Di tengah hiruk pikuk modernitas yang sering kali mengedepankan fragmentasi dan kecepatan, terdapat sebuah konsep filosofis kuno dari khazanah Nusantara yang menawarkan peta jalan menuju integrasi sejati. Konsep ini, yang kita sebut sebagai Majati, bukanlah sekadar kata, melainkan kristalisasi pemahaman mendalam tentang hubungan timbal balik antara manusia, alam, dan spiritualitas. Filosofi Majati mengajarkan bahwa keberadaan sejati (Jati) hanya dapat dicapai melalui proses penyelarasan dan penempatan yang tepat (Ma), menghasilkan harmoni yang lestari.
Majati mewakili inti dari kearifan lokal yang tersebar di kepulauan ini—sebuah kearifan yang menolak dikotomi dan sebaliknya merangkul dualitas yang saling melengkapi. Dalam pandangan Majati, tidak ada yang berdiri sendiri; semua elemen—dari pohon tertinggi hingga batu terkecil, dari pemimpin desa hingga rakyat jelata—terikat dalam jalinan kosmis yang rapuh namun abadi. Kehilangan pemahaman atas prinsip Majati berarti kehilangan jangkar spiritual dan sosial yang membuat masyarakat Nusantara bertahan melalui berbagai perubahan zaman.
Eksplorasi terhadap Majati membawa kita melintasi berbagai disiplin ilmu: dari kosmologi tradisional yang menentukan tata ruang permukiman, hingga etika sosial yang membentuk sistem gotong royong yang adil. Di setiap aspek kehidupan, benang merah Majati selalu hadir, menuntut kesadaran akan tanggung jawab kolektif dan penghormatan absolut terhadap sumber kehidupan. Ini adalah perjalanan untuk memahami bagaimana leluhur kita berhasil membangun peradaban yang berakar kuat, menolak keserakahan, dan mengutamakan keberlangsungan.
Meskipun istilah Majati mungkin terdengar baru dalam diskursus modern, akar katanya sangat tua dan mendalam dalam bahasa-bahasa Austronesia. Untuk memahami esensi Majati, kita perlu membedah dua elemen pembentuknya: 'Ma' dan 'Jati'.
Prefiks 'Ma-' seringkali menunjukkan keadaan, tempat, atau proses yang sedang berlangsung. Dalam konteks Majati, 'Ma' tidak hanya berarti 'di mana', tetapi juga 'bagaimana sesuatu ditempatkan dengan benar' atau 'proses penyelarasan'. Ini merujuk pada prinsip tata krama (etika penempatan diri), tata ruang (arsitektur yang selaras), dan tata waktu (siklus ritual dan pertanian). 'Ma' adalah manifestasi fisik dari niat yang murni.
Kata 'Jati' secara harfiah berarti 'asli', 'sejati', atau 'inti'. Ia melambangkan kebenaran yang tidak dapat disangkal, identitas murni, atau kualitas bawaan yang fundamental. Dalam spiritualitas Nusantara, pencarian 'Jati Diri' adalah perjalanan seumur hidup untuk menemukan inti kemanusiaan yang terhubung langsung dengan Sang Pencipta dan alam semesta. Majati, oleh karena itu, dapat diartikan sebagai:
“Pencapaian keadaan di mana esensi sejati (Jati) terwujud dan berfungsi pada tempat, waktu, dan cara yang paling tepat (Ma), menghasilkan keseimbangan yang sempurna.”
Inilah yang membedakan Majati dari konsep harmoni biasa. Majati menuntut tidak hanya ketenangan, tetapi juga keotentikan. Sebuah tindakan atau struktur yang tidak sejati (tidak mencerminkan kebenasan atau moral yang murni) tidak akan pernah mencapai kondisi Majati, meskipun tampak teratur di permukaan.
Visualisasi sederhana dari prinsip Majati: Jati (Inti) ditempatkan secara seimbang (Ma) dalam wadah dualitas (segitiga).
Bagi masyarakat tradisional, alam bukan hanya latar belakang kehidupan, melainkan guru utama. Prinsip Majati terwujud paling nyata dalam cara mereka berinteraksi dengan lingkungan. Hubungan ini dikenal sebagai tripartit kosmis: *Gunung, Daratan, dan Laut* atau *Bumi, Air, dan Langit*.
