Dalam khazanah kebudayaan Nusantara, terutama di Jawa dan wilayah-wilayah yang dipengaruhi oleh budaya Mataram, *leluri* menempati posisi sentral. Kata ini berasal dari bahasa Jawa, yang secara harfiah merujuk pada segala sesuatu yang sifatnya 'turun-temurun' atau 'kewarisan'. Namun, makna filosofisnya jauh melampaui kamus. Leluri adalah kehendak untuk mempertahankan sebuah tatanan nilai yang diyakini membawa keselamatan (*wilujeng*) dan keseimbangan (*harmoni*).
Leluri berbeda dengan 'adat' atau 'kebiasaan'. Adat bisa berubah seiring perubahan sosial dan politik, sedangkan leluri memiliki dimensi spiritual dan moral yang lebih kuat. Ia mengikat individu pada komunitasnya dan pada garis keturunan spiritual. Ketika sebuah praktik disebut *leluri*, ia membawa serta legitimasi historis dan pengakuan kolektif bahwa praktik tersebut adalah cara hidup yang benar, yang telah teruji oleh waktu dan diwariskan oleh para leluhur (*karuhun*).
Bagi masyarakat yang sangat menjunjung tinggi leluri, waktu tidak dipandang sebagai garis lurus (linear) melainkan sebagai siklus (sirkular). Leluri menjadi praktik yang secara periodik diulang, menegaskan kembali hubungan kosmik. Setiap ritual atau praktik leluri dilakukan untuk menyelaraskan kembali mikro-kosmos (diri) dengan makro-kosmos (alam semesta). Pemahaman ini tercermin dalam konsep penanggalan Jawa (Siklus Weton, Tahun Saka) yang selalu merujuk pada kejadian dan petunjuk dari masa lalu untuk menata masa kini.
Konsep *Sangkan Paraning Dumadi* (asal dan tujuan kehidupan) adalah inti dari filosofi Jawa yang diwariskan melalui leluri. Leluri adalah jalan (laku) untuk memahami darimana kita berasal dan kemana kita akan kembali. Praktik-praktik meditasi, puasa (*mutih*), atau tirakat adalah manifestasi dari leluri yang bertujuan menjernihkan jiwa agar mencapai kesadaran hakiki. Leluri mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan spiritual yang harus dijalani dengan kesadaran penuh terhadap warisan leluhur yang telah membuka jalan.
Ilustrasi Pohon Hayat (Waringin) sebagai simbol akar leluri yang menghubungkan langit (spiritual) dan bumi (kehidupan nyata), serta masa lalu dan masa depan.
Leluri paling nyata terlihat dalam upacara adat yang menandai perubahan status atau tahap kehidupan seseorang, yang dikenal sebagai ritus peralihan. Setiap upacara ini tidak hanya berfungsi sebagai perayaan, tetapi juga sebagai penegasan kembali nilai-nilai komunal dan pengakuan terhadap kehadiran kekuatan gaib serta restu dari leluhur. Ketelitian dalam menjalankan setiap detail ritual adalah kunci, karena di dalamnya terkandung makna simbolis yang mendalam.
Sejak dalam kandungan, calon individu sudah terikat pada leluri. Rangkaian upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan, membersihkan jiwa, dan memberikan bekal spiritual:
Mitoni adalah leluri untuk memohon keselamatan bayi dan ibunya saat usia kandungan memasuki tujuh bulan. Leluri ini syarat dengan simbol: memandikan ibu dengan air kembang tujuh rupa, membelah kelapa gading bergambar tokoh wayang (seperti Kamajaya dan Kamaratih) yang melambangkan harapan akan paras dan nasib baik, serta prosesi memasukkan telur ayam ke dalam sarung. Setiap langkah Mitoni adalah doa yang dikonkritkan, mewujudkan harapan akan *kasampurnan* (kesempurnaan) hidup sang anak.
