Fenomena zonasi aktivitas tertentu di kawasan perkotaan, yang seringkali disebut dengan istilah lokalisasi, merupakan isu sosial, ekonomi, dan tata ruang yang sangat kompleks. Lebih dari sekadar masalah moralitas atau ketertiban, lokalisasi mencerminkan kegagalan struktural dalam pembangunan ekonomi inklusif dan perencanaan kota yang adil. Analisis terhadap isu ini memerlukan pemahaman mendalam mengenai sejarah regulasi ruang, dinamika migrasi, kerentanan sosial, serta perdebatan kebijakan antara pendekatan abolisionis dan regulatif.
Konsep lokalisasi, sebagai upaya penataan ruang yang memisahkan aktivitas tertentu dari pusat kehidupan ‘normal’ masyarakat, bukanlah fenomena baru. Akar historisnya seringkali dapat ditelusuri kembali pada periode kolonial, di mana pemerintah berusaha mengendalikan dan membatasi penyebaran penyakit serta menjaga ketertiban moral publik melalui zonasi ketat. Tujuan utamanya adalah pemisahan spasial sebagai alat kontrol sosial dan kesehatan. Dalam konteks Indonesia modern, istilah ini menjadi sinonim dengan ruang yang tersegregasi, menciptakan dualisme dalam tata ruang kota: ruang formal yang diakui dan ruang 'abu-abu' yang diizinkan tetapi direndahkan.
Kata "lokalisasi" secara harfiah berarti penetapan atau pembatasan pada suatu lokasi. Namun, dalam diskursus publik di Indonesia, maknanya telah mengalami penyempitan yang signifikan. Pergeseran makna ini mengindikasikan penerimaan sosial—meski seringkali diwarnai penolakan moral—bahwa aktivitas yang dianggap tabu atau kontroversial diakui keberadaannya asalkan dibatasi secara geografis. Ruang yang terlokalisasi ini berfungsi sebagai katup pengaman sosial sekaligus sebagai penanda kegagalan integrasi sosial-ekonomi, menampung kelompok-kelompok rentan yang tersingkir dari pasar kerja formal dan akses sumber daya yang memadai.
Dalam ilmu tata ruang, zonasi seperti ini sering dipandang melalui lensa teori segregasi. Segregasi dalam konteks ini adalah pemisahan fungsional yang dilegitimasi, baik oleh regulasi formal pemerintah daerah maupun oleh praktik sosial. Lokalisasi adalah bentuk segregasi terencana. Implikasi dari segregasi ini sangat mendalam. Pertama, ia menciptakan stigma geografis yang melekat, menjadikan seluruh area tersebut identik dengan label negatif, terlepas dari aktivitas ekonomi legal lain yang mungkin ada di sana. Kedua, segregasi ini membatasi akses penduduk di area tersebut terhadap layanan publik yang berkualitas, infrastruktur yang layak, dan kesempatan investasi formal, memperkuat siklus kemiskinan dan marginalisasi.
Masyarakat perkotaan seringkali menunjukkan dualisme moral yang kentara terhadap fenomena lokalisasi. Di satu sisi, ada desakan kuat untuk penghapusan total (abolisionisme) dengan alasan moral dan agama. Di sisi lain, secara pragmatis, keberadaan zona terpisah ini dianggap sebagai ‘kejahatan yang perlu’ untuk menjaga ketertiban di area lain kota. Peta kota menjadi cerminan dari dualisme ini, di mana sebagian wilayah ditandai sebagai zona yang harus dijauhi atau ‘dibersihkan,’ sementara wilayah lainnya dipromosikan sebagai pusat pertumbuhan dan kemajuan. Ketegangan antara aspirasi ideal kota yang bersih dan realitas sosial-ekonomi yang keras selalu menjadi jantung perdebatan kebijakan tata ruang.
Kondisi ini memaksa pemerintah daerah untuk terus-menerus menimbang antara tekanan masyarakat sipil dan kelompok moral yang menuntut penutupan, dengan pertimbangan pragmatis mengenai migrasi aktivitas ilegal ke wilayah yang lebih tersembunyi (spillover effect) dan potensi peningkatan risiko kesehatan publik jika aktivitas tersebut menyebar tanpa kontrol. Pendekatan setengah hati ini seringkali menghasilkan kebijakan yang tidak konsisten dan tidak berkelanjutan, hanya memindahkan masalah dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa menyelesaikan akar masalah kemiskinan dan kerentanan.
