Dalam lanskap Hukum Perdata Internasional (HPI) yang semakin kompleks, di mana individu dan entitas sering kali memiliki koneksi lintas batas negara, kebutuhan akan penentu hukum yang stabil menjadi krusial. Salah satu prinsip fundamental yang digunakan untuk menentukan hukum mana yang berlaku atas status personal, kapasitas, dan hak-hak tertentu seseorang adalah lex domicili.
Secara harfiah, lex domicili berarti "hukum tempat kediaman tetap" atau "hukum domisili". Prinsip ini menunjuk pada sistem hukum dari tempat di mana seseorang dianggap memiliki tempat tinggal permanen atau pusat kepentingan hidupnya. Berbeda dengan prinsip lex patriae (hukum kewarganegaraan) yang dominan di banyak negara Eropa Kontinental, lex domicili merupakan tiang utama dalam sistem hukum Common Law, seperti yang berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
Pentingnya penetapan domisili tidak hanya bersifat akademis, melainkan memiliki dampak praktis yang masif. Penentuan domisili dapat memutuskan apakah suatu pernikahan sah, bagaimana aset bergerak diwariskan, bahkan di mana seseorang dapat dikenakan pajak warisan. Ketidakjelasan mengenai domisili sering kali menjadi sumber utama konflik yurisdiksi dan hukum.
Untuk memahami sepenuhnya prinsip ini, penting untuk membedakannya dari konsep-konsep serupa yang sering kali disamakan atau dipertukarkan, yaitu tempat tinggal (residence) dan kewarganegaraan (nationality):
Hukum domisili bukan sekadar di mana seseorang tidur; ia adalah lokasi hukum yang ditetapkan oleh negara melalui serangkaian aturan yang ketat. Dalam sistem Common Law, domisili dibagi menjadi tiga kategori utama, yang menentukan bagaimana domisili tersebut diperoleh dan seberapa mudah ia dapat diubah.
Setiap individu, saat lahir, secara otomatis memperoleh domisili asal. Domisili ini melekat pada seseorang dan sangat sulit untuk dilepaskan. Karakteristik utama Domicili Asal adalah:
Doktrin kebangkitan (revival) ini adalah salah satu fitur paling unik dan sering dikritik dari hukum Common Law mengenai domisili. Ini memastikan bahwa tidak mungkin bagi seseorang untuk tidak memiliki domisili (status domicileless).
Ini adalah jenis domisili yang diperoleh seseorang setelah mencapai usia dewasa dan memiliki kapasitas untuk bertindak sendiri. Untuk memperoleh Domicili Pilihan, dua elemen kunci harus terpenuhi secara simultan dan berkelanjutan:
Individu harus secara fisik berada di negara yang bersangkutan. Kehadiran ini harus lebih dari sekadar kunjungan singkat atau perjalanan wisata. Namun, durasi bukanlah faktor penentu tunggal; niatlah yang membedakannya.
Individu harus memiliki niat yang pasti dan tegas untuk menjadikan negara tersebut sebagai rumah permanennya, atau setidaknya, menjadikannya rumah tanpa batas waktu yang dapat ditentukan (yaitu, tidak ada rencana yang jelas untuk pergi). Niat ini harus kuat dan saat ini; niat untuk menetap di masa depan tidak cukup.
Pembuktian niat (animus manendi) adalah titik di mana sebagian besar litigasi mengenai domisili terjadi. Pengadilan harus menyelidiki motif, harapan, dan perilaku individu secara menyeluruh. Tidak cukup hanya menyatakan niat; niat tersebut harus didukung oleh tindakan yang konsisten.
Domisili ini diberikan kepada individu yang secara hukum dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memilih domisili mereka sendiri. Kategori utama yang termasuk dalam domisili tanggungan adalah:
Perlu dicatat bahwa hukum modern, terutama di negara-negara Common Law, telah sangat membatasi kategori domisili tanggungan, khususnya bagi wanita yang sudah menikah. Secara historis, domisili seorang istri secara otomatis mengikuti suaminya (doktrin kesatuan domisili), tetapi aturan diskriminatif ini sebagian besar telah dihapuskan.
