Kulambai: Penjaga Lautan dan Jiwa Bahari Nusantara
Di hamparan biru tak bertepi yang membentang di antara gugusan pulau Nusantara, lautan bukan sekadar kumpulan air asin. Bagi masyarakat bahari, ia adalah ibu, ladang penghidupan, halaman bermain, sekaligus kuburan yang sunyi. Lautan adalah entitas hidup yang bernapas, berdenyut, dan memiliki jiwa. Dalam nadi kebudayaan maritim, terutama di kalangan suku Bajau dan Suluk yang hidup nomaden di atas air, bersemayam sebuah keyakinan mendalam terhadap entitas gaib yang menjaga keseimbangan kosmos bahari ini. Mereka menyebutnya Kulambai, sang penjaga lautan yang tak kasat mata namun kehadirannya senantiasa terasa dalam setiap debur ombak dan desau angin.
Kulambai bukanlah dewa dalam pengertian agung yang disembah di kuil megah. Ia lebih menyerupai roh penjaga, spirit alam yang meresapi setiap partikel air, terumbu karang, dan palung terdalam. Kepercayaan terhadap Kulambai adalah cerminan dari hubungan simbiosis mutualisme antara manusia dan laut. Manusia mengambil hasil laut untuk bertahan hidup, dan sebagai gantinya, mereka harus menjaga adab, menghormati tabu, dan memelihara kelestarian alam sebagai rumah sang Kulambai. Ini adalah sebuah kontrak spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui lisan, melalui kisah-kisah yang dituturkan di atas perahu di bawah temaram bulan, dan melalui ritual-ritual sederhana yang sarat makna.
Asal-Usul dan Wujud Sang Penjaga Lautan
Tidak ada kitab suci yang menuliskan secara pasti asal-usul Kulambai. Eksistensinya lahir dari rahim pengamatan, pengalaman, dan imajinasi kolektif masyarakat yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada kemurahan dan amarah laut. Sebagian tetua meyakini Kulambai adalah arwah para leluhur pelaut ulung yang jasadnya telah menyatu dengan samudra. Arwah mereka tidak pergi ke alam baka, melainkan memilih untuk tetap tinggal, menjadi penjaga bagi keturunan mereka, memastikan jala mereka terisi ikan dan perahu mereka tak karam diterjang badai.
Versi lain mengisahkan bahwa Kulambai adalah manifestasi dari jiwa lautan itu sendiri. Ketika alam semesta diciptakan, setiap elemen besar seperti daratan, langit, dan lautan diberi roh penjaga. Kulambai adalah nama yang diberikan manusia untuk menyebut roh penjaga samudra tersebut. Ia ada sebelum manusia pertama berlayar, dan akan tetap ada bahkan jika manusia telah tiada. Ia adalah saksi bisu dari pasang surut peradaban, dari kapal-kapal layar kuno hingga deru mesin kapal modern.
Deskripsi mengenai wujud Kulambai sangat beragam dan seringkali bersifat metaforis. Ia jarang digambarkan dalam bentuk humanoid yang konkret. Sebagian besar menggambarkannya sebagai entitas yang cair dan selalu berubah bentuk, sama seperti air. Kadang ia menjelma sebagai kilau cahaya kehijauan atau kebiruan di permukaan air pada malam hari, yang oleh ilmu pengetahuan modern disebut sebagai bioluminesensi plankton, namun oleh para nelayan tua dianggap sebagai pertanda kehadiran sang penjaga. Di lain waktu, ia bisa muncul dalam bentuk pusaran air yang aneh di laut yang tenang, atau dalam formasi awan yang menyerupai makhluk laut raksasa sebelum badai datang.
"Jangan kau tatap pusaran itu terlalu lama," bisik seorang kakek kepada cucunya di atas perahu lepa-lepa. "Itu mata Kulambai sedang memandang ke atas. Tundukkan pandanganmu, berikan hormat, dan ia akan membiarkan kita lewat."
