melekat pada kisah-kisah Betara tetap relevan sebagai pengingat akan pentingnya tanggung jawab atas tindakan. Di dunia modern, di mana konsekuensi tindakan seringkali terasa abstrak, konsep karma menawarkan kerangka moral yang kuat.
- Dharma: Prinsip dharma—kebenaran, tugas, dan moralitas—adalah pondasi bagi masyarakat yang beradab. Kisah-kisah para Betara yang menegakkan dharma menginspirasi individu untuk berpegang teguh pada nilai-nilai etika dalam kehidupan pribadi maupun publik.
- Keseimbangan Alam Semesta: Konsep Betara sebagai pengatur keseimbangan kosmik adalah pengingat penting akan perlunya harmoni antara manusia dan alam. Di tengah krisis lingkungan global, ajaran ini mendorong kesadaran ekologis dan tanggung jawab untuk menjaga planet ini.
6.2.2 Pelajaran Moral dan Etika dari Kisah-Kisah Betara
Kisah-kisah Ramayana, Mahabharata, dan mitologi lokal lainnya yang melibatkan Betara sarat dengan pelajaran moral dan etika:
- Kepemimpinan Berani dan Adil: Contoh dari Rama atau Krisna yang rela berkorban demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
- Kesetiaan dan Pengorbanan: Kisah-kisah tentang Hanoman atau Bima yang setia pada tuannya, atau Sinta yang teguh pada kesuciannya.
- Hikmah dari Kegagalan dan Kemenangan: Mengajarkan bahwa hidup adalah siklus perubahan, dan setiap tantangan membawa pelajaran berharga.
Pelajaran-pelajaran ini tidak lekang oleh waktu dan tetap menjadi pedoman yang relevan untuk membentuk karakter individu dan masyarakat yang beretika.
6.3 Pengaruh pada Identitas Nasional
Betara dan warisan mitologinya memiliki peran penting dalam membentuk identitas nasional Indonesia yang majemuk.
6.3.1 Betara sebagai Bagian dari Warisan Budaya yang Membentuk Identitas Bangsa
Indonesia adalah negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, di mana berbagai tradisi, termasuk yang terkait dengan Betara, menjadi bagian integral dari mozaik identitas ini. Situs-situs arkeologi seperti candi-candi, seni pertunjukan seperti wayang, dan sastra klasik adalah bukti nyata dari warisan ini. Mempelajari dan menghargai Betara berarti memahami salah satu pilar pembentuk jati diri bangsa.
6.3.2 Kebhinekaan dalam Keyakinan
Kehadiran konsep Betara dalam masyarakat Indonesia juga menunjukkan kebhinekaan dalam keyakinan. Meskipun mayoritas penduduk menganut Islam, tradisi dan kearifan lokal yang berakar pada Hindu-Buddha terus hidup berdampingan. Hal ini mencerminkan semangat "Bhinneka Tunggal Ika" (berbeda-beda tetapi tetap satu), di mana perbedaan kepercayaan dihargai sebagai kekayaan, bukan sebagai pemecah belah. Betara menjadi simbol dari kemampuan masyarakat Indonesia untuk menyerap, mengadaptasi, dan merayakan keragaman spiritual mereka.
Bab VII: Studi Kasus Regional - Betara di Berbagai Wilayah Nusantara
7.1 Betara di Jawa
Jawa adalah salah satu pusat peradaban Hindu-Buddha tertua dan terkuat di Nusantara, sehingga pengaruh Betara sangat mendalam dan meluas.
7.1.1 Pengaruh dalam Tradisi Kejawen
Kejawen adalah sistem kepercayaan dan filosofi spiritual Jawa yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu-Buddha, animisme, dan Islam. Dalam Kejawen, Betara tetap memegang peran penting, meskipun seringkali diinterpretasikan secara mistis dan esoteris. Betara Guru, misalnya, sering disamakan dengan Sang Hyang Wenang atau Sang Hyang Tunggal, entitas ilahi tertinggi yang melampaui segala wujud. Pemujaan kepada Betara dalam Kejawen lebih fokus pada pencarian keselarasan batin, keseimbangan alam semesta, dan hubungan mistis dengan kekuatan ilahi.
Konsep sedulur papat lima pancer (empat saudara dan pusat kelima) dalam Kejawen juga dapat dihubungkan dengan kosmologi Betara yang mengatur empat arah mata angin dan pusat alam semesta. Betara menjadi bagian dari kerangka spiritual untuk memahami diri dan jagat raya.
