Analisis Mendalam tentang Legitimasi: Sumber, Struktur, dan Hakikat Kekuasaan

Konsep Legitimasi Ilustrasi konsep legitimasi: Keseimbangan antara kekuasaan (diwakili oleh mahkota) dan penerimaan publik (diwakili oleh tangan yang menopang). Penerimaan Sosial Struktur Formal

Ilustrasi konsep legitimasi: Keseimbangan antara kekuasaan dan penerimaan publik.

I. Definisi dan Hakikat Legitimasi (Legitimas)

Legitimasi, atau dalam konteks aslinya sering disebut sebagai legitimas, merupakan konsep fundamental yang menghubungkan kekuasaan dengan moralitas, hukum, dan persetujuan publik. Secara sederhana, legitimasi adalah pengakuan atau penerimaan bahwa suatu kekuasaan, pemerintahan, aturan, atau sistem memiliki hak moral dan hukum untuk memerintah dan mengeluarkan keputusan yang mengikat. Tanpa legitimasi, kekuasaan hanyalah paksaan. Kekuatan fisik bisa menegakkan kepatuhan, tetapi hanya legitimasi yang dapat menghasilkan kepatuhan sukarela dan kestabilan jangka panjang.

Hakikat dari legitimasi ini tidak terletak pada seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, melainkan pada keyakinan kolektif masyarakat bahwa kekuasaan tersebut digunakan dengan benar dan sesuai dengan norma-norma yang diterima bersama. Jika masyarakat secara luas menerima bahwa suatu rezim berhak memerintah, maka rezim tersebut memiliki legitimasi. Penerimaan ini jauh lebih hemat biaya dan jauh lebih efektif daripada mengandalkan aparat militer atau kepolisian semata untuk mempertahankan kendali. Oleh karena itu, semua bentuk sistem politik, dari yang paling otokratis hingga yang paling demokratis, berjuang keras untuk membangun dan mempertahankan klaim atas legitimasi.

Legitimasi berfungsi sebagai fondasi struktural bagi stabilitas sosial dan politik. Ketika legitimasi kuat, sistem politik memiliki buffer (penyangga) terhadap guncangan atau krisis. Namun, ketika legitimasi terkikis, bahkan masalah kecil pun dapat memicu protes massal, ketidakpatuhan sipil, dan pada akhirnya, keruntuhan sistem. Penting untuk dicatat bahwa legitimasi bukanlah kondisi biner; ia tidak hanya ‘ada’ atau ‘tidak ada’. Sebaliknya, legitimasi hadir dalam spektrum, dari legitimasi yang sangat dalam dan tak tergoyahkan hingga legitimasi yang dangkal dan rapuh.

Dimensi utama yang harus dipahami dalam konteks legitimasi adalah bahwa ia bersifat psikologis dan sosiologis. Kekuasaan itu sendiri mungkin legal—dibentuk sesuai dengan hukum yang berlaku—tetapi belum tentu legitimate. Legitimasi menuntut lebih dari sekadar legalitas formal; ia menuntut pengakuan emosional dan moral dari mereka yang diperintah. Proses perolehan, pemeliharaan, dan penyebaran legitimasi inilah yang menjadi inti dari kajian ilmu politik dan tata negara modern, karena tanpanya, sistem politik manapun akan berada dalam keadaan ketidakpastian yang permanen dan rentan terhadap gangguan yang fundamental.

II. Tiga Sumber Legitimasi Menurut Max Weber

Sosiolog klasik, Max Weber, memberikan kerangka kerja yang paling berpengaruh dalam memahami sumber-sumber legitimasi. Weber mengidentifikasi tiga tipe ideal otoritas (yang merupakan manifestasi kekuasaan yang legitimate) berdasarkan alasan mengapa individu percaya bahwa mereka harus mematuhi: otoritas tradisional, otoritas karismatik, dan otoritas rasional-legal. Analisis Weber ini tetap relevan karena ia memetakan spektrum alasan manusia menerima kepemimpinan, melintasi batas-batas sejarah dan budaya.

A. Legitimasi Tradisional

Legitimasi tradisional berakar pada adat istiadat, kebiasaan, dan sejarah yang panjang. Kekuasaan dianggap sah karena "selalu demikian." Kepatuhan didasarkan pada kesakralan tradisi masa lalu dan keyakinan bahwa pemimpin (seperti raja, kepala suku, atau patriark) mewarisi hak untuk memerintah. Hakikat dari legitimasi tradisional adalah kontinuitas dan kepastian historis. Pemerintahan yang bersandar pada tradisi cenderung stabil dan resisten terhadap perubahan cepat, tetapi juga rentan terhadap stagnasi dan kegagalan beradaptasi dengan tantangan modern.