Bagi mereka yang mengaku pernah 'melihat'-nya dalam mimpi atau saat berada dalam kondisi antara hidup dan mati di tengah lautan, Kulambai sering digambarkan sebagai sosok wanita berambut panjang yang tergerai seperti alga, kulitnya berkilauan seperti sisik ikan, dan matanya memancarkan ketenangan sekaligus kekuatan yang dahsyat. Sosok ini tidak berbicara dengan bahasa manusia, melainkan berkomunikasi melalui perasaan, melalui dentuman ombak yang ritmis, atau melalui bisikan angin yang menerbangkan rambut. Wujud feminin ini merepresentasikan sifat laut sebagai 'ibu' yang memberi kehidupan (ikan, mutiara, jalur transportasi) namun juga bisa murka dan mengambil kembali apa yang telah diberikannya.
Peran Kulambai dalam Kehidupan Masyarakat Bahari
Keyakinan terhadap Kulambai bukan sekadar mitos pengantar tidur. Ia memiliki fungsi sosial dan ekologis yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir. Perannya meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan, dari cara menangkap ikan hingga cara menyelesaikan perselisihan.
Sebagai penjaga keseimbangan, Kulambai diyakini menetapkan hukum-hukum tak tertulis bagi lautan. Hukum ini dikenal sebagai 'pantangan' atau 'larangan laut'. Misalnya, ada area-area tertentu di lautan, seperti terumbu karang yang sangat subur atau muara sungai yang menjadi tempat pemijahan ikan, yang dianggap sebagai 'istana' atau 'taman' milik Kulambai. Di area ini, para nelayan dilarang keras menggunakan bom ikan, racun sianida, atau pukat harimau. Melanggar pantangan ini tidak hanya akan merusak ekosistem, tetapi juga dianggap sebagai tindakan tidak hormat yang akan mengundang kemurkaan Kulambai. Kemurkaannya bisa datang dalam bentuk badai yang tiba-tiba, hasil tangkapan yang nihil selama berbulan-bulan, atau penyakit aneh yang menimpa si pelanggar dan keluarganya.
Dengan demikian, kepercayaan ini secara efektif menjadi instrumen konservasi alam tradisional. Jauh sebelum para ilmuwan modern berbicara tentang zona konservasi laut atau praktik penangkapan ikan berkelanjutan, masyarakat bahari telah mempraktikkannya atas dasar kearifan lokal yang dibingkai dalam narasi spiritual tentang Kulambai. Rasa takut akan kutukan gaib ternyata menjadi pengawas yang lebih efektif daripada peraturan pemerintah yang seringkali sulit ditegakkan di lautan luas.
Selain sebagai penegak hukum alam, Kulambai juga berperan sebagai pemberi berkah dan pelindung. Sebelum melaut, para nelayan seringkali melakukan ritual sederhana. Mereka mungkin menaburkan sedikit beras ke laut, atau memanjatkan doa singkat yang ditujukan kepada Sang Pencipta seraya memohon izin dan perlindungan dari 'penunggu' lautan. Ini adalah bentuk komunikasi, sebuah cara untuk mengatakan, "Kami datang dengan niat baik, hanya untuk mencari nafkah secukupnya, dan kami berjanji tidak akan merusak rumahmu." Ketika mereka mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah, mereka tidak lupa mengucap syukur dan seringkali menyisihkan beberapa ikan terbaik untuk dilepaskan kembali ke laut sebagai persembahan terima kasih kepada Kulambai.
Kisah-kisah yang Berlayar Bersama Waktu
Kekuatan sebuah mitos terletak pada kisah-kisah yang menyertainya. Cerita tentang Kulambai terus hidup dan berlayar dari satu generasi ke generasi berikutnya, setiap penutur menambahkan detail dan nuansa baru, menjadikannya selalu relevan. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai pelajaran moral, peringatan, dan juga sumber harapan.