Salah satu aspek yang paling sering terabaikan dalam diskursus mengenai lokalisasi adalah perannya sebagai jangkar bagi ekonomi informal yang sangat luas. Area-area ini bukan hanya tempat berlangsungnya aktivitas inti yang kontroversial, melainkan juga pusat bagi ratusan usaha mikro legal—warung makan, penginapan murah, penyedia jasa transportasi, hingga pedagang kecil—yang kehidupannya sangat bergantung pada sirkulasi uang yang dihasilkan oleh lokalisasi tersebut. Penghapusan mendadak, tanpa perencanaan transisi ekonomi yang matang, dapat memicu krisis ekonomi mikro yang meluas di tingkat komunitas.
Lokalisasi menjadi solusi darurat bagi banyak individu yang terlempar dari pasar kerja formal karena tingkat pendidikan rendah, ketiadaan keterampilan spesifik, atau diskriminasi gender. Pasar informal ini seringkali dicirikan oleh upah yang rendah, jam kerja yang tidak menentu, dan ketiadaan perlindungan hukum atau jaminan sosial. Bagi banyak perempuan migran dari desa, lokalisasi menawarkan jalur cepat (meskipun berisiko tinggi) untuk memperoleh pendapatan yang cukup signifikan dibandingkan peluang yang tersedia di kampung halaman atau di sektor formal kota.
Analisis ekonomi menunjukkan bahwa aktivitas di zona terlokalisasi memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang kuat. Dana yang beredar di zona tersebut dengan cepat diinvestasikan kembali dalam rantai pasokan lokal, mulai dari sewa kamar, pembelian kebutuhan sehari-hari, hingga pembayaran jasa keamanan. Ini berarti bahwa keputusan untuk menutup area tersebut tidak hanya berdampak pada kelompok inti, tetapi juga pada ekosistem ekonomi yang lebih luas, termasuk pemilik lahan yang menyewakan properti, tukang ojek, hingga grosir bahan pangan.
Meskipun menghasilkan sirkulasi uang, lingkungan lokalisasi sering diperburuk oleh rantai eksploitasi struktural yang kompleks. Individu yang bekerja di dalamnya rentan terhadap:
Isu eksploitasi ini menunjukkan bahwa lokalisasi adalah gejala dari ketimpangan ekonomi yang lebih besar, di mana kelompok yang paling rentan secara sosial dipaksa masuk ke dalam sistem yang dirancang untuk mengeksploitasi kebutuhan finansial mendesak mereka. Oleh karena itu, solusi yang efektif harus mencakup penguatan perlindungan hukum dan penciptaan alternatif ekonomi yang bermartabat.
Zona lokalisasi memainkan peran krusial dalam peta penanggulangan kesehatan publik, terutama terkait penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Konsentrasi populasi rentan di area terbatas ini, meskipun memudahkan intervensi kesehatan, juga menciptakan risiko penularan yang lebih tinggi jika program intervensi tidak efektif atau tidak menjangkau seluruh populasi yang ada.
Salah satu argumen praktis yang sering digunakan oleh pendukung regulasi (daripada abolisi) adalah bahwa lokalisasi memudahkan pelaksanaan program kesehatan masyarakat. Program pendidik sebaya, penyediaan kondom gratis, dan layanan Konseling dan Tes Sukarela (VCT) dapat dilakukan secara lebih terfokus dan efisien di area-area ini. Data historis menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang terorganisir dengan baik, tingkat kesadaran dan penggunaan alat pelindung diri justru lebih tinggi dibandingkan populasi yang tersebar di wilayah perkotaan lainnya.
Namun, efektivitas ini bergantung pada stabilitas lokasi. Ketika lokalisasi ditutup secara tiba-tiba, populasi berisiko tinggi akan menyebar ke kawasan yang lebih tersembunyi—seperti kos-kosan, tempat hiburan malam non-tradisional, atau wilayah pinggiran kota—menyulitkan tim kesehatan untuk melacak, mendidik, dan memberikan layanan medis yang berkelanjutan. Penyebaran ini dikenal sebagai efek dislokasi kesehatan, yang secara ironis dapat meningkatkan prevalensi penyakit di seluruh kota.