Dalam legitimasi tradisional, aturan dan norma tidak diuji secara kritis; mereka diterima karena warisan dan kebiasaan. Contoh klasik meliputi sistem monarki turun-temurun, di mana hak penguasa ditetapkan oleh garis keturunan yang dihormati. Bahkan dalam masyarakat modern, elemen tradisional tetap ada, misalnya dalam penghormatan terhadap institusi-institusi kuno atau simbol-simbol negara yang sudah mapan. Namun, legitimasi tradisional sering menghadapi erosi hebat di era globalisasi dan rasionalitas, karena masyarakat mulai mempertanyakan dasar-dasar historis yang tidak memiliki landasan rasional yang eksplisit.

B. Legitimasi Karismatik

Legitimasi karismatik didasarkan pada kualitas pribadi yang luar biasa atau "karisma" yang dimiliki oleh pemimpin. Karisma dianggap sebagai anugerah ilahi atau kemampuan heroik yang membedakan pemimpin tersebut dari orang biasa. Pengikut mematuhi bukan karena aturan atau tradisi, tetapi karena keyakinan emosional, pengabdian, dan rasa terinspirasi oleh sosok pemimpin tersebut. Legitimasi ini bersifat revolusioner, sering muncul pada saat krisis atau transisi, menawarkan visi baru dan radikal.

Namun, legitimasi karismatik sangat tidak stabil. Karena terikat erat pada individu pemimpin, ia menghadapi masalah suksesi yang parah—apa yang terjadi setelah pemimpin karismatik itu meninggal atau gagal? Weber menyebut proses ini sebagai "rutinisasi karisma," di mana sistem harus menemukan cara untuk mengubah energi pribadi menjadi struktur kelembagaan (tradisional atau rasional-legal) agar dapat bertahan. Jika rutinisasi gagal, sistem yang dibangun di atas karisma cenderung runtuh atau kembali ke bentuk otoritas sebelumnya. Karisma memberikan kekuatan transformasional yang hebat, tetapi juga risiko volatilitas yang tinggi dalam konteks politik global.

C. Legitimasi Rasional-Legal

Legitimasi rasional-legal adalah bentuk legitimasi yang paling dominan dalam negara-negara modern, birokrasi, dan demokrasi kontemporer. Kepatuhan didasarkan pada keyakinan akan legalitas pola aturan normatif dan hak mereka yang diangkat di bawah aturan tersebut untuk mengeluarkan perintah. Seseorang mematuhi hukum, bukan orangnya. Pejabat memiliki otoritas karena posisi mereka, yang didefinisikan oleh konstitusi, undang-undang, dan prosedur yang rasional.

Dasar dari legitimasi ini adalah objektivitas, impersonalitas, dan prosedur. Kekuasaan tidak diperoleh melalui warisan atau anugerah pribadi, tetapi melalui proses yang ditetapkan, seperti pemilihan umum, ujian kompetensi, atau pengangkatan prosedural. Legitimasi rasional-legal menciptakan sistem yang dapat diprediksi, efisien, dan adil (sepanjang prosedur diikuti dengan benar). Kelemahan utamanya adalah bahwa ia sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadap integritas prosedur tersebut. Jika proses pemilu dianggap curang, atau jika birokrasi terlihat korup, legitimasi rasional-legal dapat runtuh dengan cepat, meskipun aturan formalnya masih ada di atas kertas. Ini membawa kita pada diskusi tentang pentingnya proses dalam mempertahankan legitimasi.

III. Dimensi Struktural dan Prosedural Legitimasi

Dalam konteks modern, legitimasi tidak hanya didukung oleh salah satu tipe Weberian, melainkan seringkali merupakan kombinasi yang kompleks. Namun, inti dari legitimasi modern terletak pada dimensi struktural dan, yang lebih penting, dimensi prosedural. Struktur merujuk pada kerangka kelembagaan, sementara prosedur merujuk pada proses bagaimana keputusan dibuat dan kekuasaan dialihkan.

A. Legitimasi Prosedural (Input Legitimacy)

Legitimasi prosedural menegaskan bahwa suatu keputusan atau rezim adalah sah selama proses pembuatannya adil, transparan, dan inklusif. Dalam demokrasi, hal ini sangat identik dengan keabsahan pemilihan umum. Pemilihan umum yang bebas, adil, dan reguler memberikan mandat yang sangat kuat kepada para pemenang, terlepas dari hasil kebijakan yang mereka hasilkan segera setelahnya. Fokus utama dalam legitimasi prosedural adalah pada input ke dalam sistem politik—bagaimana penguasa dipilih dan bagaimana aturan dasar dirumuskan.

