Logosentrisme: Membongkar Pusat Kehadiran dalam Metafisika Barat

Pendahuluan: Definisi dan Hegemoni Logos

Logosentrisme (Logocentrism) merupakan sebuah konsep filosofis yang mendasar, yang menunjuk pada tradisi pemikiran Barat yang secara fundamental dan tanpa disadari menempatkan 'logos' sebagai pusat dari segala makna, kebenaran, dan realitas. Logos, yang dalam bahasa Yunani kuno dapat diartikan sebagai kata, akal, ucapan, atau prinsip universal, telah menjadi fondasi metafisika sejak Plato dan Aristoteles. Bagi para pemikir yang beroperasi dalam kerangka logosentris, harus ada sebuah pusat transenden—sebuah 'Logos' murni—yang mengendalikan dan menjamin stabilitas makna di dunia.

Tradisi logosentris ini tidak hanya memengaruhi teologi (di mana Logos sering diidentikkan dengan Tuhan atau Sabda Ilahi) tetapi juga epistemologi dan linguistik. Ia menciptakan hirarki biner yang kaku, di mana satu elemen diprioritaskan karena dianggap lebih dekat dengan pusat (kehadiran, kebenaran, asal), sementara elemen yang lain diturunkan statusnya karena dianggap sebagai turunan, suplemen, atau bahaya (ketidakhadiran, ketidakpastian, penulisan).

Kritik paling tajam dan paling berpengaruh terhadap logosentrisme datang dari filsuf post-strukturalis Prancis, Jacques Derrida. Melalui proyek dekonstruksinya, Derrida menunjukkan bahwa pusat yang diyakini stabil oleh metafisika Barat ini sebenarnya tidak pernah murni atau hadir sepenuhnya. Sebaliknya, pusat itu selalu terinfeksi oleh apa yang seharusnya ia eksklusikan—yaitu, ketidakhadiran, jejak, dan perbedaan. Pemahaman mendalam mengenai logosentrisme menuntut kita untuk menelusuri bagaimana konsep ini beroperasi dalam dualisme bahasa, khususnya dalam oposisi antara suara (ucapan) dan tulisan.

Akar Sejarah Logosentrisme: Dari Yunani Kuno hingga Modernitas

Untuk memahami kekuatan logosentrisme, kita harus kembali ke akar sejarah filsafat Barat. Konsep Logos bukanlah sekadar kata, melainkan representasi dari akal yang mengatur alam semesta. Heraclitus melihat Logos sebagai prinsip abadi yang menopang tatanan kosmik. Sementara itu, Plato mengikat Logos dengan ide ‘bentuk’ (Idea) yang abadi dan sempurna, menempatkannya di luar dunia indrawi yang fana. Kebenaran, bagi Plato, adalah akses ke Logos ini, yang merupakan kehadiran murni.

Metafisika Kehadiran (Metaphysics of Presence)

Logosentrisme pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang Derrida sebut sebagai ‘Metafisika Kehadiran’. Ini adalah asumsi fundamental bahwa makna dan realitas harus didasarkan pada sesuatu yang hadir di hadapan kesadaran secara penuh, tanpa mediasi, tanpa penundaan, dan tanpa campur tangan elemen asing (ketidakhadiran).

Kehadiran murni ini diwujudkan dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah filsafat:

Setiap kali filsafat Barat mencari dasar yang tak tergoyahkan, ia secara otomatis mencari kehadiran yang tak terelakkan, yang dijamin oleh Logos. Pusat ini berfungsi sebagai titik referensi yang tidak bergerak, yang memungkinkan semua oposisi biner lainnya—baik/buruk, terang/gelap, esensi/aksiden—untuk diorganisir dan dipertahankan. Tanpa pusat (Logos) ini, dikhawatirkan makna akan runtuh menjadi anarki relativisme total.

Fonosentrisme (Phonecentrism): Keunggulan Suara dan Pengabaian Tulisan

Titik di mana logosentrisme paling jelas memengaruhi bahasa adalah dalam fonosentrisme, yaitu superioritas yang diberikan kepada ucapan (suara) atas tulisan. Dalam tradisi Barat, suara dianggap sebagai representasi paling murni dan paling alami dari pikiran (Logos).