Salah satu kisah yang paling sering dituturkan adalah tentang seorang nelayan bernama La Tonda. Ia adalah seorang pemuda yang sombong dan serakah. Ia selalu ingin menangkap ikan lebih banyak dari yang lain, bahkan ketika jaringnya sudah penuh. Suatu hari, ia berlayar ke sebuah teluk terlarang yang dikenal sebagai 'Buaian Kulambai', tempat yang diyakini sebagai tempat sang roh menidurkan anak-anaknya. Para tetua sudah memperingatkannya, namun La Tonda hanya tertawa. Di teluk itu, ia melihat ikan-ikan besar berenang dengan jinak. Dengan mata berbinar karena keserakahan, ia menebar jalanya berkali-kali hingga perahunya nyaris tenggelam karena beban muatan.
Saat hendak pulang, perahunya tidak bisa bergerak. Dayungnya terasa berat seolah mengaduk beton. Langit yang tadinya cerah mendadak gelap dan ombak mulai menggunung. Di tengah kepanikan, La Tonda melihat air di sekeliling perahunya bergolak dan membentuk wajah raksasa yang menatapnya dengan marah. Ia tahu itu adalah Kulambai. Dengan gemetar, ia mulai melemparkan ikan-ikan hasil tangkapannya kembali ke laut, satu per satu, sambil memohon ampun. Hanya ketika perahunya kembali kosong seperti saat ia datang, barulah ombak mereda dan perahunya bisa bergerak kembali. La Tonda kembali ke desa tanpa membawa apa-apa selain pelajaran berharga tentang rasa cukup dan hormat terhadap alam. Sejak hari itu, ia menjadi nelayan yang paling bijaksana dan paling menghormati pantangan laut.
Namun, ada pula kisah yang menunjukkan sisi pengasih dari Kulambai. Cerita tentang sepasang suami istri yang miskin dan sudah tua, yang perahunya bocor di tengah laut saat badai datang. Mereka sudah pasrah akan nasib, berpegangan tangan sambil berdoa. Tiba-tiba, mereka merasakan perahu mereka didorong oleh kekuatan yang tak terlihat. Seekor lumba-lumba besar, yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, berenang di sisi perahu mereka, seolah menuntun jalan. Lumba-lumba itu membawa mereka ke sebuah pulau kecil yang aman hingga badai reda. Keesokan paginya, saat mereka terbangun, lumba-lumba itu sudah tiada, namun di pantai terdampar kayu-kayu terbaik untuk memperbaiki perahu mereka. Mereka percaya lumba-lumba itu adalah jelmaan Kulambai yang dikirim untuk menolong orang-orang yang berhati tulus dan tidak pernah serakah.
Pantangan dan Ritual untuk Menjaga Harmoni
Untuk menjaga hubungan baik dengan Kulambai, masyarakat bahari mematuhi serangkaian pantangan yang kompleks. Pantangan ini bukan hanya soal penangkapan ikan, tetapi juga tentang perilaku dan ucapan saat berada di laut. Lautan dianggap sebagai tempat yang suci dan sakral, sehingga perilaku di atasnya harus mencerminkan kesucian tersebut.
- Larangan Berkata Kasar dan Sombong: Dipercaya bahwa lautan memiliki telinga. Berteriak, mengumpat, atau menyombongkan diri tentang kehebatan sebagai pelaut dianggap sebagai penghinaan terhadap kekuatan Kulambai. Mereka yang melanggarnya konon akan 'ditegur' dengan ombak besar atau cuaca buruk yang tiba-tiba.
- Larangan Membuang Sampah Sembarangan: Membuang sisa makanan atau sampah ke laut dianggap mengotori rumah Kulambai. Segala sesuatu yang tidak berasal dari laut harus dibawa kembali ke daratan. Ini adalah praktik kebersihan yang memiliki landasan spiritual yang kuat.
- Menghormati Makhluk Laut: Membunuh hewan laut tanpa tujuan untuk dimakan, seperti bermain-main dengan penyu atau lumba-lumba, adalah tabu besar. Hewan-hewan tertentu, terutama yang berukuran sangat besar atau memiliki penampilan aneh, sering dianggap sebagai 'peliharaan' atau utusan Kulambai dan harus dihormati.