Integritas prosedur adalah segalanya. Jika pemilu dicemari oleh intimidasi, manipulasi suara, atau pendanaan kampanye yang tidak transparan, legitimasi prosedural secara instan diragukan. Ini adalah mengapa pengawasan pemilu, kebebasan media, dan jaminan hak berkumpul dan berpendapat menjadi pilar tak terpisahkan dari setiap sistem yang mengklaim berbasis pada legitimasi rasional-legal. Kegagalan prosedural, bahkan jika hasilnya secara substansial baik, dapat merusak fondasi kepercayaan yang dibutuhkan untuk kepatuhan sukarela.

Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa legitimasi prosedural juga mencakup transparansi dalam pembuatan kebijakan dan konsultasi publik. Ketika pemerintah membuat kebijakan secara tertutup atau tanpa mempertimbangkan suara pihak yang terkena dampak, legitimasi aksi tersebut melemah, bahkan jika pemerintah tersebut terpilih secara sah. Keterlibatan publik dan akuntabilitas adalah komponen vital yang terus-menerus menopang legitimasi prosedural ini.

B. Legitimasi Kinerja (Output Legitimacy)

Berbeda dengan fokus pada proses, legitimasi kinerja (atau output legitimacy) didasarkan pada hasil yang dihasilkan oleh sistem politik atau pemerintahan. Apakah pemerintah berhasil memberikan kesejahteraan ekonomi, keamanan, layanan publik yang efisien, dan keadilan sosial? Jika suatu rezim, bahkan yang kurang demokratis, mampu secara konsisten meningkatkan taraf hidup rakyatnya, ia dapat memperoleh tingkat legitimasi kinerja yang signifikan. Ini sering terlihat pada rezim otoriter yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi cepat, di mana masyarakat rela menukar kebebasan politik demi stabilitas dan kemakmuran materiil.

Namun, legitimasi kinerja sangat rentan terhadap resesi, bencana, atau kegagalan kebijakan. Begitu kinerja ekonomi melambat, atau korupsi menjadi terlalu merajalela sehingga hasil tidak terdistribusi secara adil, legitimasi kinerja akan menguap. Negara-negara yang hanya mengandalkan legitimasi kinerja sering menghadapi gejolak ketika krisis tak terhindarkan tiba. Ini menjelaskan mengapa sistem politik yang paling stabil adalah mereka yang berhasil menyeimbangkan antara legitimasi prosedural yang kuat (keadilan proses) dan legitimasi kinerja yang memadai (efektivitas hasil).

IV. Krisis Legitimasi: Penyebab dan Dampak

Krisis legitimasi terjadi ketika populasi yang signifikan mulai mempertanyakan atau menolak hak dasar pemerintah untuk memerintah. Ini adalah momen berbahaya bagi setiap sistem politik, karena mengancam beralihnya kepatuhan sukarela menjadi perlawanan terbuka atau apatis massal. Krisis ini jarang terjadi secara tiba-tiba; ia biasanya merupakan hasil dari erosi bertahap yang disebabkan oleh kombinasi kegagalan struktural dan kinerja yang buruk.

A. Sumber Erosi Legitimasi

B. Dampak Krisis Legitimasi

Dampak dari hilangnya legitimasi sangat luas dan mendalam. Efek yang paling langsung adalah meningkatnya ketidakpatuhan. Masyarakat mulai mengabaikan hukum, menghindari pajak, dan terlibat dalam protes massal. Pemerintah terpaksa meningkatkan penggunaan paksaan (polisi, militer) untuk menegakkan aturan, yang ironisnya semakin memperlebar jurang legitimasi, menciptakan spiral negatif.

Pada tingkat yang lebih parah, krisis legitimasi dapat memicu pergolakan politik, penggulingan kekuasaan, atau bahkan perang sipil. Ketika tidak ada lagi kesepakatan dasar tentang siapa yang berhak memerintah, konflik menjadi jalan satu-satunya untuk menyelesaikan perselisihan. Institusi negara, seperti peradilan, legislatif, dan birokrasi, kehilangan efektivitasnya karena masyarakat dan pejabat di dalamnya mulai mempertanyakan otoritas mereka sendiri.

Proses pemulihan dari krisis legitimasi membutuhkan upaya rekonstruksi yang masif, seringkali melibatkan reformasi konstitusional besar-besaran, pembersihan institusi dari korupsi, dan upaya nyata untuk meningkatkan kinerja ekonomi. Proses ini harus menjangkau setiap aspek dari dimensi prosedural dan kinerja, meyakinkan kembali populasi bahwa sistem telah direformasi dan kini beroperasi untuk kepentingan bersama. Sebuah pemerintahan tidak akan pernah stabil jika hanya memerintah melalui ketakutan; ia harus memerintah melalui pengakuan yang sah.