Lokalisasi sering menjadi titik transit bagi migran internal, terutama perempuan dari kawasan pedesaan dengan latar belakang ekonomi yang lemah. Pola migrasi ini dipicu oleh faktor dorongan (push factors) seperti kegagalan panen, kurangnya kesempatan kerja di desa, dan beban ekonomi keluarga, serta faktor tarikan (pull factors) berupa janji pendapatan yang relatif cepat di kota.
Proses urbanisasi yang tidak merata ini menghasilkan peningkatan populasi rentan di kota-kota besar. Ketika kota tidak mampu menyediakan lapangan kerja formal yang cukup, lokalisasi menjadi 'solusi' maladaptif yang menampung kelebihan tenaga kerja ini. Migrasi ini juga menciptakan kerentanan ganda: mereka terpisah dari dukungan keluarga tradisional, namun belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem dukungan sosial perkotaan, membuat mereka semakin bergantung pada struktur internal zona terlokalisasi yang rentan terhadap eksploitasi.
Kajian demografi menunjukkan bahwa mayoritas pekerja di zona ini adalah pendatang yang berusia produktif. Keputusan mereka untuk bekerja di sini seringkali didorong oleh kebutuhan mendesak untuk mengirimkan uang kembali ke kampung halaman (remitansi), yang ironisnya, berperan dalam menopang ekonomi pedesaan yang ditinggalkan. Ini menciptakan keterkaitan ekonomi antar wilayah yang kompleks dan sulit diputus hanya dengan kebijakan penutupan tunggal.
Perdebatan kebijakan utama mengenai fenomena lokalisasi berkisar pada dua kutub: pendekatan abolisionis dan pendekatan regulatif. Kedua pendekatan ini memiliki argumen etis dan pragmatis yang kuat, tetapi implementasinya di Indonesia sering menghadapi kendala budaya, hukum, dan politik yang signifikan.
Pendekatan abolisionis berpandangan bahwa aktivitas yang terjadi di lokalisasi adalah pelanggaran moral dan hukum, serta merupakan bentuk eksploitasi manusia. Oleh karena itu, satu-satunya solusi yang etis adalah penutupan total dan pembersihan ruang tersebut dari peta kota. Tujuan utamanya adalah pemulihan martabat dan pemberantasan kejahatan terorganisir.
Argumen pendukung abolisi:
Namun, pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa penutupan masif seringkali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Salah satu konsekuensi paling umum adalah efek ‘ballooning’, di mana aktivitas tidak hilang, melainkan menyebar dan muncul kembali di lokasi-lokasi yang lebih kecil, tersembunyi, dan kurang terpantau. Hal ini secara signifikan mengurangi efektivitas intervensi kesehatan dan meningkatkan risiko eksploitasi karena aktivitas beroperasi di bawah radar hukum.
Pendekatan regulatif mengakui bahwa selagi akar masalah sosial-ekonomi belum teratasi, aktivitas tersebut akan terus ada. Oleh karena itu, lebih pragmatis untuk mengaturnya, membatasi, dan mengawasinya demi alasan kesehatan dan ketertiban umum. Fokusnya adalah pada pengurangan dampak buruk (harm reduction).
Komponen utama regulasi:
Kritik terhadap regulasi berfokus pada pandangan bahwa pengaturan sama dengan legitimasi, yang secara etis dianggap tidak dapat diterima. Regulasi juga dapat memperkuat kekuasaan birokrasi dan jaringan informal yang mengontrol zona tersebut, sehingga semakin sulit bagi individu yang ingin keluar dari lingkaran tersebut. Meskipun demikian, secara pragmatis, di banyak negara, pendekatan regulatif terbukti lebih efektif dalam mengendalikan penyebaran penyakit dan memfasilitasi intervensi sosial.