Suara sebagai Kehadiran Diri

Ketika seseorang berbicara, makna (konsep mental) dianggap hadir secara instan dan utuh dalam kesadaran pembicara. Suara adalah medium yang transparan. Suara dianggap sebagai 'napas' (pneuma), yang merupakan manifestasi fisik terdekat dari aktivitas mental atau spiritual (Logos) seseorang. Dalam momen ucapan, pembicara mendengarkan dirinya sendiri (seperti dalam ‘mendengar diri sendiri berbicara’), yang menjamin kehadiran penuh makna tanpa perlu perantara eksternal.

Derrida menekankan bahwa inilah alasan mengapa linguistik modern, khususnya strukturalisme Ferdinand de Saussure, secara implisit bersifat fonosentris. Saussure mendefinisikan bahasa (langue) berdasarkan tanda linguistik, yang terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Saussure memprioritaskan suara karena ia melihat tulisan hanya sebagai representasi sekunder, 'pembantu' atau 'pelengkap' yang secara grafis mencatat suara.

“Tulisan, dalam pengertian tradisional, selalu dianggap sebagai ancaman bagi kemurnian Logos, sebagai bahaya yang membawa penundaan, pengulangan mekanis, dan yang paling penting, kemungkinan dislokasi makna dari kesadaran yang hadir.”

Tulisan sebagai Ancaman dan Suplemen

Sebaliknya, tulisan (écriture) selalu dipandang negatif dalam pandangan logosentris. Tulisan dianggap:

  1. Sekunder: Tulisan hanyalah salinan dari salinan (suara).
  2. Mekanis: Tulisan kehilangan kehangatan dan intonasi pribadi dari suara.
  3. Berbahaya: Tulisan memungkinkan makna terputus dari intensi penulis. Begitu tulisan dilepaskan, ia dapat dibaca oleh siapa pun, di mana pun, tanpa kehadiran penulis.
  4. Ketidakhadiran: Tulisan adalah tanda yang berfungsi dalam ketidakhadiran (penulis dan/atau pembaca).

Logosentrisme berjuang untuk mempertahankan batas ini—bahwa ucapan adalah esensi, dan tulisan adalah aksiden—karena jika tulisan bukanlah sekadar turunan, maka kehadiran murni yang diyakini menjamin makna akan runtuh. Jika tulisan dapat berfungsi tanpa kesadaran subjek yang hadir, maka makna tidak perlu berasal dari pusat (Logos) yang utuh.

Proyek Dekonstruksi Derrida: Membalikkan Hirarki Logosentris

Logos Différance Jejak (Trace)

Ilustrasi konsep logosentrisme yang menunjukkan stabilitas pusat (Logos) yang dikelilingi oleh jejak dan diferensi yang mengganggunya.

Jacques Derrida, dalam karyanya yang monumental, Of Grammatology (1967), melakukan serangan langsung terhadap logosentrisme. Tujuan dekonstruksi bukanlah menghancurkan, melainkan menunjukkan bagaimana oposisi biner yang diciptakan oleh logosentrisme—seperti ucapan/tulisan, kehadiran/ketidakhadiran—bergantung satu sama lain dan tidak pernah murni.

Grammatologi dan Penulisan Umum (Arch-Writing)

Derrida membalikkan hirarki fonosentrisme. Ia mengusulkan Grammatologi—ilmu tentang penulisan. Namun, 'penulisan' yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan dalam pengertian harfiah (grafis), melainkan Arch-Writing (Penulisan Awal) atau Arch-Trace (Jejak Awal). Arch-Writing adalah kondisi umum yang memungkinkan bahasa itu sendiri muncul. Ini adalah sistem diferensial yang menjadi prasyarat bagi suara dan tulisan grafis.

Jika Saussure mengatakan bahwa makna muncul melalui perbedaan (misalnya, 'kucing' berbeda dari 'anjing'), Derrida mengatakan bahwa perbedaan ini hanya mungkin melalui 'jejak'. Jejak adalah penanda ketidakhadiran; ia adalah sisa dari sesuatu yang lain yang memengaruhi tanda saat ini. Setiap kali kita menggunakan tanda, jejak dari tanda-tanda lain yang dikecualikan dan ketidakhadiran subjek sudah melekat di dalamnya.