Pencapaian domisili pilihan membutuhkan bukti niat yang sangat meyakinkan. Beban pembuktian (onus probandi) sangat berat bagi pihak yang mengklaim telah mengubah domisili asal mereka, karena Domicili Asal memiliki daya lekat yang luar biasa (karakteristik tenacity). Pengadilan harus mengumpulkan dan menilai bukti dari berbagai aspek kehidupan seseorang.
Pengadilan tidak hanya menerima pernyataan lisan individu tentang niatnya, melainkan harus melihat pada fakta-fakta objektif yang mendukung atau menyangkal niat permanen. Faktor-faktor ini mencakup, tetapi tidak terbatas pada:
Terdapat kecenderungan alami pengadilan untuk mempertahankan Domicili Asal. Untuk berhasil membuktikan perubahan, pengadilan harus yakin bahwa individu tersebut telah secara definitif memutuskan ikatan dengan domisili asal dan bukan hanya tinggal sementara di domisili pilihan. Jika niat individu bersifat tentatif—misalnya, "Saya akan tinggal di sini sampai saya pensiun, lalu kembali ke kampung halaman"—maka niat permanen (animus manendi) tidak terpenuhi, dan Domicili Asal tetap berlaku.
Pertimbangkan kasus seorang ekspatriat yang tinggal di Singapura selama 30 tahun (Fakta Fisik terpenuhi). Namun, ia selalu mempertahankan keanggotaan klub di negara asalnya (Inggris), memiliki rekening bank kecil di sana, dan selalu berujar, "Saya akan kembali ke Essex begitu situasi politik di Asia Tenggara memburuk." Meskipun 30 tahun adalah periode yang sangat lama, jika pengadilan menemukan niat yang jelas untuk kembali pada waktu yang tidak ditentukan di masa depan, Domicili Asal (Inggris) tetap dipertahankan, dan Singapura hanyalah tempat tinggal panjang (Residence).
Lex domicili adalah aturan penunjuk (choice of law rule) yang menentukan hukum substansif mana yang harus diterapkan dalam berbagai masalah hukum pribadi. Perannya sangat sentral, khususnya dalam sistem Common Law, dalam mengatur aspek-aspek kehidupan yang paling pribadi dan fundamental.
Salah satu fungsi utama lex domicili adalah menentukan status dan kapasitas hukum seseorang. Ini termasuk kemampuan seseorang untuk:
Jika seseorang yang berdomisili di New York (usia dewasa 18) menikah di Paris dengan warga negara Italia yang berdomisili di Italia (usia dewasa 21), penentuan domisili akan krusial dalam menentukan kapasitas mereka untuk menikah jika salah satu pihak berusia 19 tahun.
Dalam hukum warisan, domisili memainkan peran yang membagi aset menjadi dua kategori utama:
Aset bergerak, seperti uang tunai, rekening bank, saham, obligasi, perhiasan, dan barang pribadi, tunduk pada hukum domisili pewaris pada saat kematiannya (lex domicili decedentis). Ini berarti, terlepas dari lokasi fisik aset bergerak tersebut, hukum dari tempat domisili pewaris akan mengatur validitas wasiat (testament) atas aset tersebut dan bagaimana aset tersebut didistribusikan jika tidak ada wasiat (intestate succession).
Aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, selalu tunduk pada hukum tempat aset itu berada (lex situs). Domisili pewaris tidak relevan untuk menentukan suksesi properti tidak bergerak.
Pembagian ini menimbulkan tantangan besar bagi perencanaan warisan internasional. Seorang individu dengan domisili Inggris tetapi memiliki vila di Spanyol dan rekening bank di Swiss harus memastikan wasiat mereka valid berdasarkan tiga sistem hukum berbeda yang diatur oleh lex domicili (untuk aset bergerak) dan lex situs (untuk aset tidak bergerak).