Di Indonesia, kebijakan seringkali bersifat siklikal: penutupan terjadi karena dorongan politik dan moral, diikuti oleh penyebaran yang tidak terkontrol, dan kemudian muncul kembali zona-zona baru yang memerlukan regulasi informal. Ketidakberlanjutan ini disebabkan oleh:
Ketika pemerintah daerah memutuskan untuk menutup sebuah lokalisasi, seringkali tujuan utamanya adalah revitalisasi urban dan pemulihan citra kota. Namun, proses pasca-penutupan ini sarat dengan tantangan, terutama dalam hal penggunaan kembali ruang, relokasi penduduk, dan pengangkatan stigma kolektif yang sudah tertanam dalam memori kolektif masyarakat.
Setelah penutupan, lahan yang dulunya digunakan oleh lokalisasi menjadi subjek sengketa tata ruang. Ada tekanan untuk mengubahnya menjadi ruang publik yang 'sehat'—misalnya, taman kota, pusat pelatihan, atau fasilitas olahraga. Namun, perencanaan ulang ini harus mengatasi dua masalah utama: kepemilikan lahan yang seringkali kompleks (campuran antara milik pribadi dan aset daerah) dan resistensi dari komunitas yang sebelumnya tinggal atau berbisnis di area tersebut.
Tujuan revitalisasi harus lebih dari sekadar perubahan fisik. Jika infrastruktur baru dibangun di atas lahan bekas lokalisasi tanpa mengatasi stigma, masyarakat masih enggan untuk menggunakannya. Revitalisasi yang berhasil harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan memastikan bahwa fungsi baru yang ditetapkan benar-benar memberikan manfaat ekonomi dan sosial, tidak hanya sekadar kosmetik tata ruang. Kegagalan dalam perencanaan ini dapat menyebabkan lahan terbengkalai, menciptakan kantong-kantong kekosongan (voids) yang justru mengundang masalah sosial baru.
Keberhasilan penutupan lokalisasi diukur bukan dari berhasilnya pembongkaran bangunan, melainkan dari kemampuan individu yang terdampak untuk mengintegrasikan diri kembali ke dalam masyarakat secara mandiri dan bermartabat. Program rehabilitasi sosial memerlukan pendekatan multidimensi yang mencakup aspek psikologis, medis, dan ekonomi.
Elemen kunci dalam program rehabilitasi yang komprehensif:
Studi kasus menunjukkan bahwa program rehabilitasi seringkali terputus setelah enam hingga dua belas bulan pertama. Padahal, proses transisi ekonomi dan sosial bagi individu yang telah lama berada di sektor informal membutuhkan dukungan yang stabil setidaknya selama dua hingga tiga tahun untuk mencapai kemandirian yang sejati. Kurangnya dukungan jangka panjang ini sering menjadi penyebab utama tingginya tingkat kegagalan dan kembalinya individu ke sektor informal yang sama, namun di lokasi yang berbeda.
Isu lokalisasi tidak dapat dipisahkan dari kerangka Hak Asasi Manusia (HAM), terutama terkait dengan hak atas pekerjaan yang layak, hak atas kesehatan, dan perlindungan dari eksploitasi. Pendekatan HAM menuntut bahwa setiap kebijakan, baik regulatif maupun abolisionis, harus menempatkan kepentingan dan keselamatan individu yang paling rentan sebagai prioritas utama.
Dalam konteks HAM, fokus harus diarahkan pada memastikan bahwa tidak ada individu yang terpaksa memasuki sektor berisiko tinggi karena ketiadaan pilihan ekonomi yang layak. Ketika pemerintah menutup sebuah area, mereka secara etis dan hukum berkewajiban untuk menyediakan akses ke alternatif pekerjaan yang setara atau lebih baik. Pelanggaran HAM terjadi ketika penutupan hanya didasarkan pada moralitas tanpa memberikan solusi nyata atas krisis ekonomi yang dihadapi individu.
Selain itu, perdebatan tentang otonomi tubuh dan hak individu untuk memilih pekerjaan juga muncul, meskipun ini seringkali dikesampingkan oleh isu eksploitasi dan perdagangan manusia. Penting untuk membedakan antara individu yang dipaksa atau diperdagangkan, dengan individu dewasa yang memilih jalur ini (meskipun dalam kondisi keterbatasan ekonomi) sebagai cara bertahan hidup. Pendekatan HAM harus mampu melindungi kelompok pertama sekaligus memberdayakan kelompok kedua.