7.1.2 Konsep 'Sang Hyang Widhi Wasa' dan Sinkretisme
Meskipun 'Sang Hyang Widhi Wasa' lebih dikenal di Bali, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga memiliki resonansi di Jawa, terutama dalam tradisi Kejawen atau dalam interpretasi agama Hindu modern. Betara-Betara yang berbeda dapat dianggap sebagai manifestasi atau aspek dari satu Tuhan Yang Maha Esa ini. Sinkretisme di Jawa memungkinkan Betara untuk berinteraksi dengan kepercayaan Islam, di mana dewa-dewa pra-Islam tidak dihapuskan, melainkan diintegrasikan ke dalam cerita rakyat atau diinterpretasikan ulang sebagai entitas spiritual yang lebih rendah dari Tuhan Yang Maha Esa.
7.2 Betara di Bali
Bali adalah benteng utama agama Hindu Dharma di Indonesia, dan konsep Betara adalah inti dari seluruh sistem kepercayaan dan praktik keagamaan mereka.
7.2.1 Pentingnya dalam Agama Hindu Dharma Bali
Di Bali, istilah "Betara" digunakan secara luas untuk merujuk pada dewa-dewi Hindu yang dipuja, serta roh-roh leluhur yang dihormati (sering disebut Betara-Betari Lelangit). Mereka adalah entitas yang diyakini menjaga keseimbangan alam semesta, memberikan berkah, dan melindungi manusia dari kejahatan. Seluruh siklus kehidupan, dari kelahiran hingga kematian, serta kegiatan pertanian dan sosial, diatur oleh upacara dan ritual yang didedikasikan kepada Betara.
Konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) adalah inti dari pemujaan di Bali. Namun, juga terdapat banyak Betara lokal atau dewa-dewi yang disinkretisasikan dengan entitas Hindu, seperti Betara Baruna sebagai penguasa laut, atau Betari Sri sebagai dewi kemakmuran.
7.2.2 Pemujaan di Pura-Pura Utama (Besakih, Lempuyang)
Pura adalah pusat spiritual masyarakat Bali, dan setiap pura didedikasikan untuk Betara atau kelompok Betara tertentu.
- Pura Besakih: Dikenal sebagai "ibu dari semua pura" di Bali, merupakan kompleks pura terbesar yang didedikasikan untuk Trimurti dan berbagai Betara lainnya. Ini adalah pusat spiritual tertinggi bagi umat Hindu Bali.
- Pura Lempuyang: Pura ini terkenal dengan gerbangnya yang megah dan dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Betara Iswara, salah satu manifestasi Siwa yang menjaga arah timur.
Arsitektur pura, ritual persembahan (banten), dan upacara-upacara besar seperti Panca Yadnya semuanya berpusat pada pemujaan dan penghormatan kepada Betara, untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.
7.2.3 Sistem Kasta dan Kaitannya dengan Betara
Sistem kasta (catur wangsa) di Bali, meskipun tidak sekaku di India, juga memiliki keterkaitan dengan Betara. Golongan Brahmana (pendeta) memiliki peran penting dalam memimpin upacara keagamaan dan menjadi perantara antara manusia dan Betara. Mereka adalah penjaga tradisi dan pengetahuan suci tentang para Betara.
7.3 Betara di Sumatra dan Kalimantan
Meskipun pengaruh Hindu-Buddha di Sumatra dan Kalimantan tidak sekuat di Jawa dan Bali setelah abad ke-15, jejak-jejak Betara masih dapat ditemukan.
7.3.1 Jejak-Jejak Peninggalan Hindu-Buddha
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra (abad ke-7 hingga ke-13) adalah kerajaan maritim besar dengan pengaruh Buddha yang kuat. Prasasti-prasasti dari Sriwijaya sering menyebutkan "Bhatara" dalam konteks pemujaan Buddha atau Bodhisattva. Candi-candi seperti Muara Takus di Riau adalah bukti fisik dari keberadaan tradisi ini.
Di Kalimantan, penemuan arca-arca Hindu seperti Siwa dan Wisnu, serta prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai (abad ke-4), menunjukkan bahwa konsep Betara juga pernah berkembang di wilayah ini pada masa lampau.
7.3.2 Adaptasi Lokal dan Perpaduan dengan Kepercayaan Adat
Setelah kemunduran kerajaan Hindu-Buddha, konsep Betara tidak sepenuhnya hilang, melainkan seringkali diserap dan berpadu dengan kepercayaan adat setempat. Roh-roh penjaga hutan, sungai, atau gunung dalam kepercayaan suku Dayak di Kalimantan, atau suku Batak di Sumatra, kadang memiliki kemiripan fungsi dengan Betara. Proses sinkretisme ini menciptakan bentuk-bentuk spiritualitas yang unik, di mana elemen-elemen Hindu-Buddha berbaur dengan animisme dan dinamisme lokal.