V. Legitimasi dalam Konteks Tata Kelola Kontemporer

Dalam lanskap politik abad ke-21, konsep legitimasi telah diperluas melampaui negara bangsa (nation-state) ke ranah internasional, supranasional, dan juga ke entitas non-negara. Tantangan baru ini memaksa kita untuk memikirkan kembali bagaimana otoritas diterima dan dipertahankan dalam sistem yang semakin terglobalisasi dan terfragmentasi.

A. Legitimasi Institusi Supranasional

Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Uni Eropa (UE) menghadapi tantangan legitimasi yang unik karena mereka tidak dipilih langsung oleh warga negara dan seringkali dianggap terlalu birokratis atau jauh dari rakyat. Legitimasi institusi supranasional ini sering diukur melalui dua kacamata:

  1. Legitimasi Delegatif: Sejauh mana kewenangan mereka didelegasikan oleh negara anggota melalui perjanjian yang sah.
  2. Legitimasi Hasil: Sejauh mana mereka berhasil memecahkan masalah global yang tidak dapat diatasi oleh negara tunggal (seperti perubahan iklim, perdagangan, atau pandemi).

Kegagalan dalam memberikan hasil (misalnya, resolusi konflik yang lambat atau ketidakmampuan mengatasi krisis ekonomi global) secara langsung merusak legitimasi mereka, menyebabkan negara-negara anggota cenderung menarik diri atau mengabaikan keputusan supranasional, yang dikenal sebagai fenomena ‘backlash’ terhadap globalisasi.

B. Peran Komunikasi dan Teknologi dalam Legitimasi

Di era digital, media sosial dan komunikasi massa memainkan peran krusial dalam pembentukan dan penghancuran legitimasi. Pemerintah modern harus beroperasi di bawah pengawasan yang konstan. Transparansi yang dipaksakan oleh teknologi dapat menjadi pedang bermata dua: ia dapat memperkuat legitimasi prosedural jika pemerintah menunjukkan keterbukaan yang nyata, tetapi ia juga dapat mempercepat krisis legitimasi ketika informasi sensitif atau bukti korupsi dengan cepat menyebar dan memicu kemarahan publik. Kemampuan untuk mengelola narasi publik dan memerangi disinformasi kini menjadi bagian integral dari strategi pemeliharaan legitimasi.

Penting untuk dipahami bahwa manipulasi informasi (misalnya, penggunaan fake news atau propaganda terorganisir) dapat menciptakan ilusi legitimasi yang rapuh. Walaupun narasi yang dibuat dapat meredam kritik untuk sementara, legitimasi artifisial ini mudah hancur ketika dihadapkan pada kenyataan kinerja yang kontras. Oleh karena itu, hubungan antara kebenaran informasi dan pengakuan otoritas menjadi semakin penting dalam dunia pasca-kebenaran.

VI. Proses Perolehan dan Pemeliharaan Legitimasi yang Berkelanjutan

Legitimasi bukanlah hadiah yang diberikan sekali seumur hidup; ia adalah modal sosial yang harus diinvestasikan, dijaga, dan diperbarui secara konstan. Pemerintah yang bijaksana tidak hanya fokus pada perolehan kekuasaan (misalnya memenangkan pemilu) tetapi juga pada strategi jangka panjang untuk memastikan bahwa kekuasaan tersebut diakui sebagai hak yang sah dan bermoral.

A. Prinsip Akuntabilitas dan Responsivitas

Dua pilar utama dalam pemeliharaan legitimasi modern adalah akuntabilitas dan responsivitas. Akuntabilitas berarti bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik di hadapan hukum (akuntabilitas legal) maupun di hadapan publik (akuntabilitas politik). Institusi seperti parlemen, badan audit, dan pengadilan independen harus berfungsi untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak digunakan sewenang-wenang.

Responsivitas merujuk pada kemampuan dan kemauan pemerintah untuk menanggapi kebutuhan, preferensi, dan keluhan warga negara secara tepat waktu dan efektif. Pemerintah yang terlihat tuli terhadap penderitaan rakyat atau yang lambat bereaksi terhadap bencana alam atau krisis ekonomi akan kehilangan legitimasi kinerjanya dengan cepat. Responsivitas yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah menganggap dirinya sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai tuan yang berdaulat.