Arch-Writing menunjukkan bahwa ketidakhadiran (karakteristik tulisan) mendahului dan memungkinkan kehadiran (karakteristik ucapan). Suara tidak dapat menjadi jaminan kehadiran murni karena suara itu sendiri telah dimediasi oleh sistem penandaan yang bersifat diferensial dan berjejak. Oleh karena itu, tulisan bukanlah turunan dari suara; sebaliknya, suara sudah merupakan bentuk tulisan (sebuah jejak).

Konsep Kunci: Différance

Konsep terpenting Derrida untuk membongkar logosentrisme adalah Différance. Kata ini merupakan permainan kata antara bahasa Prancis différer (berbeda) dan différer (menunda). Derrida sengaja menggunakan ejaan 'a' (Différance) yang tidak bisa didengar dalam ucapan (hanya terlihat dalam tulisan), secara langsung menyerang fonosentrisme. Différance adalah pusat yang bukan pusat; ia adalah operasi yang bekerja di balik layar Logos.

Différance bekerja dalam dua mode simultan, yang keduanya menghancurkan Metafisika Kehadiran:

  1. Pembedaan (Differing): Makna tanda tidak pernah inheren atau hadir sepenuhnya dalam tanda itu sendiri, tetapi muncul melalui perbedaannya dengan tanda-tanda lain dalam sistem.
  2. Penundaan (Deferring): Makna tidak pernah hadir secara utuh saat ini (sekarang). Makna selalu ditunda, merujuk ke masa depan (yang belum tiba) atau masa lalu (jejak yang sudah lewat).

Logosentrisme menginginkan makna yang hadir secara utuh (penuh), tetapi Différance menunjukkan bahwa makna selalu bersifat relasional (berbeda) dan temporal (tertunda). Ini berarti tidak ada 'pusat' murni yang dapat menjamin kebenaran, karena pusat itu sendiri adalah efek dari Différance, bukan penyebabnya.

Logosentrisme dan Struktur Ilmu Pengetahuan Manusia

Kritik terhadap logosentrisme tidak terbatas pada filsafat murni atau linguistik, tetapi menjalar ke dalam struktur dasar ilmu-ilmu manusia dan disiplin akademik yang dibangun di atas fondasi metafisika kehadiran.

Logosentrisme dalam Linguistik Saussure

Meskipun Saussure memberikan kontribusi revolusioner dengan menunjukkan sifat arbitrer dari tanda (bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah konvensional, bukan alami), ia tetap terjebak dalam logosentrisme melalui fonosentrisme. Saussure secara eksplisit memprioritaskan studi tentang bahasa lisan, melihat ucapan (parole) sebagai realisasi individu dari sistem (langue).

Derrida menantang gagasan arbitrer Saussure dengan konsep jejak. Jika penanda benar-benar arbitrer, ia harus menunjuk ke ketidakhadiran. Oleh karena itu, Derrida menyimpulkan bahwa Saussure telah mendekati konsep Arch-Writing, namun terhenti karena masih mencari kehadiran murni dalam kesadaran penutur. Jika tanda sepenuhnya diferensial, maka kehadiran subjek (Logos) tidak lagi dapat berfungsi sebagai jaminan makna.

Logosentrisme dan Filsafat Politik

Dalam ranah politik, logosentrisme seringkali mewujud sebagai pencarian otoritas atau sumber hukum yang tak tergoyahkan. Setiap upaya untuk menempatkan satu prinsip tunggal—baik itu Reason, Tuhan, Negara, atau Kehendak Rakyat—sebagai pusat yang mengorganisir dan mengesahkan tatanan politik, adalah tindakan logosentris. Derrida menunjukkan bahwa pusat politik ini, seperti pusat metafisik, selalu dibangun di atas pengecualian dan kekerasan yang disamarkan. Hukum (Logos) bekerja dengan menetapkan batas, tetapi batas itu sendiri adalah hasil dari keputusan (Différance) yang tidak dapat sepenuhnya dirasionalisasi oleh hukum itu sendiri.