Salah satu alasan paling kuat untuk intervensi negara adalah peran lokalisasi sebagai tempat persembunyian atau mata rantai dalam jaringan perdagangan manusia. Area yang terorganisir, meskipun secara teoritis lebih mudah diawasi, seringkali memiliki mekanisme internal yang kompleks yang menyembunyikan praktik ilegal. Aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan anak harus memiliki akses tanpa hambatan ke zona-zona ini, baik sebelum maupun setelah penutupan, untuk mengidentifikasi dan menyelamatkan korban.
Penutupan seringkali mempersulit upaya identifikasi korban perdagangan karena penyebaran aktivitas ke lokasi yang lebih privat dan tersembunyi. Oleh karena itu, strategi penanggulangan harus mencakup penguatan intelijen berbasis komunitas dan pelatihan khusus bagi aparat untuk mengenali tanda-tanda perdagangan manusia, bahkan di lingkungan informal seperti kos-kosan atau warung remang-remang.
Melihat kompleksitas yang ada, masa depan penanganan fenomena lokalisasi tidak dapat didasarkan pada solusi tunggal, melainkan memerlukan integrasi kebijakan yang holistik, lintas sektor, dan berorientasi pada pencegahan akar masalah. Kota yang inklusif adalah kota yang mampu menyediakan ruang ekonomi dan sosial bagi semua lapisan penduduk, mengurangi kebutuhan individu untuk mencari nafkah di sektor marginal yang penuh risiko.
Penanganan lokalisasi harus dipindahkan dari domain moral/ketertiban umum (yang sering ditangani oleh Satpol PP) ke domain pembangunan sosial dan ekonomi. Dibutuhkan kerja sama erat antara:
Integrasi ini menuntut adanya alokasi anggaran yang jelas dan komitmen politik jangka panjang yang melampaui masa jabatan kepala daerah. Tanpa komitmen anggaran yang memadai untuk fase pasca-penutupan (rehabilitasi dan revitalisasi), setiap upaya penutupan hanyalah penundaan masalah.
Solusi pencegahan jangka panjang terletak pada penguatan ekonomi di tingkat desa dan kota-kota kecil (secondary cities). Jika peluang kerja yang layak tersedia di daerah asal migran, faktor dorongan (push factor) yang memicu urbanisasi rentan akan berkurang secara signifikan. Ini memerlukan investasi dalam sektor pertanian berkelanjutan, pengembangan industri kecil di daerah pedesaan, dan peningkatan kualitas pendidikan serta kesehatan di seluruh wilayah.
Di perkotaan, dibutuhkan pengakuan dan formalisasi sektor informal secara bertahap. Meskipun sulit, langkah-langkah untuk memberikan perlindungan sosial minimum (seperti asuransi kesehatan) dan akses ke permodalan resmi kepada pekerja informal dapat mengurangi kerentanan mereka terhadap eksploitasi dan meningkatkan kualitas hidup mereka tanpa harus menunggu mereka beralih ke sektor formal sepenuhnya.
Stigma adalah hambatan terbesar dalam upaya reintegrasi sosial. Media massa dan program edukasi publik harus berperan aktif dalam mengubah narasi dari menyalahkan individu menjadi menganalisis kegagalan sistemik. Fokus harus digeser dari 'pembersihan' moral menjadi pembangunan ketahanan sosial. Edukasi publik harus menyoroti bahwa individu yang bekerja di zona lokalisasi seringkali adalah korban dari ketidakadilan struktural dan memerlukan dukungan, bukan penghakiman.
Diperlukan kampanye yang mengajarkan masyarakat tentang pentingnya penerimaan, hak-hak asasi, dan bahaya dari stigma yang menghalangi individu untuk mengakses layanan kesehatan dan program transisi. Hanya melalui perubahan paradigma sosial yang mendalam, di mana kota dilihat sebagai ruang bersama yang inklusif, masalah lokalisasi dapat diatasi secara permanen dan berkelanjutan.
Fenomena zonasi aktivitas tertentu, meskipun dengan nama dan konteks berbeda, adalah tantangan global. Melihat bagaimana negara-negara lain menangani isu serupa dapat memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia, terutama dalam hal menyeimbangkan kontrol publik, perlindungan kesehatan, dan hak asasi manusia.