B. Integrasi Nilai-Nilai Normatif

Di luar prosedur dan kinerja, legitimasi yang mendalam membutuhkan integrasi nilai-nilai normatif, yaitu keyakinan bersama tentang keadilan, kesetaraan, dan martabat. Ketika pemerintah bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh mayoritas masyarakat, legitimasi mereka mendapatkan dimensi etis yang kuat. Sebaliknya, tindakan yang dianggap tidak bermoral atau tidak adil, meskipun legal secara teknis, dapat memicu protes dan penolakan yang didorong oleh legitimasi moral yang terenggut.

Pembangunan konsensus normatif ini sangat penting dalam masyarakat yang majemuk. Sistem politik harus menemukan cara untuk menghormati keragaman sambil tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal seperti hak asasi manusia dan supremasi hukum. Kegagalan dalam membangun konsensus normatif akan membuat masyarakat terus-menerus terpecah, di mana setiap kelompok hanya mengakui legitimasi yang sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri, menghasilkan fragmentasi politik yang sulit dikelola.

VII. Penguatan Prosedur dan Penetrasi Ide Legitimasi

Untuk mencapai stabilitas politik jangka panjang, setiap entitas yang berkuasa harus melakukan proses penguatan prosedur dan penetrasi ideologi legitimasi secara berulang dan mendalam. Penguatan prosedur memastikan bahwa kerangka kerja operasional (Hukum, Birokrasi, Pemilu) berfungsi secara imparsial, sementara penetrasi ideologi memastikan bahwa populasi internalisasi keyakinan bahwa sistem ini layak mendapatkan kepatuhan mereka, bahkan ketika mereka tidak menyukai kebijakan tertentu.

A. Membangun Infrastruktur Legitimasi Hukum

Pilar utama dari legitimasi rasional-legal adalah kepastian hukum. Ini menuntut adanya independensi yudikatif yang tak terbantahkan. Pengadilan harus dilihat sebagai penjaga terakhir konstitusi dan prosedur, tempat di mana warga negara dapat mencari keadilan tanpa rasa takut akan intervensi politik. Jika peradilan menjadi alat kekuasaan eksekutif, seluruh fondasi legitimasi hukum akan runtuh, dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem secara keseluruhan. Membangun infrastruktur ini memerlukan waktu, investasi dalam pendidikan hukum, dan perlindungan yang ketat bagi hakim dan jaksa.

Selain itu, proses legislasi harus terbuka dan berbasis bukti, bukan hanya didasarkan pada keinginan politis sesaat. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum dibuat melalui proses deliberatif yang matang dan inklusif, legitimasi undang-undang yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi. Konsultasi publik dan transparansi draf undang-undang adalah praktik esensial untuk memperkuat pengakuan publik terhadap output legalitas.

B. Internalisi Nilai-Nilai Legitimasi

Legitimasi yang paling kuat adalah yang diinternalisasi—yaitu, ketika individu mematuhi aturan tidak hanya karena takut akan hukuman (paksaan), tetapi karena mereka benar-benar percaya pada kebenaran moral dari sistem tersebut. Proses internalisasi ini terjadi melalui pendidikan, sosialisasi politik, dan melalui pengalaman positif berinteraksi dengan institusi negara.

VIII. Analisis Mendalam tentang Legitimasi dalam Pemerintahan Demokratis

Pemerintahan demokratis, yang secara ideal didasarkan pada legitimasi rasional-legal dan prosedural, menghadapi serangkaian tantangan spesifik yang menguji fondasi legitimasinya. Demokrasi bergantung pada siklus legitimasi yang terus diperbarui melalui pemilu, yang merupakan sumber utama mandat kekuasaan.

A. Tantangan Kuantitas dan Kualitas Partisipasi

Kualitas legitimasi dalam demokrasi sangat bergantung pada kuantitas dan kualitas partisipasi publik. Tingkat partisipasi pemilih yang rendah (apatis) dapat merusak klaim legitimasi, karena pemerintah yang terpilih mungkin hanya mewakili sebagian kecil dari populasi. Lebih lanjut, kualitas partisipasi—apakah warga terlibat secara rasional dan terinformasi, ataukah mereka dimobilisasi oleh retorika populis dan emosional—juga mempengaruhi kedalaman legitimasi.

Populis seringkali mengklaim memiliki ‘legitimasi karismatik’ langsung dari rakyat, yang mereka gunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar prosedur rasional-legal (konstitusi). Ini menciptakan konflik internal dalam demokrasi, di mana klaim legitimasi yang didasarkan pada ‘kehendak rakyat’ (karisma yang terinstitusionalisasi) berbenturan dengan legitimasi yang didasarkan pada ‘aturan hukum’ (rasional-legal). Kekuatan institusi demokratis terletak pada kemampuannya untuk menahan tekanan karismatik ini tanpa merusak fondasi proseduralnya.