Logosentrisme dan Psikoanalisis

Psikoanalisis, khususnya Lacan, berpusat pada peran Bahasa dalam pembentukan subjek. Meskipun Lacan menekankan bahwa alam bawah sadar distrukturkan seperti bahasa, dan ada hukum simbolik (the Name-of-the-Father) yang mengatur realitas, Derrida akan mengajukan pertanyaan: di mana pusat hukum simbolik ini? Bagi Derrida, bahkan 'kehadiran' alam bawah sadar atau keinginan murni adalah konsep yang harus didekonstruksi, karena mereka juga dibangun di atas jejak dan pengulangan.

Filsafat logosentrisme secara historis menganggap kesadaran sebagai pusat; ia memegang gagasan bahwa subjek mengetahui dirinya sendiri dan hadir untuk dirinya sendiri. Psikoanalisis Freud dan Lacan mulai mendiskonstruksi subjek sadar ini, tetapi logosentrisme dapat bergeser, mencari pusat baru dalam 'keinginan' atau 'subjek' yang tidak sadar. Derrida mengingatkan bahwa pusat apa pun, sadar atau tidak, rentan terhadap operasi Différance.

Penerapan Konsep Derrida: Menggali Oposisi Biner

Untuk secara sistematis mendiskreditkan logosentrisme, Derrida menggunakan konsep-konsep yang dia temukan dalam teks-teks metafisika yang bertujuan untuk menjaga kemurnian Logos. Tiga konsep yang paling sering digunakan adalah Suplemen, Pharmakon, dan Hymen.

1. Suplemen (The Supplement)

Dalam Of Grammatology, Derrida menganalisis pandangan Jean-Jacques Rousseau tentang tulisan dan pendidikan. Rousseau berpendapat bahwa masyarakat 'alami' adalah masyarakat ucapan murni, sementara tulisan adalah 'suplemen' yang ditambahkan ketika kemurnian ucapan telah hilang. Logosentrisme mendefinisikan suplemen dalam dua cara yang kontradiktif namun saling membutuhkan:

Jika tulisan adalah suplemen, maka ucapan dianggap hadir (lengkap) tetapi juga tidak hadir (kekurangan sesuatu). Derrida menunjukkan bahwa dualitas ini mengungkapkan ketidakstabilan Logos. Jika ucapan membutuhkan suplemen (tulisan) untuk menjadi lengkap, maka ucapan itu sendiri tidak pernah murni atau hadir sepenuhnya sejak awal. Tulisan bukanlah tambahan eksternal, melainkan kondisi internal dari ucapan. Suplemen menghancurkan logika logosentris dengan menunjukkan bahwa 'asal' (ucapan/Logos) sudah selalu terinfeksi oleh apa yang seharusnya ia keluarkan (turunan/tulisan).

2. Pharmakon

Dalam analisis teks Plato, Derrida menemukan kata Yunani pharmakon. Kata ini secara paradoksal berarti baik 'obat' maupun 'racun'. Logosentrisme, yang selalu berusaha membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang murni dan yang berbahaya, harus dipaksa untuk memilih salah satu arti.

Derrida berargumen bahwa tulisan, dalam teks Plato, diperlakukan sebagai pharmakon. Tulisan bisa menjadi obat (membantu memori) tetapi juga racun (merusak memori otentik, memori yang hadir dalam jiwa). Karena tulisan tidak pernah bisa murni salah atau murni benar, ia menolak dimasukkan ke dalam dikotomi logosentris yang kaku. Pharmakon menunjukkan bahwa batas antara oposisi biner selalu kabur dan tidak stabil, yang merupakan pukulan fatal bagi keinginan logosentris akan pusat yang murni.

3. Hymen

Hymen (selaput dara) berfungsi dalam teks Derrida sebagai penanda batas yang ambigu—antara di dalam dan di luar, antara murni dan tercemar. Ia adalah tirai yang dapat menandakan penyatuan atau perpisahan. Seperti Différance, hymen adalah apa yang tidak dapat sepenuhnya hadir atau sepenuhnya tidak hadir. Ia menantang oposisi biner yang diperlukan logosentrisme untuk berfungsi.