Lex domicili sering digunakan sebagai dasar utama bagi pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi dalam kasus perceraian. Di banyak yurisdiksi Common Law, pengadilan hanya akan memiliki kompetensi untuk membubarkan perkawinan jika salah satu pihak memiliki domisili di negara tersebut pada saat permohonan diajukan. Meskipun banyak negara modern telah melonggarkan persyaratan ini dan menerima yurisdiksi berdasarkan ‘tempat tinggal biasa’ (ordinary residence) untuk jangka waktu tertentu, domisili tetap menjadi dasar yurisdiksi yang paling mapan dan kokoh.
Penggunaan lex domicili sangat bervariasi di seluruh dunia, yang memicu konflik hukum yang kompleks ketika individu bergerak melintasi batas-batas sistem hukum utama.
Sebagian besar negara di Eropa Kontinental, Amerika Latin, dan banyak negara Asia yang mengadopsi tradisi hukum Romawi-Jermanik (Civil Law) lebih memilih menggunakan lex patriae (hukum kewarganegaraan) untuk mengatur status personal, kapasitas, dan suksesi. Bagi sistem ini, kewarganegaraan dianggap sebagai ikatan yang lebih stabil dan objektif daripada domisili, yang bergantung pada niat subjektif.
Misalnya, di Italia atau Jerman, hukum yang mengatur warisan seorang warga negara Jerman akan selalu Hukum Jerman, terlepas dari apakah ia telah berdomisili di Brazil selama 40 tahun. Ini memberikan kepastian hukum yang tinggi bagi negara asal.
Sistem Common Law, seperti yang disebutkan, menggunakan lex domicili. Meskipun stabil dalam teori, kesulitan terletak pada penentuan yang pasti mengenai niat. Dua negara Common Law, misalnya Inggris dan Amerika Serikat (yang merupakan sistem federal dengan hukum domisili negara bagian), mungkin memiliki interpretasi yang sedikit berbeda tentang apa yang memenuhi syarat sebagai niat permanen.
Konflik muncul ketika dua negara menerapkan aturan penunjuk hukum yang berbeda (konflik karakterisasi):
Seorang warga negara Prancis (menggunakan lex patriae) meninggal di London setelah tinggal 20 tahun (menggunakan lex domicili).
Hasilnya adalah situasi di mana warisan aset bergerak dapat diatur oleh dua hukum yang berbeda, memicu litigasi mahal untuk menentukan pengadilan mana yang memiliki yurisdiksi primer.
Untuk mengatasi konflik karakterisasi, beberapa sistem hukum menerapkan doktrin Renvoi (pengiriman kembali). Renvoi terjadi ketika hukum yang ditunjuk oleh pengadilan Forum (Pengadilan yang sedang menangani kasus) merujuk kembali (remits) atau merujuk ke depan (transmits) ke sistem hukum lain.
Misalnya, Pengadilan Inggris (Forum) merujuk ke Hukum Italia (berdasarkan domisili). Hukum Italia (sebagai Civil Law) merujuk kembali ke Hukum Kewarganegaraan individu tersebut, yaitu Hukum Inggris. Pengadilan Inggris kemudian harus memutuskan apakah mereka menerima pengiriman kembali ini (Renvoi penuh) atau hanya menerapkan hukum domestik Italia (Renvoi parsial).
Doktrin Renvoi, meskipun bertujuan untuk harmoni, sering kali menambah lapisan kerumitan yang luar biasa pada kasus lex domicili internasional, memerlukan pemahaman mendalam tentang aturan konflik dari setidaknya dua negara.
Selain mengatur status personal, penentuan domisili memiliki implikasi pajak yang sangat penting, terutama dalam konteks pajak warisan (Inheritance Tax) dan pajak hadiah (Gift Tax), khususnya dalam yurisdiksi yang menerapkan sistem pajak berdasarkan domisili.
Inggris Raya adalah contoh utama di mana konsep domisili sangat kritis untuk perpajakan. Seseorang yang dianggap berdomisili di Inggris (bahkan jika mereka bukan warga negara Inggris) akan dikenakan Pajak Warisan Inggris atas aset mereka di seluruh dunia (global estate). Sebaliknya, seseorang yang dianggap ‘tidak berdomisili’ (non-domiciled) di Inggris hanya dikenakan Pajak Warisan atas aset yang berada di Inggris.