Leluri ini dilakukan ketika anak pertama kali menginjakkan kaki di tanah. Ini adalah simbol pengakuan bahwa anak tersebut kini menjadi bagian dari dunia nyata, namun harus tetap ingat akarnya. Dalam Tedhak Siten, anak diposisikan untuk memilih berbagai benda (buku, uang, alat tulis) yang dipercaya meramalkan masa depan. Ini bukan sekadar ramalan, melainkan ajaran awal tentang tanggung jawab, pilihan hidup, dan keragaman profesi. Anak diajarkan, melalui leluri ini, bahwa ia memiliki kebebasan memilih, namun pilihan tersebut haruslah bijak dan sesuai dengan etika yang diwariskan.
Pernikahan adalah puncak dari leluri sosial, di mana dua garis keturunan dipersatukan. Ritus pernikahan Jawa dipenuhi dengan simbolisasi yang mengajarkan tanggung jawab, keselarasan, dan keharmonisan rumah tangga (*balewisma*).
Setiap detail, dari tata rias hingga posisi duduk, diatur oleh leluri yang kompleks, menunjukkan bahwa pernikahan bukan sekadar ikatan legal, melainkan ikatan spiritual dan komunal yang menuntut penghormatan terhadap tata krama (*unggah-ungguh*) dan garis keturunan.
Leluri tentang kematian adalah yang paling sakral, karena ia berhubungan langsung dengan konsep kembali ke asal (*mulih neng Jati Mulya*) dan status leluhur. Upacara seperti *Nyewu* (seribu hari setelah kematian) adalah manifestasi leluri yang bertujuan membantu arwah mencapai kesempurnaan di alam abadi, sekaligus menjaga agar hubungan spiritual antara yang hidup dan yang mati tetap terjaga. Leluri kematian mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan transisi menuju status baru sebagai leluhur yang dihormati dan dimintai restunya.
Leluri tidak hanya eksis dalam ritual yang monumental, tetapi juga meresap dalam kehidupan sehari-hari melalui ekspresi seni, struktur bahasa, dan etika berperilaku. Seni adalah media utama leluri untuk menyampaikan ajaran moral dan filosofi hidup tanpa perlu menggunakan doktrin yang kaku.
Wayang Kulit adalah perpustakaan bergerak leluri. Setiap lakon (cerita) mengandung ajaran tentang kepemimpinan, keadilan, pengorbanan, dan konflik moral yang abadi. Dalang, sebagai pewaris leluri, tidak hanya sekadar bercerita, tetapi juga bertindak sebagai juru bicara spiritual yang menafsirkan ajaran leluhur agar relevan dengan kondisi zaman. Leluri di sini adalah kesinambungan kearifan: Wayang mengajarkan bahwa kebaikan (*dharma*) harus selalu diperjuangkan, meskipun jalannya penuh kesulitan.
Tembang Macapat, dengan metrum dan aturan baku yang ketat, adalah metode leluri untuk mewariskan ajaran moral. Setiap jenis tembang (seperti Dhandhanggula, Sinom, Pocung) memiliki suasana hati dan tujuan filosofis yang berbeda. Melalui Tembang, leluri mengajarkan tentang tahapan hidup, mulai dari kelahiran (Mijil), masa muda (Sinom), hingga kematian (Durma). Mendengarkan atau melantunkan Macapat adalah praktik leluri yang menenangkan jiwa dan mengingatkan pada tatanan kosmik yang harus dipatuhi.
Setiap motif Batik tradisional adalah leluri yang dibekukan dalam kain. Batik Parang Rusak, misalnya, bukan sekadar pola dekoratif; ia adalah simbol perang melawan hawa nafsu dan harapan akan kekuasaan yang bijaksana. Batik Sido Mukti (menemukan kemuliaan) adalah leluri yang dikenakan saat pernikahan, memancarkan harapan akan kehidupan yang makmur dan terhormat. Leluri dalam Batik mengajarkan bahwa keindahan harus mengandung makna, dan bahwa pakaian adalah manifestasi dari status spiritual dan moral pemakainya.