Melalui analisis terperinci terhadap kata-kata ini, Derrida menunjukkan bahwa teks-teks metafisika Barat sendiri secara implisit dan tak terhindarkan telah mengandung ‘racun’ (Différance) yang menantang kemurnian Logos yang mereka coba pertahankan. Inilah esensi dekonstruksi: menunjukkan bagaimana pusat itu selalu ‘di tempat lain’ atau ‘ditunda’.

Implikasi Runtuhnya Logosentrisme

Jika logosentrisme runtuh, apa konsekuensinya bagi pemikiran, kebenaran, dan realitas? Kritik Derrida tidak mengarah pada nihilisme total, di mana tidak ada lagi makna sama sekali, melainkan pada pemahaman bahwa makna tidak berasal dari pusat yang utuh, melainkan dari interaksi dan permainan diferensial tanpa batas. Ini adalah 'permainan dunia' (the free play of the world).

Kebenaran Sebagai Permainan Bebas (Free Play)

Ketika Logos sebagai pusat kehadiran yang menjamin kebenaran ditiadakan, struktur runtuh, dan yang tersisa adalah permainan bebas penanda. Tidak ada lagi satu makna pun yang dapat mengklaim keunggulan atau kebenaran universal karena semua penanda hanya merujuk pada penanda lain, dalam rantai tanpa akhir yang disebut Derrida sebagai 'intertekstualitas umum'.

Hal ini membebaskan interpretasi dari batasan tunggal. Sebuah teks tidak lagi memiliki 'makna asli' yang dimaksudkan oleh penulis (yang diasumsikan hadir dalam kesadaran penulis). Sebaliknya, makna adalah hasil dari interaksi pembaca dengan jejak-jejak yang tertanam dalam teks. Ini secara radikal mengubah cara kita mendekati studi sastra, hukum, dan sejarah.

Etika dan Tanggung Jawab dalam Ketidakhadiran

Banyak kritikus awal berpendapat bahwa jika Logosentrisme runtuh, etika juga akan runtuh karena tidak ada lagi dasar universal untuk moralitas. Namun, Derrida berpendapat bahwa etika yang otentik hanya dapat muncul setelah Logosentrisme ditiadakan. Etika logosentris selalu bersifat perhitungan: ia didasarkan pada aturan universal yang harus diikuti (kehadiran hukum).

Etika dekonstruktif, sebaliknya, muncul dalam respons terhadap ‘Yang Lain’ (l’autre) yang sama sekali tidak dapat diprediksi atau dikategorikan oleh Logika. Tanggung jawab otentik terjadi di hadapan yang tidak dapat diprediksi, di mana tidak ada aturan yang dapat memberikan jaminan. Ini adalah tanggung jawab tanpa pengetahuan—momen di mana kita merespons sesuatu yang berada di luar Logos dan kehadiran yang kita yakini.

Masa Depan Penulisan

Dengan memprioritaskan Arch-Writing, Derrida tidak menganjurkan kita untuk berhenti berbicara dan mulai menulis; ia menuntut kita untuk memahami bahwa bahasa, terlepas dari medianya, selalu beroperasi dalam mode penulisan (sebagai sistem diferensial yang mampu berfungsi tanpa kehadiran subjek).

Logosentrisme telah mengajarkan kita untuk mencari asal dan fondasi. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk hidup di dalam ‘tidak ada fondasi’ dan untuk beroperasi dengan memahami bahwa kehadiran selalu dimediasi oleh ketidakhadiran (jejak). Ini adalah tantangan untuk berpikir melampaui hirarki biner dan menerima sifat temporal dan diferensial dari makna.

Logosentrisme di Era Informasi dan Jaringan Digital

Paradigma logosentrisme menemukan manifestasi baru dan menarik dalam lanskap digital modern. Meskipun teknologi digital seharusnya bersifat anti-logosentris karena mendispersi informasi dan menghilangkan kebutuhan akan pusat fisik, terdapat upaya berkelanjutan untuk membangun Logos baru dalam sistem informasi.