Karena besarnya perbedaan kewajiban pajak ini, banyak individu berkekayaan bersih tinggi yang tinggal di Inggris mencoba membuktikan bahwa mereka mempertahankan Domicili Asal mereka di negara lain, meskipun mereka telah tinggal di Inggris selama puluhan tahun. Litigasi di bidang ini sangat intensif karena niat subjektif individu menjadi fokus penyelidikan fiskal.
Pemerintah Inggris, menyadari bahwa konsep animus manendi terlalu mudah dimanipulasi untuk tujuan pajak, memperkenalkan aturan deemed domicile. Berdasarkan aturan ini, seseorang akan "dianggap" berdomisili di Inggris untuk tujuan pajak jika:
Aturan deemed domicile ini adalah contoh bagaimana negara dapat membuat definisi hukum yang lebih ketat dan objektif (berdasarkan lamanya tinggal) untuk menimpa definisi tradisional lex domicili (berdasarkan niat), hanya untuk tujuan perpajakan.
Peran lex domicili juga fundamental dalam hukum perwalian (Trust Law), yang merupakan mekanisme kunci dalam perencanaan kekayaan di Common Law. Validitas suatu perwalian yang didirikan oleh seorang settlor (pendiri trust) atas aset bergerak sering kali diatur oleh hukum domisili settlor pada saat perwalian didirikan. Jika domisili settlor tidak jelas, seluruh struktur perwalian bisa menjadi tidak valid atau dikenakan aturan perpajakan yang tidak terduga.
Untuk mengapresiasi kerumitan total dari prinsip lex domicili, perlu dianalisis skenario di mana niat dan fakta hidup seseorang bertentangan secara diametral. Studi kasus berikut mengilustrasikan betapa halusnya perbedaan antara Residence, Domicile of Origin, dan Domicile of Choice.
Tuan B lahir di Skotlandia (Domicili Asal Skotlandia). Pada usia 25 tahun, ia pindah ke Dubai untuk bekerja di sektor minyak. Ia menikah dengan seorang wanita Dubai dan memiliki empat anak. Ia tinggal di Dubai selama 45 tahun, memiliki rumah besar, memegang kontrak kerja yang diperbarui setiap lima tahun, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan amal lokal. Ia meninggal pada usia 70 tahun. Sebelum kematiannya, ia menulis wasiat, yang menyatakan bahwa ia ingin semua asetnya diatur oleh Hukum Skotlandia dan dikuburkan di samping orang tuanya di Aberdeen. Ia juga secara teratur mengatakan kepada teman-temannya bahwa Dubai hanyalah "persinggahan yang menguntungkan".
Pihak yang mengklaim Domicile of Choice (Dubai) harus membuktikan bahwa pernyataan Tuan B tentang niat untuk kembali hanyalah harapan nostalgia yang tidak realistis, dan bahwa tindakan 45 tahun tinggal di Dubai, memiliki keluarga, dan investasi besar, secara objektif menunjukkan niat permanen.
Dalam kasus seperti ini di Common Law (khususnya Inggris), pengadilan sering memutuskan bahwa jika individu tersebut mempertahankan niat, sekecil apa pun, untuk kembali ke domisili asalnya di masa depan, Domicili Asal (lex domicili Skotlandia) akan tetap berlaku untuk aset bergeraknya di seluruh dunia, karena ia tidak berhasil memutuskan ikatan emosional dan hukum yang diperlukan untuk memperoleh Domicili Pilihan baru.
Nyonya C lahir di Kanada (Domicili Asal Kanada). Pada usia 30, ia pindah ke Florida, AS, memperoleh properti, mendirikan bisnis, dan menyatakan kepada otoritas pajak bahwa ia ingin menjadi penduduk Florida tanpa batas waktu (Domicile of Choice Florida). Setelah 15 tahun, ia menjual bisnisnya di Florida, menyewakan rumahnya, dan pindah ke Barbados dengan visa turis, karena tertarik dengan iklim yang lebih hangat. Ia tidak berniat tinggal permanen di Barbados, tetapi juga tidak yakin apakah ia akan kembali ke Florida atau Kanada.