"Leluri mengajarkan kita bahwa makna sebuah benda bukan pada materialnya, melainkan pada sejarah dan doa yang dibawanya. Selembar kain Batik adalah peta spiritual, sebuah Tembang adalah doa yang dilantunkan, dan sebuah upacara adalah janji yang ditepati."
Leluri dalam bahasa Jawa terlihat jelas dalam penggunaan tingkatan bahasa (*undha usuk basa* atau *unggah-ungguh*). Penggunaan Krama Inggil (bahasa halus) kepada orang tua, guru, atau bangsawan adalah leluri tentang penghormatan, tata krama, dan pengakuan terhadap hierarki sosial yang bertujuan menciptakan harmoni. Leluri bahasa ini memastikan bahwa komunikasi bukan sekadar pertukaran informasi, tetapi juga penegasan posisi dan penghormatan. Hilangnya *unggah-ungguh* dianggap sebagai erosi leluri, yang dapat menyebabkan kekacauan sosial dan moral.
Tumpeng, sebagai inti dari leluri Slametan, melambangkan gunung kehidupan dan permohonan keselamatan kepada Tuhan.
Leluri berfungsi sebagai perekat sosial utama yang menjaga keutuhan masyarakat. Praktik-praktik komunal ini memastikan bahwa individualisme tidak merusak tatanan yang telah dibangun oleh leluhur. Dua konsep kunci yang dihidupkan oleh leluri adalah *Slametan* dan *Gotong Royong*.
*Slametan* atau *Kenduri* adalah leluri yang paling sering dilakukan dalam masyarakat Jawa. Ini adalah ritual perjamuan komunal yang bertujuan memohon keselamatan (*slametan*) dan menolak bala (*tolak balak*). Slametan bukan hanya makan-makan; ia adalah deklarasi bahwa individu tersebut, dan peristiwa yang dialaminya (kelahiran, pernikahan, pindah rumah, bencana), diakui oleh komunitas dan dilindungi oleh kekuatan gaib.
Leluri Slametan sangat ketat dalam penggunaan simbol makanan, terutama Tumpeng (nasi kerucut). Tumpeng melambangkan Gunung Mahameru, tempat bersemayamnya dewa dan leluhur. Lauk pauk yang menyertainya memiliki makna spesifik yang diwariskan secara lisan:
Melalui Slametan, leluri mengajarkan bahwa keselamatan tidak dapat dicapai secara individual, melainkan harus dicapai bersama-sama, dalam kerangka persatuan sosial dan spiritual.
*Gotong Royong* (kerja sama tanpa pamrih) dan *Musyawarah* (mencapai mufakat) adalah leluri sosial yang menjadi fondasi demokrasi lokal. Leluri ini mengajarkan bahwa kepentingan kolektif harus didahulukan di atas kepentingan pribadi. Dalam konteks modern, semangat *gotong royong* inilah yang dihidupkan untuk membangun fasilitas publik atau menanggulangi bencana, menunjukkan fleksibilitas leluri untuk tetap relevan.
Inti dari leluri sosial adalah menjaga *rukun* (harmoni/kedamaian) dan menerapkan *tepasalira* (toleransi, empati, atau menempatkan diri pada posisi orang lain). Leluri ini adalah benteng pertahanan masyarakat dari konflik internal. Seorang individu yang melanggar leluri ini akan dikucilkan secara sosial, karena ia dianggap merusak tatanan yang telah diwariskan oleh para leluhur demi keselamatan bersama.
Saat ini, leluri menghadapi tekanan hebat dari arus modernitas, individualisme, dan globalisasi. Banyak praktik leluri yang mulai ditinggalkan karena dianggap tidak efisien, mahal, atau bertentangan dengan pandangan agama yang lebih puritan. Konservasi leluri bukan berarti membekukan masa lalu, melainkan mencari titik temu antara kearifan lama dengan kebutuhan zaman baru.