Pencarian Pusat Algoritma

Dalam dunia komputasi, algoritma sering kali diperlakukan sebagai Logos baru. Ada kepercayaan yang kuat bahwa algoritma tertentu (seperti algoritma pencarian Google, atau algoritma media sosial) dapat mencapai kebenaran atau objektivitas murni dalam memproses data yang masif. Manusia cenderung mempercayai bahwa ada pusat rasional yang mengendalikan dan memvalidasi informasi yang kita terima.

Namun, dalam pandangan Derridean, algoritma ini hanyalah bentuk Arch-Writing yang sangat kompleks. Mereka adalah jejak (data dari masa lalu) yang beroperasi melalui perbedaan dan penundaan (hasil pencarian selalu diferensial dan dapat berubah). Tidak ada algoritma murni yang hadir secara penuh. Setiap algoritma bergantung pada data yang tidak lengkap, bias yang sudah ada, dan interpretasi yang ditunda, menegaskan kembali bahwa pusat kebenaran dalam informasi digital adalah ilusi logosentris yang modern.

Suara dan Kehadiran di Media Sosial

Fenomena media sosial sering kali berupaya menciptakan kembali ilusi fonosentrisme dan kehadiran. Misalnya, melalui siaran langsung (live streaming) atau panggilan video, ada upaya untuk menjamin 'kehadiran' simultan dan immediacy. Logosentrisme menginginkan komunikasi yang transparan, di mana subjek hadir sepenuhnya melalui suara dan gambar real-time.

Namun, media digital selalu mediasi. Kehadiran yang dirasakan dalam siaran langsung adalah kehadiran yang sudah terpotong, direkayasa, dan tertunda (lag, buffering). Kehadiran digital adalah sebuah 'simulakra' (tiruan yang tidak memiliki asal), yang ironisnya semakin memperkuat tesis Derrida: bahwa yang kita alami sebagai kehadiran (suara yang murni) sudah selalu merupakan tulisan (jejak dan pengulangan teknis).

Logosentrisme dalam Ideologi Budaya

Secara lebih luas, logosentrisme terus menopang ideologi-ideologi yang mencari fondasi mutlak: fundamentalisme agama (Logos Ilahi yang tidak dapat diganggu gugat), ultranasionalisme (Logos bangsa atau ras yang murni), dan scientisme (Logos akal ilmiah yang mampu menjelaskan segalanya tanpa residu). Dekonstruksi berfungsi sebagai alat kritis untuk membongkar fondasi-fondasi ini, menunjukkan bahwa kemurnian yang mereka klaim selalu dibangun di atas pengucilan, kekerasan, dan jejak-jejak ketidakhadiran.

Setiap kali wacana publik menuntut "kembali ke dasar" atau "menemukan esensi yang hilang," ia sedang melakukan operasi logosentris, berusaha untuk melarikan diri dari sifat diferensial dan temporal dari realitas.

Analisis Mendalam Struktur Logosentris dalam Filsafat Tradisional

Untuk memahami sepenuhnya keberadaan logosentrisme, penting untuk meninjau bagaimana ia membentuk pasangan oposisi yang menjadi ciri khas metafisika Barat, di mana satu elemen selalu superior dan menjadi penjaga Logos:

  1. Inteligibel / Sensibel (Yang Dapat Dipahami / Yang Dapat Diindera): Logos adalah akal yang memahami bentuk-bentuk murni (inteligibel). Dunia yang sensibel, yang fana dan berubah-ubah, adalah ketidakhadiran dan bayangan (Plato).
  2. Essence / Accident (Esensi / Aksiden): Esensi adalah hakikat yang tak berubah (hadir), sementara aksiden adalah sifat-sifat yang tidak penting dan dapat berubah (tidak hadir secara substansial).
  3. Internal / Eksternal: Pikiran, kesadaran, dan jiwa dianggap internal dan otentik (hadir), sementara tubuh, dunia, dan bahasa tertulis dianggap eksternal dan potensial membahayakan.
  4. Sistem / Peristiwa (Langue / Parole): Dalam linguistik, sistem bahasa (Langue) yang abstrak dan stabil dianggap lebih esensial daripada ucapan nyata yang kacau (Parole).