7.4 Betara di Sulawesi dan Indonesia Timur
Di Sulawesi dan wilayah Indonesia Timur lainnya, pengaruh Hindu-Buddha tidak sekuat di wilayah barat, namun konsep Betara masih meninggalkan jejak atau memiliki paralel dalam mitologi lokal.
7.4.1 Variasi Nama dan Atribut
Di Sulawesi, misalnya, ditemukan beberapa arca Hindu kuno, menunjukkan adanya kontak dengan kebudayaan ini. Namun, istilah "Betara" sendiri mungkin tidak digunakan secara langsung melainkan melalui variasi nama atau konsep ilahi yang memiliki fungsi serupa dalam mitologi lokal. Misalnya, beberapa mitos penciptaan di Sulawesi melibatkan dewa-dewa langit atau dewa bumi yang memiliki peran sentral seperti para Betara.
7.4.2 Pengaruh pada Mitos Penciptaan Lokal
Meskipun tidak secara eksplisit disebut "Betara", banyak mitos penciptaan di Indonesia Timur memiliki paralel dengan konsep ilahi dalam Hindu-Buddha. Dewa-dewa pencipta atau dewa-dewi yang mengatur alam seringkali digambarkan dengan atribut dan kekuatan yang serupa dengan Betara. Ini menunjukkan bahwa meskipun nama dan bentuknya berbeda, ide tentang entitas ilahi yang mengatur kosmos adalah universal dan telah berkembang dalam berbagai bentuk di seluruh Nusantara.
Secara keseluruhan, studi kasus regional ini menunjukkan bagaimana konsep Betara, dalam berbagai adaptasi dan sinkretisme, telah membentuk lanskap spiritual dan budaya yang kaya dan beragam di seluruh kepulauan Indonesia.
Bab VIII: Tantangan dan Masa Depan Konsep Betara
8.1 Modernisasi dan Globalisasi
Di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi yang tak terhindarkan, konsep Betara menghadapi tantangan sekaligus peluang untuk tetap relevan.
8.1.1 Apakah Betara Tetap Relevan di Era Digital?
Di era digital, informasi mengalir deras dan budaya-budaya global saling mempengaruhi. Pertanyaan tentang relevansi Betara muncul bagi generasi muda yang tumbuh dengan internet dan media sosial. Bagi sebagian orang, kisah-kisah kuno mungkin terasa jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Namun, justru di sinilah letak potensi Betara.
Kisah-kisah Betara yang kaya akan moralitas, kebijaksanaan, dan drama manusia dapat diadaptasi ke dalam format digital yang menarik. Game, animasi, komik daring, dan konten edukatif di media sosial dapat menjadi jembatan bagi generasi muda untuk kembali mengenal dan menghargai warisan ini. Relevansi Betara tidak terletak pada apakah mereka "nyata" secara fisik, tetapi pada nilai-nilai abadi yang mereka representasikan.
8.1.2 Bagaimana Nilai-Nilai Tradisional Dilestarikan
Pelestarian nilai-nilai tradisional yang terkait dengan Betara memerlukan upaya kolaboratif.
- Edukasi: Kurikulum pendidikan perlu mengintegrasikan cerita-cerita Betara sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan nasional, mengajarkan maknanya yang mendalam.
- Keluarga dan Komunitas: Peran keluarga dan komunitas dalam mewariskan cerita rakyat, mitos, dan nilai-nilai spiritual Betara sangat penting melalui tradisi lisan, upacara adat, dan praktik keagamaan.
- Institusi Budaya: Museum, pusat kebudayaan, dan organisasi nirlaba dapat berperan aktif dalam mendokumentasikan, memamerkan, dan mempromosikan seni dan ritual yang terkait dengan Betara.
8.2 Pendidikan dan Literasi
Pendidikan dan literasi adalah kunci untuk memastikan konsep Betara terus dipahami dan dihargai oleh generasi mendatang.
8.2.1 Pentingnya Memahami Warisan Budaya
Memahami warisan budaya, termasuk konsep Betara, adalah esensial untuk membentuk identitas yang kuat dan menghargai keragaman. Ini membantu individu untuk memahami akar sejarah mereka, dari mana mereka berasal, dan nilai-nilai apa yang telah membentuk masyarakat mereka. Tanpa pemahaman ini, ada risiko kehilangan jati diri di tengah arus globalisasi.