Nyonya C telah melepaskan Domicile of Choice Florida (niat permanen tidak ada lagi karena ia menjual bisnisnya dan pindah). Karena ia tidak memiliki animus manendi untuk menetap secara permanen di Barbados (ia hanya memegang visa turis), ia berada dalam keadaan transisi. Menurut hukum Common Law tradisional:
Hasil: Begitu Domicili Pilihan (Florida) ditinggalkan, Domicili Asal (Kanada) secara otomatis bangkit kembali (revival) pada saat ia meninggalkan Florida. Hukum Kanada, sebagai lex domicili-nya, akan mengatur status pribadinya dan suksesi aset bergeraknya selama ia berada di Barbados.
Prinsip kebangkitan ini memastikan tidak ada kekosongan hukum, tetapi sering kali menghasilkan penunjukan sistem hukum yang tidak memiliki hubungan faktual yang kuat dengan kehidupan individu pada saat itu (Kanada, yang telah ditinggalkan 15 tahun lalu, tiba-tiba menjadi hukum yang berlaku).
Tuan D, warga negara Spanyol (Civil Law), berdomisili di Inggris (Common Law) sejak usia 20 tahun. Ia ingin menikah dengan Nyonya E, sepupu pertamanya, yang juga berdomisili di Inggris. Hukum Inggris melarang pernikahan antar sepupu. Hukum Spanyol mengizinkan pernikahan antar sepupu jika dispensasi diperoleh.
Dalam HPI, kapasitas substantif untuk menikah (seperti hubungan sedarah) biasanya diatur oleh lex domicili masing-masing pihak (prinsip dual domisili) atau hukum domisili calon suami pada saat perkawinan.
Meskipun Tuan D adalah warga negara Spanyol, kewarganegaraannya (lex patriae) tidak relevan di Inggris untuk kasus ini karena Inggris menggunakan sistem domisili. Jika kedua pihak berdomisili di Inggris, pernikahan mereka di mana pun di dunia (bahkan jika formalitasnya sah di tempat lain) akan dianggap batal di Inggris jika melanggar kapasitas substantif lex domicili mereka.
Mengingat mobilitas global yang kian meningkat, aturan tradisional mengenai domisili sering kali dianggap kaku, usang, dan tidak sesuai dengan realitas kehidupan modern, di mana banyak orang hidup sebagai global nomads.
Beberapa perjanjian internasional dan legislasi domestik telah mencoba menggantikan atau melengkapi lex domicili dengan konsep yang lebih faktual dan objektif, yaitu "Tempat Tinggal Biasa" (Habitual Residence atau Residence Habituelle).
Habitual Residence didefinisikan sebagai pusat kepentingan hidup seseorang, di mana ia telah tinggal selama periode waktu tertentu yang menunjukkan koneksi signifikan, tetapi tidak memerlukan niat permanen (animus manendi). Ini adalah konsep yang lebih fleksibel dan faktual.
Contohnya adalah Konvensi Den Haag (Hague Convention) di berbagai bidang, yang cenderung memilih Habitual Residence daripada Domicili untuk menentukan yurisdiksi, karena lebih mudah dibuktikan dan tidak terlalu bergantung pada niat subjektif yang dapat disembunyikan.
Beberapa yurisdiksi Common Law telah mereformasi hukum domisili mereka untuk mengurangi kekakuan doktrin tradisional, terutama prinsip kebangkitan Domicili Asal dan eliminasi Domicile of Dependence bagi wanita menikah.