Tantangan terbesar adalah transmisi pengetahuan. Dahulu, leluri diwariskan secara lisan dan melalui partisipasi langsung dalam ritual. Saat ini, generasi muda cenderung kurang memiliki waktu atau ketertarikan pada praktik leluri yang dianggap rumit. Pengetahuan tentang filosofi di balik simbol-simbol leluri mulai pudar, meninggalkan ritual tanpa makna, yang akhirnya ditinggalkan.
Revitalisasi leluri memerlukan pendekatan yang kreatif. Beberapa upaya yang dilakukan mencakup:
Dalam masyarakat yang semakin plural dan bergerak cepat, beberapa leluri lokal mungkin berbenturan dengan identitas nasional atau keyakinan agama tertentu. Leluri sering kali harus bernegosiasi untuk tetap diakui. Contohnya adalah penyesuaian tata cara Slametan yang menghilangkan elemen-elemen pra-Islam, namun tetap mempertahankan semangat kebersamaan dan filosofi Tumpeng.
Adaptasi leluri menunjukkan kekuatannya. Leluri adalah seperti pohon beringin yang akarnya kokoh namun cabangnya lentur. Ia mampu menyerap pengaruh baru tanpa kehilangan inti spiritualnya. Leluri yang statis akan mati, namun leluri yang mampu beradaptasi akan terus hidup dan memberikan panduan moral.
Topeng (Wayang) sebagai media leluri, simbol dari karakter dan ajaran moral yang diwariskan melalui pertunjukan.
Leluri mencapai kedalaman puncaknya dalam ranah spiritual (*kebatinan*) dan etika personal (*laku*). Ini adalah aspek leluri yang sering tersembunyi, fokus pada pengembangan diri dan pencapaian keselarasan internal. Leluri spiritual mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (*jati mulya*) diperoleh melalui pengendalian diri dan penghayatan ajaran leluhur.
Laku atau tirakat (praktik asketik) adalah leluri personal yang dilakukan untuk membersihkan diri dari kotoran batin (*sukerta*). Ini termasuk puasa, meditasi, atau pantangan tertentu. Puasa *mutih* (hanya makan nasi putih dan air) misalnya, adalah leluri yang mengajarkan kesederhanaan dan mematikan nafsu indrawi. Laku ini dilakukan bukan untuk pamer kesalehan, melainkan sebagai proses introspeksi mendalam agar individu dapat mendengar suara hati nurani, yang dianggap sebagai bisikan leluhur atau kebenaran sejati.
*Semedi* (meditasi) adalah leluri untuk menyatukan cipta, rasa, dan karsa (pikiran, perasaan, dan kehendak). Tujuannya adalah mencapai *wening* (kejernihan) dan *manunggaling kawula Gusti* (penyatuan hamba dengan pencipta, dalam tafsiran spiritual). Leluri ini menekankan bahwa ilmu tertinggi bukanlah yang didapat dari buku, melainkan yang diperoleh melalui *olah rasa* (pengolahan rasa) dan pengalaman spiritual langsung yang diwariskan oleh para pendahulu.
Dalam konteks leluri spiritual, peran *Pamomong* (pembimbing spiritual, seringkali seorang sesepuh) sangat krusial. Pamomong adalah penjaga dan penafsir leluri. Ia tidak memberikan ajaran yang kaku, melainkan membimbing individu untuk menemukan sendiri makna leluri dalam hidupnya (*ngelmu sejati*). Leluri ini mengajarkan sistem pembelajaran yang bersifat personal dan sangat menghargai kebijaksanaan lisan yang diturunkan dari guru ke murid.
Leluri menanamkan prinsip bahwa setiap pemimpin (*pamong*) harus memiliki jiwa pelayan dan harus terus menjalankan *laku* agar kebijaksanaannya tidak pudar. Kepemimpinan berdasarkan leluri adalah kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan rakyat (*kawula*) dan menjaga harmoni kosmik.