B. Legitimasi Minoritas dan Oposisi

Salah satu tes terberat bagi legitimasi demokratis adalah bagaimana ia memperlakukan minoritas dan oposisi yang kalah. Dalam sistem yang legitimate, pihak yang kalah harus menerima hasil dan mengakui hak pihak yang menang untuk memerintah, meskipun mereka tidak setuju dengan kebijakan mereka. Pengakuan ini didasarkan pada keyakinan bahwa prosedur yang digunakan (pemilu, peradilan) adalah adil dan bahwa pihak yang kalah masih memiliki hak fundamental yang dilindungi oleh konstitusi.

Kegagalan dalam menghormati hak oposisi, penggunaan kekuasaan untuk menargetkan lawan politik, atau upaya untuk membungkam kritik publik akan secara cepat mengikis legitimasi. Sistem yang legitimate harus mampu mengakomodasi perbedaan pendapat dan konflik tanpa menghancurkan pihak oposisi, karena keberadaan oposisi yang sehat dan dihormati justru memperkuat keseluruhan fondasi legitimasi sistem politik tersebut. Proses politik yang inklusif dan penghargaan terhadap disensus adalah barometer nyata dari kesehatan legitimasi.

Legitimasi dalam pemerintahan yang demokratis juga menuntut pengakuan yang mendalam terhadap peran media independen. Media bertindak sebagai pengawas dan penyalur informasi krusial yang memungkinkan warga negara membuat pilihan yang terinformasi dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin. Ketika kebebasan media dibatasi atau ketika jurnalisme independen diserang, kemampuan publik untuk mengevaluasi kinerja pemerintah secara rasional terganggu, secara langsung menghambat pengembangan legitimasi prosedural dan kinerja yang berbasis bukti.

Penyebab paling krusial dari erosi legitimasi dalam demokrasi modern seringkali berasal dari ketidakmampuan elit politik untuk memoderasi diri. Ketika elit bersikap hiper-partisan, menolak kompromi, dan memprioritaskan kemenangan faksi di atas kesejahteraan nasional, mereka secara kolektif merusak kepercayaan masyarakat pada seluruh institusi politik. Legitimasi menuntut altruisme kelembagaan—keyakinan bahwa mereka yang memegang kekuasaan akan menempatkan kepentingan sistem di atas kepentingan pribadi mereka. Tanpa altruisme ini, sistem akan dilihat sebagai arena persaingan tanpa akhir, bukan sebagai kerangka kerja tata kelola yang sah.

IX. Dinamika Legitimasi dan Perubahan Sosial

Konsep legitimasi tidaklah statis; ia terus-menerus bergeser seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial, perkembangan teknologi, dan tantangan geopolitik. Apa yang dianggap sah oleh satu generasi mungkin ditolak oleh generasi berikutnya. Oleh karena itu, pemerintah harus secara dinamis beradaptasi untuk mempertahankan pengakuan mereka.

A. Pengaruh Nilai Generasi Baru

Generasi muda seringkali menuntut standar legitimasi yang lebih tinggi, terutama dalam hal transparansi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Mereka mungkin lebih skeptis terhadap legitimasi tradisional atau bahkan legitimasi rasional-legal murni, menuntut legitimasi moral yang lebih kuat—yaitu, bahwa pemerintah tidak hanya memerintah sesuai aturan, tetapi juga melakukan hal yang benar. Pemerintah yang gagal merespons isu-isu penting bagi generasi mendatang (seperti perubahan iklim atau utang publik) akan melihat legitimasi mereka terkikis di mata kelompok demografi yang akan segera menjadi mayoritas pemilih.

B. Konflik Multilevel Legitimacy

Dalam negara kesatuan yang kompleks atau federasi, sering terjadi konflik antara legitimasi di tingkat lokal, regional, dan nasional. Pemerintah pusat mungkin memiliki legitimasi rasional-legal yang kuat, tetapi gagal dalam legitimasi kinerja di wilayah terpencil. Sebaliknya, pemimpin lokal yang karismatik mungkin menikmati legitimasi lokal yang mendalam tetapi menantang otoritas pusat. Mengelola konflik multilevel ini membutuhkan sistem desentralisasi kekuasaan yang hati-hati, di mana setiap level pemerintahan memiliki ruang otonomi yang diakui secara sah untuk menghasilkan kinerja yang relevan bagi konstituen mereka.