Kosmologi Majati memandang bahwa alam semesta dibagi menjadi tiga dunia yang saling mempengaruhi, di mana manusia berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan ketiganya. Jika salah satu elemen terganggu, kondisi Majati akan runtuh, membawa bencana alam atau sosial.
Buana Luhur mencakup langit, spiritualitas, dan sumber energi murni. Dalam konsep Majati, penghormatan terhadap Buana Luhur dilakukan melalui ritual, doa, dan penempatan bangunan suci di lokasi tertinggi. Ini memastikan bahwa energi positif turun dan memelihara kehidupan di bumi. Kegagalan mencapai Majati di level ini (misalnya, melupakan tradisi atau nilai spiritual) menyebabkan kekosongan moral.
Buana Tengah adalah tempat manusia hidup, berinteraksi, dan bertani. Ini adalah ranah yang paling menuntut praktik Majati, karena manusia harus menyeimbangkan kebutuhan fisik dengan tuntutan spiritual. Praktik pertanian berkelanjutan (seperti sistem *Subak* di Bali atau sistem ladang berpindah yang bijaksana) adalah contoh konkret penerapan Majati. Manusia tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan, memastikan siklus alam tetap utuh.
Dalam pengelolaan sumber daya, prinsip Majati menghasilkan sistem *Hutan Larangan* atau *Tanah Adat* yang tidak boleh dieksploitasi secara berlebihan. Tanah ini adalah cerminan dari Jati (esensi kehidupan) yang harus dilindungi oleh Ma (tindakan yang tepat).
Buana Sor mencakup perut bumi, air, dan leluhur. Penghormatan terhadap Buana Sor memastikan kesuburan tanah dan keseimbangan air. Dalam pandangan Majati, mengotori air atau merusak tanah adalah tindakan yang paling tidak sejati, karena merusak fondasi keberadaan. Ritual tolak bala sering kali ditujukan untuk menyeimbangkan energi di Buana Sor, memastikan bahwa kekuatan destruktif tetap terkendali.
Filosofi Majati secara tegas menolak pendekatan ekstraktif. Ia mempromosikan ekologi simbiotik. Contoh paling jelas terlihat dalam pemanfaatan pohon. Kayu jati (yang namanya sendiri memiliki kaitan erat dengan 'Jati', melambangkan kualitas sejati dan kekuatan) tidak ditebang sembarangan. Proses penanaman kembali dan pemeliharaan hutan dilakukan berdasarkan kalender adat yang spesifik, memastikan bahwa hutan—sebagai manifestasi fisik Majati—tetap berfungsi sebagai paru-paru kehidupan.
Selain itu, sistem penangkapan ikan tradisional, seperti *sasi* di Maluku, merupakan perwujudan praktis Majati. Periode larangan penangkapan ikan atau hasil laut lainnya memastikan pemulihan populasi. Ini adalah tindakan *Ma* (penempatan batasan yang tepat) untuk menjaga *Jati* (esensi ekosistem laut) agar tetap lestari bagi generasi mendatang. Kegagalan menghormati sasi dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap prinsip Majati, karena mengancam fondasi kehidupan bersama.
Ketika manusia bertindak tanpa menghiraukan prinsip Majati—misalnya, dengan membuka lahan secara membabi buta, mencemari sungai, atau memaksakan tanaman yang tidak cocok dengan karakter tanah—maka terjadi ketidakseimbangan (anti-Majati). Leluhur percaya bahwa ketidakseimbangan ini tidak hanya menyebabkan bencana fisik (banjir, kekeringan), tetapi juga penyakit sosial dan spiritual (konflik, kemiskinan moral). Pemulihan Majati selalu dimulai dengan ritual rekonsiliasi dengan alam, diikuti dengan perbaikan praktik hidup.
Kajian mendalam tentang Majati memperlihatkan bahwa kearifan ini sangat relevan dalam menghadapi krisis iklim global saat ini. Model pembangunan yang berlandaskan Majati adalah model yang berkelanjutan, memandang alam sebagai mitra, bukan sebagai sumber daya tak terbatas untuk dieksploitasi.