Seiring meningkatnya jumlah individu yang bekerja sepenuhnya secara daring dan tidak memiliki kantor fisik tetap, atau yang sering berpindah-pindah, penentuan lex domicili menjadi semakin kabur. Dalam kasus-kasus ini, pengadilan harus kembali berpegangan pada bukti fisik yang paling kuat, seperti lokasi aset properti yang paling signifikan, lokasi penyerahan pajak terakhir yang komprehensif, dan afiliasi keluarga untuk menemukan pusat kepentingan sejati.
Inti dari hukum domisili, yaitu mencari hubungan hukum yang paling substansial antara individu dan sistem hukum tertentu, tetap menjadi tujuan fundamental, meskipun mekanisme pembuktiannya harus terus beradaptasi dengan pola migrasi dan kehidupan global yang terus berubah.
Pengadilan sering kali mencari 'titik kontak' yang paling kuat dan stabil. Dalam konteks modern, selain niat permanen, pertimbangan yang semakin penting adalah sifat keterlibatan permanen dengan infrastruktur negara tersebut, seperti investasi jangka panjang yang menunjukkan keyakinan pada masa depan ekonomi dan sosial negara tersebut.
Diskusi mengenai lex domicili terus menjadi perdebatan sengit di antara akademisi HPI. Meskipun konsep tempat tinggal biasa menawarkan solusi yang lebih mudah dibuktikan, Domicili tetap unggul dalam satu aspek: kepastian hukum jangka panjang. Kewarganegaraan dapat diubah, dan tempat tinggal biasa dapat dengan mudah dipindahkan, tetapi Domicili, dengan persyaratan niat permanen yang ekstrem, bertujuan untuk mengikat individu pada satu sistem hukum yang akan mengatur status mereka sepanjang hayat.
Kekuatan lex domicili terletak pada kemampuannya untuk beroperasi sebagai jangkar hukum bagi status seseorang, memastikan bahwa meskipun seseorang bepergian atau tinggal di puluhan negara, selalu ada sistem hukum yang dapat merujuk balik untuk menyelesaikan konflik suksesi, kapasitas, atau perkawinan. Keuletan Domicile of Origin, meskipun terkadang terlihat tidak adil, adalah manifestasi dari kebutuhan hukum untuk menambatkan setiap individu pada satu sistem hukum utama.
Oleh karena itu, meskipun ada tekanan untuk beralih ke konsep yang lebih lunak, lex domicili tetap relevan karena perannya dalam menyediakan dasar hukum yang tidak terputus bagi aspek-aspek kehidupan yang paling mendasar dan tidak dapat diubah oleh perjalanan atau tempat tinggal sementara.
Pemahaman yang cermat terhadap perbedaan antara factum dan animus manendi, serta implikasi kebangkitan Domicili Asal, adalah keharusan bagi setiap profesional hukum atau individu yang memiliki hubungan lintas batas negara. Kegagalan untuk menentukan domisili yang benar dapat mengakibatkan wasiat menjadi tidak valid, pembagian properti yang tidak terduga, atau pengadilan menolak untuk mengakui pernikahan atau perceraian.
Prinsip lex domicili adalah pilar fundamental, meskipun terkadang membingungkan, dalam Hukum Perdata Internasional. Sebagai penentu sistem hukum yang mengatur status pribadi dan suksesi atas aset bergerak, ia berfungsi sebagai cerminan komitmen hukum yang paling dalam dan permanen dari seorang individu terhadap suatu negara. Meskipun mobilitas global terus menantang aturan tradisional, penegasan niat permanen (animus manendi) akan selalu menjadi inti dari penentuan domisili hukum yang sah.
Dalam konteks globalisasi, di mana individu sering kali memiliki kewarganegaraan ganda dan tinggal di banyak yurisdiksi, memahami di mana lex domicili mereka berada bukan sekadar masalah teknis hukum, melainkan langkah penting dalam menjamin kepastian hukum, validitas perjanjian, dan perencanaan warisan yang efektif.
Perbedaan interpretasi antara yurisdiksi adalah sumber utama konflik. Bahkan di antara negara-negara Common Law, terdapat nuansa yang signifikan, terutama mengenai bagaimana pengadilan menilai 'permanen'.