Untuk memahami kedalaman 5000 tahunan nilai yang tersimpan dalam leluri, kita harus membedah prinsip-prinsip metafisik dan etika yang mendasarinya. Leluri adalah sistem hukum tak tertulis yang mengatur energi sosial dan spiritual.
Filosofi utama leluri adalah pencarian *keselarasan*. Ini mencakup tiga tingkatan:
Pelanggaran terhadap leluri dianggap merusak keseimbangan ini, yang akan berakibat pada bencana pribadi (*sial*) atau bencana komunal (*pagebluk*). Oleh karena itu, leluri memiliki kekuatan penekan sosial yang sangat besar.
Leluri didasarkan pada kewajiban filial (bakti) yang tak terbatas kepada orang tua dan leluhur. Mereka yang telah meninggal dianggap telah naik status menjadi penjaga dan pemberi restu (*donga pangestu*). Praktik leluri (seperti membersihkan makam, mengirim sesaji/doa pada hari-hari tertentu) adalah cara untuk menjaga komunikasi dan memohon restu agar perjalanan hidup yang dijalani lancar. Kegagalan menghormati leluhur dianggap sebagai pengabaian terhadap sumber kekuatan dan identitas diri.
Leluri mengakui adanya dualisme dalam kehidupan: Baik-Buruk, Terang-Gelap, Lahir-Batin. Leluri tidak berusaha menghilangkan salah satunya, melainkan mengajarkan cara menavigasi dualisme tersebut menuju titik tengah, yaitu keselarasan. Ajaran tentang *Dharma* dan *Adharma* dalam Wayang adalah contoh bagaimana leluri memberikan kerangka untuk membuat keputusan moral yang sulit. Individu dihadapkan pada pilihan, dan leluri adalah kompas yang memastikan ia memilih jalan yang sesuai dengan kearifan nenek moyang.
Leluri adalah sistem pengetahuan ekstensif yang mencakup pengetahuan tentang pertanian (pranata mangsa), kesehatan tradisional (jamu), arsitektur (tata letak rumah Jawa), hingga manajemen konflik. Misalnya, dalam arsitektur, leluri menentukan bahwa rumah harus menghadap arah tertentu untuk menangkap energi kosmik yang baik, dan bahwa atap harus memiliki puncak (*limasan*) yang melambangkan penghormatan terhadap langit. Tidak ada satu pun aspek kehidupan tradisional yang lepas dari campur tangan leluri.
Di era global ini, konservasi leluri menghadapi dilema: bagaimana mempertahankan otentisitas tanpa menjadi artefak masa lalu yang beku? Pengelolaan leluri harus bersifat dinamis, melibatkan pendidikan, media, dan peran aktif komunitas.
Masa depan leluri terletak di tangan generasi muda. Namun, mereka tidak dapat dipaksa untuk menerima tradisi secara buta. Leluri harus disajikan sebagai sumber identitas yang kuat dan relevan secara etis. Pelatihan *dalang* muda, penari tradisional, atau pengrajin batik bukan sekadar keterampilan, tetapi proses inisiasi spiritual ke dalam filosofi leluri.
Pemerintah daerah dan lembaga budaya memainkan peran penting dalam menyediakan ruang dan insentif bagi pemuda untuk belajar leluri, misalnya melalui beasiswa untuk mempelajari kriya tradisional atau pendanaan untuk pertunjukan seni leluri yang inovatif.
Banyak pengetahuan leluri yang masih tersimpan dalam naskah kuno (*serat*) yang rentan rusak atau dalam ingatan para sesepuh yang semakin berkurang jumlahnya. Upaya filologis untuk menerjemahkan dan menafsirkan *serat* (misalnya Serat Centhini atau Serat Kalatidha) adalah vital. Dokumentasi harus dilakukan secara rinci, tidak hanya mencatat prosedur ritual, tetapi juga mencatat makna filosofis, variasi regional, dan konteks sosialnya. Ini akan menciptakan "bank data" leluri yang dapat diakses oleh peneliti dan publik.