Salah satu arena di mana prinsip Majati diukir secara permanen adalah dalam arsitektur dan tata ruang permukiman. Rumah tradisional (misalnya rumah adat Jawa, Batak, atau Toraja) bukanlah sekadar tempat berlindung fisik; ia adalah miniatur kosmos, cerminan hubungan manusia dengan alam semesta, dan wujud fisik dari Majati.
Setiap rumah yang dibangun berdasarkan prinsip Majati harus memiliki orientasi yang tepat (Ma). Orientasi ini sering kali ditentukan oleh sumbu spiritual dan alamiah: Gunung-Laut (Kaja-Kelod di Bali) atau Timur-Barat (Matahari terbit dan terbenam). Rumah yang 'salah arah' dianggap kehilangan Jati-nya, dan penghuninya akan hidup dalam ketidakberuntungan.
Rumah, sebagai representasi Buana Tengah, dibagi lagi menjadi tiga bagian, mereplikasi struktur kosmis Buana Luhur, Tengah, dan Sor:
Penerapan tripartit ini memastikan bahwa seluruh struktur rumah mencapai kondisi Majati—terintegrasi secara vertikal (langit dan bumi) dan horizontal (komunitas dan alam).
Kualitas material yang digunakan harus 'Jati'—asli, kuat, dan didapatkan melalui proses yang menghormati alam. Pemilihan kayu, misalnya, bukan hanya didasarkan pada kekuatan fisik, tetapi juga pada makna spiritualnya. Penebangan pohon untuk rumah Majati selalu diawali dengan ritual meminta izin kepada roh penjaga hutan, memastikan bahwa tindakan Ma didasarkan pada niat yang Jati.
Dalam banyak arsitektur Jawa dan Melayu, empat tiang utama (*Soko Guru*) adalah jantung rumah. Tiang ini menopang seluruh Jati (esensi) bangunan. Prinsip Majati mensyaratkan bahwa tiang ini harus terbuat dari kayu terbaik, dipasang pertama kali dengan upacara khusus, dan tidak boleh diganti atau dipindahkan. Soko Guru adalah poros dunia mini di dalam rumah, mencontohkan bagaimana kekuatan spiritual harus ditempatkan dengan tepat (Ma) agar dapat menahan seluruh beban kehidupan.
Konsep Majati tidak hanya berlaku untuk satu rumah, tetapi juga untuk tata letak keseluruhan desa. Desa-desa tradisional sering kali dirancang dalam pola lingkaran, persegi, atau memanjang mengikuti aliran air, namun selalu berpusat pada titik Jati desa—biasanya balai pertemuan adat atau tempat ibadah. Seluruh tata ruang mencerminkan hierarki dan keseimbangan sosial.
Zona inti desa (alun-alun, pasar, tempat ibadah) harus mencerminkan Buana Tengah, dikelilingi oleh area pertanian (Buana Sor) dan dibatasi oleh hutan atau gunung (Buana Luhur). Sistem ini memastikan bahwa semua aktivitas ekonomi, sosial, dan spiritual ditempatkan pada 'Ma' yang benar, sehingga Jati komunitas dapat berkembang.
Bila desa melanggar Majati (misalnya, jika pemukiman meluas hingga merusak area suci atau jika pasar diletakkan di area pemakaman), maka diyakini terjadi perpecahan dan bencana sosial. Tata ruang adalah etika yang dipadatkan menjadi bentuk fisik.
Majati dalam arsitektur modern menantang kita untuk tidak hanya membangun struktur yang efisien secara energi, tetapi juga struktur yang kaya makna dan terintegrasi dengan konteks lingkungan dan sosialnya. Rumah Majati adalah rumah yang 'bernyawa' dan 'berakar'.
Penting untuk dicatat bahwa praktik Majati meluas hingga ke detail terkecil dalam konstruksi. Misalnya, proses pengeringan kayu. Kayu yang digunakan harus melalui proses alami, diangin-anginkan sesuai siklus bulan, bukan dikeringkan secara artifisial. Ini memastikan bahwa material tersebut mencapai keaslian Jati-nya, sehingga ia dapat menyatu dengan struktur Ma secara harmonis. Menggunakan bahan instan yang tidak melalui proses alami dianggap sebagai pelanggaran Jati karena ia tidak memiliki 'memori' alam.