Logosentrisme secara inheren bersifat teleologis; ia selalu bergerak menuju suatu tujuan akhir (telos) yang merupakan kesadaran, kehadiran penuh, dan kebenaran mutlak. Derrida berpendapat bahwa filsafat tidak pernah lepas dari cita-cita ini, bahkan ketika ia mengklaim telah mengakhirinya. Setiap akhir filsafat yang diklaim oleh gerakan seperti positivisme atau eksistensialisme, seringkali hanya menggantikan Logos lama dengan Logos yang baru (misalnya, mengganti Tuhan dengan Sains atau Kebebasan Absolut).

Subjek, Kesadaran, dan Waktu

Logosentrisme paling kuat berakar dalam konsep subjek yang sadar dan mandiri. Subjek Cartesian ('Aku berpikir, maka aku ada') adalah inti dari kehadiran murni. Subjek dianggap memiliki akses langsung ke maknanya sendiri (suara internal), tanpa mediasi.

Derrida menantang 'kesadaran murni' ini dengan menunjukkan bahwa 'Aku' yang hadir pada dirinya sendiri sudah tertunda. Kesadaran diri adalah operasi penandaan yang melibatkan memori (jejak masa lalu) dan proyeksi (penundaan masa depan). 'Kehadiran' subjek selalu terbelah, sebuah hasil dari Différance temporal dan spasial. Jadi, bahkan dalam momen 'sekarang' yang paling intim, kita sudah dipengaruhi oleh struktur yang bersifat menulis—struktur yang bekerja dalam ketidakhadiran.

Penulis dan Intensi

Dalam kritik sastra dan hukum, logosentrisme termanifestasi sebagai pencarian ‘intensi penulis’ atau ‘maksud legislatif’. Diandaikan bahwa penulis, sebagai pusat kesadaran yang hadir, memiliki maksud tunggal dan jelas yang harus ditemukan dan dipulihkan oleh pembaca.

Dekonstruksi menolak ide ini. Begitu sebuah teks ditulis, ia melepaskan diri dari intensi penulis. Tulisan harus mampu diulang (iterasi) dalam ketidakhadiran penulis, di bawah kondisi yang tidak dapat diantisipasi oleh penulis. Kemampuan teks untuk berfungsi dalam ketidakhadiran inilah yang disebut Derrida sebagai citationality (kemampuan untuk dikutip). Ini adalah bukti bahwa makna tulisan tidak pernah bergantung pada kehadiran Logos yang utuh, tetapi pada sistem diferensial yang memungkinkan pengulangan yang tak terbatas dan perubahan konteks.

Kesimpulan: Melampaui Logosentrisme

Logosentrisme bukan sekadar teori usang; ia adalah struktur operasi yang tersembunyi dalam sebagian besar pemikiran Barat, yang secara terus-menerus mencari keamanan, kepastian, dan pusat yang menjamin stabilitas makna. Ia berjuang keras untuk memprioritaskan kehadiran murni (suara, akal, asal) sambil mengesampingkan yang lain (tulisan, emosi, turunan, ketidakhadiran).

Kritik Derrida, melalui dekonstruksi, menunjukkan bahwa pusat ini tidak pernah hadir dan tidak pernah murni. Ia adalah ilusi yang dibangun di atas jejak, perbedaan, dan penundaan (Différance). Dengan membalikkan hirarki dan menunjukkan bahwa 'penulisan' (Arch-Writing) mendahului 'suara', Derrida memaksa kita untuk menerima bahwa makna selalu berada dalam gerakan, selalu bersifat relasional, dan tidak pernah utuh. Memahami logosentrisme berarti menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung metafisik yang aman dari ketidakpastian bahasa dan dunia.

Tantangan yang ditinggalkan oleh Derrida adalah bagaimana berpikir dan bertindak secara etis dan bertanggung jawab dalam dunia yang tanpa pusat, dunia di mana Logos telah dibongkar. Ini bukan akhir dari makna, melainkan pembukaan tak terbatas terhadap kemungkinan penulisan dan pemikiran baru, yang menerima peran ketidakhadiran sebagai prasyarat bagi setiap bentuk kehadiran.