Di Amerika Serikat, konsep domisili adalah penting untuk yurisdiksi pengadilan federal dan penetapan pajak negara bagian. Namun, AS menerapkan sistem federal; domisili seseorang selalu pada level negara bagian (misalnya, domisili New York, bukan domisili AS). Konsep Domicili Asal dan Domicili Pilihan tetap berlaku, tetapi doktrin kebangkitan (revival) tidak diterapkan secara universal sekuat di Inggris.
Di AS, penekanan sering kali diletakkan pada ‘tempat tinggal utama’ yang diverifikasi melalui dokumen-dokumen nyata seperti SIM, pendaftaran pemilih, dan tempat pengajuan pajak pendapatan tahunan. Meskipun niat masih menjadi faktor, bukti faktual dan dokumenter cenderung lebih dominan dibandingkan dengan introspeksi niat subjektif yang sering terjadi di pengadilan Inggris.
Kanada dan Australia, sebagai bagian dari tradisi Common Law, sangat menghargai konsep lex domicili. Namun, mereka telah mengambil langkah legislatif untuk modernisasi. Misalnya, beberapa provinsi di Kanada telah membatasi doktrin revival domisili asal, atau setidaknya mempersulitnya, untuk menghindari penunjukan hukum yang tidak memiliki hubungan substansial dengan kehidupan seseorang pada saat meninggal.
Dalam kedua yurisdiksi ini, seorang individu yang mencari Domicile of Choice harus menunjukkan perpisahan yang lengkap dan tuntas dari domisili asal mereka, dan niat yang jelas untuk membuat negara baru menjadi rumah mereka 'untuk saat ini dan di masa depan yang tidak ditentukan'. Ini sedikit lebih lunak daripada 'niat permanen' absolut yang diminta di Inggris di masa lalu, tetapi tetap membutuhkan bukti niat yang meyakinkan.
Negara-negara yang memiliki sistem hukum campuran (misalnya, Skotlandia, Afrika Selatan, Quebec, Louisiana) sering kali memiliki pendekatan HPI yang paling kompleks. Negara-negara ini mungkin menggunakan lex domicili untuk aspek suksesi tertentu, tetapi menggunakan lex patriae untuk aspek lain (misalnya, nama atau status keluarga), menciptakan kebutuhan untuk analisis berlapis dalam setiap kasus konflik hukum.
Di Skotlandia, misalnya, meskipun prinsip lex domicili berlaku, tradisi hukum Romawi-Belanda yang mendasarinya dapat memengaruhi interpretasi terhadap kapasitas hukum, sehingga menimbulkan perbedaan halus dari interpretasi Inggris murni.
Litigasi mengenai lex domicili adalah salah satu cabang HPI yang paling mahal dan sulit, karena melibatkan rekonstruksi psikologis dan faktual seluruh kehidupan seseorang yang telah meninggal. Proses pembuktian melibatkan sejumlah besar prinsip legal yang ketat.
Pihak yang mengklaim bahwa Domicili Asal telah ditinggalkan harus membuktikan dua hal:
Pengadilan sering kali mengacu pada adagium bahwa bukti yang diperlukan untuk membuktikan perubahan domisili harus 'kuat' atau 'memuaskan'. Semakin lama seseorang meninggalkan Domicili Asal, semakin mudah membuktikan factum, tetapi beban pembuktian niat (animus) sering kali tidak berkurang.
Penting untuk membedakan antara motivasi seseorang untuk pindah dan niat mereka untuk menetap. Seseorang mungkin termotivasi untuk pindah ke Bermuda untuk menghindari pajak (motivasi), tetapi selama ia memiliki niat untuk menjadikan Bermuda rumah permanennya (niat), domisili pilihan dapat diperoleh. Jika niatnya adalah "Saya akan tinggal di Bermuda hanya sampai undang-undang pajak di negara asal saya berubah", maka niat permanen tidak ada, terlepas dari motivasi pajak.