Dalam arsitektur Majati, pintu dan jendela memiliki dimensi spiritual yang krusial. Pintu utama, misalnya, seringkali tidak boleh sejajar langsung dengan pintu belakang, untuk mencegah energi baik ('rejeki' atau Jati) keluar begitu saja. Penempatan (Ma) pintu dan jendela juga disesuaikan dengan arah angin dan cahaya matahari, memaksimalkan ventilasi alami dan meminimalkan ketergantungan pada energi buatan. Ini adalah harmoni praktis yang lahir dari filosofi. Ukuran pintu juga sering kali dihitung berdasarkan perhitungan adat (*petungan*) yang memastikan dimensi tersebut selaras dengan nasib penghuni. Dimensi yang tepat adalah kunci mencapai kondisi Majati dalam skala mikro.
Dekorasi dan ukiran pada rumah Majati tidak bersifat kosmetik, melainkan simbolik. Ukiran naga, burung, atau tumbuh-tumbuhan mewakili koneksi dengan alam (Jati) dan berfungsi sebagai pelindung atau penyeimbang energi (Ma). Warna yang digunakan juga spesifik, seringkali berasal dari pigmen alami, menjamin keaslian (Jati) material. Pemilihan warna yang tepat (Ma) dapat menenangkan pikiran dan memperkuat hubungan spiritual keluarga.
Jika Majati dalam alam adalah keseimbangan ekologis, maka Majati dalam masyarakat adalah keseimbangan sosial. Ini diwujudkan melalui sistem nilai yang menekankan gotong royong, musyawarah, dan penempatan peran yang adil.
Pemimpin yang ideal dalam pandangan Majati adalah seorang yang mampu mewujudkan 'Jati Diri' yang sejati, yaitu integritas, kejujuran, dan kebijaksanaan. Namun, kualitas Jati ini harus ditempatkan pada posisi yang tepat (Ma). Pemimpin harus mengerti batas-batas kekuasaannya, berinteraksi langsung dengan rakyat, dan tidak memerintah secara sewenang-wenang.
Prinsip Majati melahirkan konsep 'Kepemimpinan Melayani'. Seorang pemimpin (*Raja* atau *Kepala Adat*) adalah bayangan dari Buana Luhur, yang tugasnya adalah memastikan Buana Tengah (masyarakat) hidup dalam harmoni. Ketika pemimpin gagal menunjukkan Jati-nya (korup, sombong), maka seluruh Ma (tata kelola) akan rusak, dan masyarakat akan mengalami penderitaan. Sistem *Dewan Adat* atau *Musyawarah* adalah mekanisme untuk memastikan pemimpin tetap berada dalam jalur Majati.
Gotong royong adalah manifestasi sosial paling murni dari Majati. Dalam gotong royong, setiap individu menempatkan dirinya (Ma) sesuai dengan kemampuan sejatinya (Jati). Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia atau rendah; semua kontribusi adalah penting. Seseorang yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan yang tua memberikan nasihat. Ini adalah sistem yang menolak individualisme ekstrem dan menekankan bahwa Jati diri hanya dapat ditemukan dalam konteks komunitas yang seimbang.
Ketika membangun rumah atau mengolah ladang, komunitas bertindak sebagai satu kesatuan organik. Kegagalan berpartisipasi dalam gotong royong dianggap sebagai pelanggaran terhadap Majati, karena merusak fondasi Ma (keseimbangan sosial) yang menopang Jati (eksistensi kolektif).
Hukum adat yang berlandaskan Majati berfokus pada pemulihan keseimbangan (rekonsiliasi), bukan sekadar penghukuman. Jika terjadi konflik, tujuannya adalah mengembalikan keadaan pada kondisi Jati (kebenaran dan harmoni) melalui proses Ma (musyawarah yang adil). Sanksi atau denda seringkali berbentuk kewajiban untuk memperbaiki kerusakan alam atau sosial yang ditimbulkan, menegaskan kembali hubungan pelaku dengan komunitas dan lingkungannya.