- Waktu-waktu Terlarang: Ada waktu-waktu tertentu, seperti saat bulan purnama atau pada hari-hari tertentu dalam penanggalan tradisional, di mana beberapa area laut menjadi terlarang untuk dimasuki. Diyakini pada saat-saat itulah Kulambai sedang mengadakan 'upacara' atau sedang beristirahat, dan tidak boleh diganggu.
Selain pantangan, ada juga ritual-ritual yang dilakukan. Salah satu yang paling penting adalah upacara 'turun perahu baru'. Ketika sebuah perahu selesai dibuat, ia tidak bisa langsung digunakan. Harus ada upacara pemberkatan yang dipimpin oleh tetua adat. Upacara ini melibatkan doa-doa, percikan air suci, dan kadang-kadang pengorbanan seekor ayam sebagai simbol persembahan. Tujuannya adalah untuk 'memperkenalkan' perahu baru tersebut kepada Kulambai, memohon agar perahu itu diterima dan dilindungi dalam setiap pelayarannya.
Kulambai di Era Modernitas
Di tengah derasnya arus modernisasi, gempuran teknologi, dan perubahan cara pandang dunia, eksistensi kepercayaan seperti Kulambai menghadapi tantangan besar. GPS telah menggantikan rasi bintang sebagai penunjuk arah. Sonar pendeteksi ikan telah mengurangi unsur ketidakpastian dalam mencari nafkah. Ajaran agama formal juga semakin mengikis kepercayaan-kepercayaan animistis dan dinamistis yang dianggap kuno.
Banyak generasi muda yang kini lebih percaya pada data satelit cuaca daripada pertanda awan, lebih takut pada polisi perairan daripada kemurkaan Kulambai. Kisah-kisah yang dulu menjadi pengikat komunal kini mungkin hanya dianggap sebagai dongeng anak-anak. Namun, apakah ini berarti Kulambai akan benar-benar lenyap, tenggelam dalam lautan zaman?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Meskipun bentuk kepercayaan mungkin berubah, esensinya seringkali bertahan dalam wujud yang berbeda. Semangat Kulambai, yaitu semangat untuk menjaga harmoni dengan alam, kini menemukan relevansinya kembali dalam bahasa yang lebih modern: ekologi, keberlanjutan, dan konservasi. Pantangan untuk tidak menggunakan bom ikan kini didukung oleh hukum negara. Larangan membuang sampah ke laut digaungkan oleh para aktivis lingkungan di seluruh dunia. Konsep 'zona terlarang' kini diadopsi dalam bentuk taman nasional laut dan kawasan perlindungan biota laut.
Kulambai mungkin tidak lagi disebut secara eksplisit dalam setiap perbincangan, tetapi jiwanya tetap hidup. Ia hidup dalam kesadaran bahwa lautan memiliki batas daya dukung. Ia hidup dalam upaya para pegiat lingkungan untuk melindungi terumbu karang. Ia hidup dalam kearifan nelayan tradisional yang masih memilih untuk menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. Kulambai telah bertransformasi dari sekadar sosok roh gaib menjadi sebuah simbol filosofis: sebuah pengingat abadi bahwa manusia bukanlah penguasa alam, melainkan hanya bagian kecil dari sebuah jaring kehidupan yang agung dan saling terhubung.
Di beberapa komunitas yang masih memegang teguh adat, Kulambai tetaplah nyata. Ia masih menjadi subjek dalam bisikan doa sebelum jala ditebar, dan namanya masih disebut saat ombak bergulung lebih tinggi dari biasanya. Bagi mereka, Kulambai adalah bukti bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari teknologi, ada kearifan yang lebih dalam dari sekadar ilmu pengetahuan. Ia adalah jiwa bahari itu sendiri, sebuah warisan tak ternilai yang mengajarkan bahwa untuk bisa hidup dari lautan, kita pertama-tama harus belajar untuk hidup bersamanya. Dalam setiap riak air yang memecah di bibir pantai, dalam setiap napas asin angin samudra, gema dari sang penjaga lautan, Kulambai, akan terus berbisik.