Meskipun pernyataan lisan atau tertulis dari individu yang bersangkutan (misalnya dalam surat, buku harian, atau email) tentang niatnya dapat diterima, pengadilan akan menilainya dengan skeptis jika bertentangan dengan tindakan objektifnya. Jika seseorang menyatakan dalam surat bahwa ia menganggap domisilinya adalah Prancis, tetapi seluruh aset, keluarga, dan dokumen resminya tetap di Jerman, pernyataan subjektif tersebut cenderung dikesampingkan atau dianggap tidak memiliki bobot.
Pembuktian harus mencakup banyak faktor untuk membangun gambaran utuh niat permanen:
Kewarganegaraan ganda telah menjadi norma, bukan pengecualian, bagi banyak individu di era modern. Ini menambah kompleksitas dalam kasus lex domicili, terutama ketika kasusnya harus diselesaikan di yurisdiksi Civil Law yang menggunakan lex patriae.
Jika individu memiliki kewarganegaraan A dan B, dan meninggal di negara C (yang menerapkan lex patriae), pengadilan C harus memutuskan hukum kewarganegaraan mana yang harus diutamakan. Aturan umum HPI di banyak negara Civil Law adalah:
Bagi pengadilan Common Law (yang menggunakan lex domicili), status kewarganegaraan ganda individu tersebut umumnya kurang relevan untuk menentukan domisili. Namun, kewarganegaraan ganda dapat menjadi bukti kuat mengenai animus manendi.
Misalnya, jika seseorang yang memiliki Domicili Asal Kanada (Common Law) memperoleh kewarganegaraan Australia (Common Law) dan tinggal di sana selama 30 tahun, tindakan formal memperoleh kewarganegaraan Australia adalah bukti kuat niat permanen untuk memperoleh Domicili Pilihan Australia. Sebaliknya, jika ia memperoleh kewarganegaraan Spanyol (Civil Law) tetapi tetap tinggal dan berniat permanen di Kanada, kewarganegaraan Spanyol hanyalah fakta politik dan tidak mengubah lex domicili Kanada-nya.
Hal ini menggarisbawahi mengapa, dalam sistem Common Law, lex domicili dianggap lebih pribadi dan fundamental daripada ikatan politik kewarganegaraan.
Upaya internasional untuk menyelaraskan aturan konflik hukum terus berlanjut, dipimpin oleh organisasi seperti Konferensi Den Haag tentang Hukum Perdata Internasional (HCCH). Tujuan utamanya adalah untuk menghindari situasi konflik karakterisasi yang disebabkan oleh perbedaan mendasar antara lex domicili dan lex patriae.
Konvensi ini mencoba menawarkan solusi praktis dengan mengizinkan individu untuk memilih (atau menunjuk) hukum yang akan mengatur suksesi mereka, biasanya membatasi pilihan pada hukum kewarganegaraan mereka atau hukum tempat tinggal biasa mereka. Meskipun ini memberi fleksibilitas, ia secara efektif menghindari penetapan lex domicili tradisional, memilih pendekatan yang lebih faktual atau berdasarkan pilihan individu.
Mengingat tingkat kerumitan dan potensi konsekuensi finansial serta personal yang sangat besar dari penentuan domisili yang salah, pentingnya perencanaan hukum multi-yurisdiksi tidak dapat dilebih-lebihkan. Bagi individu yang memiliki aset dan ikatan keluarga di berbagai negara yang memiliki sistem HPI berbeda (misalnya, Common Law vs. Civil Law), penentuan lex domicili yang proaktif harus menjadi prioritas.
Hanya melalui analisis mendalam terhadap semua fakta objektif dan niat subjektif seseorang, serta pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana pengadilan di domisili asal dan domisili pilihan akan menafsirkan bukti, konflik yang timbul dari prinsip lex domicili dapat dimitigasi secara efektif.
Pada akhirnya, lex domicili adalah perangkat hukum yang dirancang untuk mencapai keadilan substantif dengan memastikan bahwa individu dihakimi oleh sistem hukum yang paling mencerminkan ikatan dan komitmen hidup mereka—sebuah konsep yang tetap vital di dunia yang semakin tanpa batas.