Contohnya, jika seseorang mencuri, hukuman Majati mungkin melibatkan kewajiban menanam sejumlah pohon di hutan adat, sehingga ia tidak hanya memperbaiki kesalahannya pada individu, tetapi juga pada ekosistem (alam sebagai Jati yang harus dijaga). Ini adalah sistem keadilan restoratif yang sangat maju.
Konsep Majati sangat menekankan pentingnya peran generasi. Generasi tua berperan sebagai pemegang Jati—penjaga kearifan, tradisi, dan nilai-nilai inti. Generasi muda berperan dalam Ma—melaksanakan perubahan dan adaptasi sesuai kebutuhan zaman, tetapi tetap berpegangan pada Jati yang diajarkan. Jika generasi muda melepaskan Jati, adaptasi mereka menjadi tanpa arah. Jika generasi tua menolak Ma, tradisi menjadi kaku dan mati. Majati memastikan aliran pengetahuan dan praktik yang sehat, menjamin kontinuitas peradaban.
Dalam ritual adat, penempatan posisi duduk atau peran dalam upacara selalu mengikuti prinsip Majati: yang tertua di tempat yang suci (Ma), yang muda bertugas di lini depan (Ma), dan semua harus berhati Jati (tulus dan murni niatnya).
Seni Nusantara adalah sarana transmisi filosofi. Dalam tekstil, musik, dan tari, Majati terungkap melalui pola, ritme, dan gerak yang harmonis dan penuh makna. Seni adalah bahasa Jati yang diekspresikan melalui medium Ma.
Motif-motif batik klasik seringkali menggambarkan konsep Majati. Misalnya, motif Parang Rusak atau Kawung. Motif ini bukan sekadar gambar, melainkan representasi dari keteraturan kosmis yang tidak boleh terputus. Garis-garis diagonal pada motif Parang melambangkan arus energi yang dinamis (Ma), sementara pola yang berulang dan simetris mencerminkan kebenaran abadi (Jati).
Pembuatan batik adalah proses Majati itu sendiri. Pewarnaan harus dilakukan pada waktu yang tepat (Ma), menggunakan bahan-bahan alami yang asli (Jati). Pengrajin harus memiliki kesabaran dan ketenangan batin agar motif yang dihasilkan benar-benar 'hidup' dan mengandung energi Jati. Kegagalan dalam proses ini menghasilkan kain yang dianggap 'kosong' atau tidak mengandung berkah.
Penggunaan pewarna alami (dari akar, daun, atau lumpur) adalah inti dari Jati dalam tekstil. Pewarna ini diyakini memiliki vibrasi alam yang lebih tinggi dibandingkan pewarna kimia. Proses pencelupan yang lama dan berulang-ulang adalah bagian dari ritual Ma, memastikan warna terserap sempurna dan menjadi satu dengan kain. Kain Majati, dengan demikian, bukan hanya pakaian, tetapi juga simbol status spiritual dan koneksi dengan lingkungan.
Gamelan adalah orkestra yang paling sempurna mencerminkan prinsip Majati. Ia adalah harmoni yang lahir dari heterogenitas. Setiap instrumen—gong, kendang, saron—memainkan peran spesifiknya (Ma). Kendang memimpin ritme, gong menetapkan batas waktu (Jati), dan instrumen melodi mengisi ruang. Keselarasan hanya tercipta jika semua instrumen menempatkan diri mereka dengan benar.
Musik Majati tidak bertujuan pada dominasi satu suara, melainkan pada integrasi semua suara menjadi satu resonansi. Tuning gamelan, yang seringkali berbeda dengan skala Barat, bertujuan menciptakan nuansa 'getaran' yang menenangkan jiwa, membawa pendengar kembali ke kondisi Jati yang tenang dan seimbang.
Tarian tradisional Nusantara (seperti tari Bedhaya atau Srimpi) didominasi oleh gerakan yang lambat, terkendali, dan repetitif. Gerakan ini adalah meditasi dalam aksi, di mana setiap posisi tubuh adalah penempatan yang disengaja (Ma) untuk mengungkapkan esensi (Jati) dari cerita atau ritual. Kecepatan dan agresivitas, kecuali diperlukan oleh narasi perang, dihindari karena dianggap melanggar ketenangan Majati. Tarian Majati adalah visualisasi dari keseimbangan yang elegan.