C. Legitimasi dan Keadaan Darurat

Keadaan darurat (pandemi, perang, bencana ekonomi) menguji batas-batas legitimasi. Dalam krisis, pemerintah sering mengambil langkah-langkah luar biasa yang membatasi hak sipil, yang secara inheren mengancam legitimasi rasional-legal. Namun, jika langkah-langkah ini dilihat sebagai efektif dan sementara, dan jika pemerintah berkomunikasi secara transparan mengenai alasan dan batas waktu pembatasan tersebut, mereka dapat memperoleh legitimasi kinerja yang tinggi. Sebaliknya, penyalahgunaan kekuasaan darurat untuk keuntungan politik permanen akan menghancurkan kepercayaan dan memicu krisis legitimasi yang sulit dipulihkan.

X. Ringkasan dan Kebutuhan Abadi akan Legitimas

Kajian mendalam mengenai legitimasi menunjukkan bahwa ia adalah mata uang politik yang paling berharga. Ia adalah jembatan yang mengubah kekuasaan mentah menjadi otoritas yang diakui dan diterima secara sukarela. Tanpa legitimasi, kepatuhan hanya dapat dicapai melalui paksaan yang mahal dan tidak berkelanjutan. Sistem politik yang berhasil adalah yang secara terus-menerus menenun benang-benang legitimasi dari sumber tradisional, karismatik (dalam bentuk kepemimpinan yang inspiratif), dan terutama rasional-legal (melalui proses yang adil dan transparan).

Legitimasi menuntut keseimbangan yang rapuh: prosedur yang adil harus menghasilkan kebijakan yang efektif. Kegagalan prosedural (korupsi, pemilu curang) menghancurkan kepercayaan pada aturan main. Kegagalan kinerja (kemiskinan, ketidakamanan) menghancurkan keyakinan bahwa sistem bermanfaat. Keduanya harus dijaga agar legitimasi dapat bertahan dan sistem dapat berfungsi.

Di era globalisasi dan fragmentasi informasi, pemeliharaan legitimasi menuntut responsivitas yang lebih besar dari pemerintah, transparansi yang tak tertandingi, dan komitmen yang teguh untuk menjunjung tinggi nilai-nilai etis di atas kepentingan pribadi. Masa depan stabilitas politik suatu negara, tanpa terkecuali, akan selalu bergantung pada seberapa sukses entitas yang berkuasa dalam meyakinkan rakyatnya bahwa mereka memiliki hak, kewenangan, dan moralitas untuk memerintah. Hakikat dari kekuasaan yang berkelanjutan terletak pada pengakuan bersama, dan pengakuan bersama itu adalah inti dari legitimasi.

Setiap tindakan kebijakan, setiap penetapan undang-undang, dan setiap pembaruan struktur kelembagaan harus dievaluasi tidak hanya berdasarkan legalitasnya, tetapi juga berdasarkan dampaknya terhadap modal legitimasi. Kekuasaan yang legitimate adalah kekuasaan yang stabil, dan kestabilan tersebut merupakan prasyarat bagi kemajuan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Maka, pencarian dan pemeliharaan legitimasi tetap menjadi tugas sentral dan abadi bagi setiap tata kelola, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Proses ini merupakan perjalanan tanpa akhir untuk menyelaraskan harapan rakyat dengan tindakan para penguasa, memastikan bahwa otoritas selalu bersandar pada fondasi persetujuan yang kuat dan mendalam.

Kita harus terus menerus mempertanyakan sumber dari kekuasaan yang kita terima. Apakah itu warisan dari masa lalu, kilauan pesona seorang individu, atau fondasi hukum yang rasional dan imparsial? Seringkali, jawabannya adalah kombinasi yang kompleks, namun fokus pada dimensi rasional-legal dan kinerja tetap menjadi keharusan di dunia modern. Tanpa perhatian yang konstan terhadap dimensi ini, legitimasi akan tergerus, dan setiap sistem—betapa pun kuatnya—akan jatuh kembali ke keadaan kekuasaan yang murni berbasis paksaan, yang pada akhirnya akan gagal.

Oleh karena itu, studi tentang legitimasi, sumbernya, krisisnya, dan strateginya, adalah studi tentang ketahanan politik itu sendiri. Negara yang mampu membangun dan mempertahankan legitimasi multi-dimensi akan menjadi negara yang paling stabil dan paling mampu menghadapi kompleksitas tantangan abad ini. Hakikat legitimas adalah persetujuan sukarela, dan persetujuan sukarela adalah tanda tertinggi dari tata kelola yang sukses. Upaya yang tak kenal lelah untuk memperkuat prosedur demokratis, melawan korupsi, dan memastikan bahwa kebijakan secara nyata meningkatkan kehidupan warga adalah investasi jangka panjang dalam modal legitimasi. Hanya dengan cara ini, siklus krisis dapat dihindari, dan fondasi otoritas yang kokoh dapat dipertahankan demi generasi mendatang. Inilah esensi abadi dari klaim kekuasaan yang diakui dan diterima oleh hati dan pikiran masyarakat, sebuah tugas yang tidak pernah selesai bagi setiap pemerintahan yang ingin bertahan dan berkembang dalam jangka waktu yang panjang.