Literasi budaya juga berarti kemampuan untuk membaca dan menginterpretasikan simbol-simbol, narasi, dan praktik yang terkait dengan Betara, memungkinkan seseorang untuk terlibat secara lebih mendalam dengan kekayaan spiritual bangsa.
8.2.2 Peran Pendidikan dalam Mengenalkan Betara kepada Generasi Muda
Pendidikan formal dan informal memiliki peran besar dalam mengenalkan Betara kepada generasi muda.
- Sekolah: Pelajaran sejarah, seni, dan agama dapat memasukkan materi tentang Betara, tidak hanya sebagai fakta historis tetapi juga sebagai sumber inspirasi filosofis dan moral.
- Media Edukatif: Pembuatan buku anak-anak, film dokumenter, aplikasi interaktif, dan situs web yang menarik tentang Betara dapat menarik minat anak-anak dan remaja.
- Workshop dan Festival: Mengadakan workshop pewayangan, tari, atau seni ukir yang terinspirasi Betara dapat memberikan pengalaman langsung yang mendalam.
8.3 Potensi Inovasi
Konsep Betara memiliki potensi besar untuk inovasi kreatif di berbagai bidang, menjadikannya bagian dari budaya populer kontemporer.
8.3.1 Kisah-Kisah Betara dalam Media Baru (Film, Game, Komik)
Kisah-kisah Ramayana, Mahabharata, atau mitologi Jawa yang melibatkan Betara memiliki narasi yang kuat, karakter yang kompleks, dan konflik yang dramatis—bahan baku yang sempurna untuk media baru.
- Film dan Serial Televisi: Adaptasi sinematik dengan visual modern dan efek khusus dapat memperkenalkan Betara kepada audiens global.
- Video Game: Karakter Betara dengan kekuatan dan atribut uniknya dapat menjadi dasar untuk game petualangan atau strategi yang menarik.
- Komik dan Novel Grafis: Visual yang kuat dan narasi yang ringkas dapat menjangkau pembaca muda yang gemar dengan format ini.
8.3.2 Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional
Selain adaptasi ke media baru, revitalisasi seni pertunjukan tradisional juga sangat penting.
- Pewayangan Modern: Dalang-dalang muda dapat bereksperimen dengan pementasan wayang yang lebih kontemporer, menggabungkan musik modern, pencahayaan inovatif, atau bahkan cerita yang lebih relevan dengan isu-isu masa kini, tanpa menghilangkan esensi aslinya.
- Seni Tari dan Musik: Penciptaan karya tari dan musik baru yang terinspirasi dari kisah Betara dapat menjaga seni tradisional tetap hidup dan berkembang.
Penutup: Kekekalan Betara dalam Jiwa Nusantara
Perjalanan kita menguak makna Betara adalah sebuah pengembaraan melintasi waktu, dari kedalaman sejarah kuno hingga denyut nadi spiritual kontemporer Nusantara. Kita telah menyaksikan bagaimana kata "Betara" tumbuh dari akar Sansekerta, meresap ke dalam kosmologi lokal, membentuk panteon dewa-dewi yang kaya, dan menjadi pilar filosofis dalam wiracarita serta sastra klasik.
Dari relief candi yang membisu hingga gemuruh gamelan dalam pementasan wayang, dari keheningan pura di pegunungan hingga ritual-ritual pertanian yang penuh harapan, Betara senantiasa hadir. Ia bukan sekadar entitas dari masa lalu, melainkan cerminan dari kebijaksanaan nenek moyang kita, penjaga nilai-nilai moral, dan penunjuk arah bagi jiwa yang mencari makna.
Di era modern ini, meskipun bentuk dan interpretasinya mungkin bergeser, esensi Betara tetap kekal. Ia adalah simbol dari kekuatan alam yang agung, keadilan yang harus ditegakkan, kebijaksanaan yang perlu dicari, dan keseimbangan yang harus dijaga. Betara mengingatkan kita akan koneksi mendalam antara manusia, alam, dan alam ilahi, mendorong kita untuk hidup selaras dengan dharma dan karma.
Maka, tugas kita sebagai pewaris peradaban ini adalah menjaga api pengetahuan tentang Betara tetap menyala. Bukan hanya sebagai bagian dari sejarah yang harus dihafal, melainkan sebagai sumber inspirasi yang hidup, yang terus membentuk identitas budaya dan spiritual Nusantara. Dalam setiap narasi, setiap ritual, dan setiap karya seni yang terinspirasi Betara, kita menemukan jejak-jejak kebijaksanaan abadi yang akan terus membimbing jiwa bangsa ini menuju masa depan yang tercerahkan.