Wayang kulit adalah sarana filosofis yang luar biasa. Setiap tokoh (Pandawa, Kurawa, Punakawan) memiliki karakternya yang Jati (asli). Konflik terjadi ketika seseorang gagal menempatkan diri (Ma) sesuai dengan Jati-nya. Dalang, sebagai narator dan manipulator wayang, adalah figur Ma yang bijaksana, yang tugasnya membimbing cerita menuju rekonsiliasi dan kembalinya keseimbangan kosmis (Majati).
Simbol keteraturan simetris dan dinamis dalam seni, mewujudkan harmoni Majati.
Pada tingkat spiritual, Majati adalah pencarian jati diri yang sejati. Ini adalah perjalanan batin untuk menghilangkan ilusi dan menemukan inti murni yang terhubung dengan Ilahi (Jati), dan kemudian menempatkan inti tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Ma).
Jalan menuju Majati adalah melalui kesadaran (*sadar*) dan selalu ingat (*eling*). *Eling* berarti selalu ingat pada asal-usul, tugas, dan tujuan hidup. *Sadar* berarti hadir sepenuhnya di momen ini. Tanpa *eling* dan *sadar*, tindakan (Ma) akan menjadi hampa, dan Jati diri akan tersesat dalam nafsu duniawi.
Praktik meditasi (*semedi*) atau menahan diri (*tapa*) adalah metode untuk mencapai Majati. Dalam tapa, individu secara sukarela menempatkan dirinya (Ma) dalam kondisi sulit atau terisolasi, memaksa pikiran untuk menemukan esensi sejati (Jati) tanpa gangguan materi. Ini adalah disiplin diri yang bertujuan untuk menyelaraskan kehendak pribadi dengan kehendak kosmis.
Spiritualitas Majati sangat menekankan peran leluhur. Leluhur adalah cerminan Jati masa lalu yang telah berhasil mencapai harmoni. Ritual penghormatan leluhur (Ma) dilakukan untuk memastikan bahwa kebijaksanaan dan berkah mereka terus mengalir, memelihara Jati komunitas. Menghormati leluhur berarti menghormati fondasi etika dan moral yang telah dibangun, mencegah penyimpangan sosial.
Filosofi Majati mengajarkan bahwa manusia adalah mikrokosmos dari makrokosmos. Untuk mencapai keseimbangan luar (Ma), seseorang harus terlebih dahulu mencapai keseimbangan dalam (Jati). Ini adalah pesan utama dari banyak ajaran kejawen dan adat tradisional lainnya.
Prinsip Majati menuntut bahwa kekayaan material tidak boleh menjadi tujuan akhir. Kekayaan hanyalah alat (Ma) untuk melayani tujuan yang lebih besar, yaitu pemeliharaan Jati Diri, keluarga, dan komunitas. Pengejaran kekayaan tanpa moralitas merusak Jati dan menyebabkan ketidakseimbangan sosial yang parah.
Setiap tahap kehidupan—kelahiran, kedewasaan, pernikahan, dan kematian—disertai dengan ritual (Ma) yang dirancang untuk memastikan individu selaras dengan Jati-nya. Ritual kelahiran, misalnya, bertujuan menempatkan bayi (Jati yang baru) dalam lingkungan sosial dan spiritual yang tepat (Ma). Ritual kematian adalah pelepasan Jati kembali ke sumbernya, setelah perjalanannya di Buana Tengah selesai.
Di tengah tantangan global seperti individualisme, konsumerisme, dan kerusakan lingkungan, filosofi Majati menawarkan solusi kearifan yang tak lekang oleh waktu. Integrasi Jati dan Ma sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan modern.