Penghormatan terhadap hukum, meskipun terkadang terasa tidak nyaman bagi pihak yang berkuasa, adalah investasi paling signifikan dalam legitimasi. Setiap kali sebuah institusi—dari kantor polisi hingga pengadilan tertinggi—menunjukkan objektivitas dan kepatuhan pada aturan di atas kepentingan sektoral, legitimasi sistem secara keseluruhan diperkuat. Sebaliknya, setiap tindakan sewenang-wenang atau pengecualian hukum untuk elit, sekecil apapun, mengirimkan gelombang kejutan negatif ke seluruh struktur legitimasi, memperkuat sinisme publik dan melemahkan kepatuhan sukarela. Proses ini menuntut sebuah budaya kelembagaan yang menempatkan prosedur di atas individu. Ini adalah perjuangan harian untuk membuktikan bahwa kekuasaan tidak hanya digunakan, tetapi digunakan dengan benar.

Implikasi filosofis dari legitimasi menyentuh pertanyaan mendasar tentang kebebasan dan keteraturan. Mengapa individu bebas harus menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas? Jawabannya terletak pada legitimasi: mereka melakukannya karena mereka percaya bahwa otoritas tersebut, yang beroperasi di bawah aturan yang sah, akan menghasilkan keteraturan yang lebih besar dan perlindungan yang lebih baik bagi kebebasan sisa yang mereka miliki. Ketika kepercayaan itu hilang—ketika otoritas dilihat sebagai penghambat kebebasan alih-alih pelindungnya—kontrak sosial yang mendasari legitimasi mulai terkoyak. Tugas yang tak terhindarkan bagi setiap generasi adalah menegosiasikan kembali dan memperkuat kontrak ini, memastikan bahwa klaim kekuasaan selalu selaras dengan harapan keadilan dan perlindungan yang diminta oleh rakyat.

Analisis ini harus terus berlanjut, mencakup setiap lapisan interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Setiap elemen, dari pajak yang kita bayar hingga kebijakan luar negeri yang diambil, harus diuji dengan pertanyaan: Apakah ini memperkuat legitimasi sistem, atau justru mengikisnya? Hanya dengan pemeriksaan diri yang ketat dan berkelanjutan ini, suatu sistem dapat berharap untuk memelihara sumber daya politik yang paling rapuh dan paling kuat—yaitu, pengakuan murni dan sukarela dari orang-orang yang diperintah. Legitimasi adalah permata mahkota kedaulatan, dan perawatannya adalah pekerjaan politik yang paling mulia dan paling menuntut.

Sistem kekuasaan yang tidak sah adalah sistem yang secara inheren tidak stabil dan rentan. Mereka bergantung pada sumber daya yang tak terbatas untuk penegakan paksaan, yang pada akhirnya akan mengering. Sementara itu, sistem yang memiliki legitimasi yang kokoh dapat bertahan dari krisis ekonomi, pergolakan sosial, dan bahkan kekalahan militer, karena fondasi kepercayaan dan persetujuan mendalam tidak tergoyahkan. Keberhasilan politik diukur bukan dari durasi kekuasaan, melainkan dari kedalaman penerimaan publik terhadap hak kekuasaan tersebut. Legitimasi, pada intinya, adalah keberhasilan politik yang paling murni dan paling sulit dicapai.

Pemahaman menyeluruh ini menempatkan tanggung jawab yang besar tidak hanya pada penguasa tetapi juga pada warga negara. Warga harus bersedia mematuhi aturan main yang telah ditetapkan, bahkan ketika hasilnya tidak menguntungkan mereka secara pribadi, selama prosedur dasarnya diyakini adil. Sebaliknya, warga juga memiliki kewajiban untuk menuntut akuntabilitas dan menantang klaim legitimasi ketika prosedur atau kinerja gagal secara sistemik. Hubungan dialektis antara yang memerintah dan yang diperintah, yang didasarkan pada negosiasi kepercayaan dan akuntabilitas, adalah mesin penggerak di balik setiap bentuk legitimasi yang bertahan lama. Ini adalah janji yang berkelanjutan, bahwa kekuasaan akan selalu melayani tujuan kolektif, bukan ambisi individu.