Pariwisata budaya dapat menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, ia menyediakan sumber daya untuk pemeliharaan ritual; di sisi lain, ia berisiko mengkomodifikasi dan mendangkalkan makna leluri. Penting untuk memastikan bahwa ketika leluri ditampilkan kepada publik (misalnya upacara Keraton), nilai sakral dan filosofisnya tetap dihormati dan dijelaskan, bukan hanya disajikan sebagai tontonan eksotis.
Salah satu contoh keberhasilan mempertahankan leluri adalah praktik *Pranata Mangsa* (sistem kalender pertanian). Meskipun teknologi pertanian modern telah maju, banyak petani di pedalaman Jawa masih mengandalkan sistem leluri ini untuk menentukan waktu tanam dan panen yang paling tepat, menunjukkan kearifan yang relevan dengan iklim lokal.
Leluri, meskipun seringkali berakar kuat pada budaya tertentu (Jawa, Sunda, Bali), pada dasarnya mencerminkan nilai-nilai universal Nusantara: harmoni, gotong royong, dan penghormatan pada alam. Ketika Indonesia mencari identitasnya di panggung global, leluri menyediakan kedalaman filosofis yang membedakannya dari budaya lain.
Meskipun istilah *leluri* dominan di Jawa, setiap suku di Nusantara memiliki konsep yang setara (seperti *pessan* di Sunda atau *adat istiadat* yang lebih umum). Semua konsep ini bertemu pada semangat yang sama: menghormati warisan nenek moyang sebagai sumber moralitas. Mempromosikan pemahaman leluri dapat memperkuat rasa persatuan kebangsaan, menunjukkan bahwa keberagaman ritual di Indonesia adalah manifestasi dari satu akar filosofis yang sama.
Leluri bahkan mulai merambah ke dunia profesional. Konsep seperti *sangkan paraning dumadi* dan *unggah-ungguh* dapat diterjemahkan menjadi etika bisnis yang menjunjung tinggi integritas, hubungan jangka panjang, dan tanggung jawab sosial. Bisnis yang berlandaskan leluri adalah bisnis yang mencari keuntungan, namun tidak merusak tatanan sosial atau alam.
Prinsip *tepasalira*, misalnya, sangat relevan dalam manajemen modern sebagai landasan empati dan kepemimpinan yang berpusat pada manusia. Leluri membuktikan bahwa kearifan tradisional tidak ketinggalan zaman; ia justru menawarkan solusi etis terhadap krisis moral yang ditimbulkan oleh materialisme yang berlebihan.
Leluri adalah warisan yang tidak dapat diukur dengan nilai materi. Ia adalah jiwa yang bersemayam dalam tubuh kebudayaan Nusantara. Ia adalah suara senyap para leluhur yang terus membimbing kita dari generasi ke generasi.
Menjaga leluri bukan berarti melaksanakan ritual secara mekanis, melainkan menghayati makna dan filosofi di baliknya. Ini adalah tugas kolektif yang menuntut kesadaran bahwa kita hanyalah mata rantai sementara dalam sejarah panjang kebudayaan. Sama seperti kita menerima warisan dari masa lalu, kita memiliki kewajiban moral untuk memperkaya dan mewariskannya kembali kepada masa depan.
Di tengah hiruk pikuk modernitas, leluri menawarkan jangkar filosofis, sebuah pengingat bahwa kekayaan sejati sebuah bangsa terletak pada kedalaman akar budayanya. Ia adalah peta menuju *jati diri* yang utuh, seimbang, dan harmonis—sebuah perjalanan spiritual dan sosial yang tak pernah selesai.
"Leluri iku dudu barang lawas sing kudu disimpen, nanging obor sing murub kanggo madhangi lakuning urip."
(Leluri itu bukan barang lama yang harus disimpan, tetapi obor yang menyala untuk menerangi perjalanan hidup.)