Pembangunan modern seringkali bersifat 'anti-Majati' karena mengedepankan eksploitasi cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Penerapan Majati menuntut agar setiap proyek pembangunan harus memiliki integritas Jati (moral dan ekologis) dan ditempatkan secara tepat (Ma) sesuai dengan daya dukung lingkungan dan kebutuhan komunitas lokal. Ini berarti beralih dari proyek raksasa yang merusak ke model ekonomi sirkular yang terintegrasi.
Krisis mental dan spiritual yang melanda masyarakat modern seringkali berakar pada hilangnya Jati Diri. Orang-orang merasa hampa karena mereka tidak tahu di mana mereka harus menempatkan diri (Ma) dan apa tujuan hidup sejati mereka (Jati). Filosofi Majati mendorong introspeksi dan penemuan kembali nilai-nilai inti yang dapat memberikan makna dan kedamaian batin.
Kemampuan untuk menempatkan diri (Ma) secara sadar dalam komunitas, bekerja untuk kebaikan bersama, dan menghormati siklus alam adalah langkah praktis untuk mengembalikan keseimbangan Majati dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks keragaman Nusantara, Majati dapat menjadi prinsip pemersatu. Meskipun setiap suku memiliki bentuk Ma (cara dan praktik) yang berbeda, semua sepakat pada Jati (nilai-nilai dasar: hormat, keadilan, keseimbangan). Prinsip ini memungkinkan dialog antarbudaya yang sehat, di mana perbedaan dihargai sebagai variasi dari kebenaran yang sama.
Penerapan Majati dalam pendidikan akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakar kuat secara moral dan etika, siap menjadi 'Ma' yang tepat bagi 'Jati' bangsa.
Dalam ekonomi, Majati menuntut adanya keadilan distribusi dan keberlanjutan. Sebuah bisnis yang berlandaskan Majati akan memastikan bahwa keuntungan (Ma) tidak diperoleh dengan merusak nilai Jati (lingkungan, kesejahteraan pekerja, atau moral). Bisnis harus beroperasi dalam harmoni dengan komunitas, bukan hanya untuk memaksimalkan keuntungan pemegang saham.
Konsep *koperasi* tradisional, di mana kepemilikan dan manfaat dibagi secara merata, adalah contoh dari sistem ekonomi Majati. Kekayaan yang dihasilkan harus disalurkan kembali untuk memperkuat Ma dan Jati komunitas.
Filosofi Majati adalah panggilan untuk kembali pada kesadaran mendalam akan keterhubungan kita dengan segala sesuatu. Ini adalah pengingat bahwa keindahan sejati (Jati) hanya dapat terwujud melalui penempatan dan tindakan yang bertanggung jawab (Ma).
Memahami Majati berarti menerima bahwa hidup adalah tindakan penyelarasan yang berkelanjutan. Ketika kita menempatkan diri kita dengan hormat di tengah-tengah alam, ketika kita membangun komunitas dengan integritas, dan ketika kita berinteraksi dengan sesama dengan niat yang murni, saat itulah kita telah berhasil mewujudkan harmoni Majati. Warisan ini bukanlah relik masa lalu, melainkan peta spiritual yang dibutuhkan oleh dunia modern untuk menemukan kembali esensi sejati keberadaannya.
Seluruh kekayaan budaya, arsitektur, dan sistem sosial Nusantara adalah bukti konkret dari kekuatan prinsip Majati. Tugas kita saat ini adalah tidak hanya melestarikan artefak fisik, tetapi juga menghidupkan kembali semangat Majati dalam setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil, demi keberlanjutan hidup di bumi pertiwi.
Kesinambungan hidup sejati terletak pada kemampuan kita untuk terus menerus menyeimbangkan antara tindakan yang benar (*Ma*) dan esensi yang murni (*Jati*). Inilah inti dari kebijaksanaan Majati yang tak terbatas, menembus waktu, dan relevan sepanjang masa. Selama manusia masih mencari makna dan keseimbangan, filosofi Majati akan terus menjadi obor penuntun di kegelapan.
Pencarian Jati Diri tidak pernah berakhir. Demikian pula, upaya menempatkan diri secara tepat (*Ma*) harus dilakukan setiap hari. Proses tanpa akhir inilah yang menjamin kehidupan yang penuh makna dan luhur, sesuai dengan cita-cita tertinggi Majati: Harmoni Abadi.