Beberapa negara maju cenderung mengadopsi model desentralisasi, di mana aktivitas mungkin tidak secara eksplisit terlokalisasi dalam satu kompleks tunggal, tetapi diizinkan beroperasi di bawah regulasi ketat di berbagai area. Model ini menghindari terciptanya stigma masif di satu titik geografis tetapi memerlukan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum yang sangat tinggi di tingkat lokal.
Di sisi lain, model sentralisasi (mirip dengan konsep lokalisasi) di beberapa kota Eropa, meskipun menghadapi kritik moral, terbukti efektif dalam membatasi penyebaran geografis, memfasilitasi pengawasan kesehatan yang intensif, dan memudahkan pengorganisasian layanan sosial. Kunci keberhasilan model sentralisasi terletak pada kejelasan kerangka hukum yang memisahkan aktivitas yang diizinkan dengan tegas dari praktik eksploitasi, kekerasan, atau perdagangan manusia, sesuatu yang sering kabur dalam implementasi di Indonesia.
Negara yang berhasil dalam mengurangi dampak buruk seringkali menempatkan pendekatan kesehatan sebagai inti kebijakan mereka. Ini melibatkan pengakuan bahwa pekerja di sektor ini adalah subjek hukum yang memiliki hak kesehatan. Strategi ini menekankan:
Pembelajaran utama adalah bahwa penanganan yang efektif tidak dapat dicapai melalui penolakan moral semata. Sebaliknya, hal itu memerlukan penerimaan pragmatis terhadap realitas sosial dan penerapan kebijakan yang didorong oleh data kesehatan dan prinsip perlindungan hak asasi manusia. Kegagalan untuk melindungi mereka yang paling rentan, entah melalui regulasi yang buruk atau penutupan tanpa solusi, hanya akan memperburuk masalah kesehatan dan sosial di masa depan.
Fenomena lokalisasi adalah sebuah cermin besar yang merefleksikan ketidaksempurnaan pembangunan dan ketidakadilan struktural dalam masyarakat perkotaan. Ia bukan hanya masalah yang harus 'dibuang,' melainkan sebuah indikator kompleks yang menuntut perhatian serius terhadap kemiskinan, migrasi, dan kegagalan sistem pendidikan dan pekerjaan formal.
Masa depan penanganan isu ini di Indonesia harus bertumpu pada pergeseran paradigma dari penghukuman moral menjadi intervensi berbasis pembangunan sosial dan ekonomi. Solusi jangka panjang tidak terletak pada pemindahan atau penutupan fisik semata, tetapi pada penciptaan kota yang benar-benar inklusif—di mana peluang ekonomi tersebar merata, layanan kesehatan mudah diakses, dan perlindungan hukum menjangkau semua warga negara, terlepas dari latar belakang atau jenis pekerjaan mereka.
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memimpin transformasi ini, memastikan bahwa setiap keputusan tata ruang dan sosial diambil berdasarkan data yang valid, analisis dampak yang komprehensif, dan komitmen yang teguh terhadap martabat setiap individu yang terdampak. Hanya dengan pendekatan yang terpadu dan berkelanjutan, dilema ruang kota ini dapat diubah dari sumber masalah menjadi katalisator bagi keadilan sosial dan pembangunan yang lebih merata.
Di balik narasi eksploitasi, penting untuk mengakui adanya resiliensi sosial yang tinggi di dalam komunitas lokalisasi. Komunitas ini seringkali mengembangkan mekanisme dukungan internal yang kuat—berupa koperasi mikro informal, sistem jaminan sosial gotong royong, dan jaringan informasi yang cepat—untuk bertahan dari ketidakpastian ekonomi dan tekanan sosial dari luar. Analisis kebijakan harus mempertimbangkan bagaimana memanfaatkan dan mengintegrasikan resiliensi internal ini dalam program transisi.
Kekuatan komunitas ini harus menjadi landasan dalam setiap upaya rehabilitasi. Alih-alih membubarkan total jaringan sosial yang ada, program dapat diarahkan untuk mengubah fungsi jaringan tersebut dari struktur yang mendukung aktivitas berisiko menjadi struktur yang mendukung usaha legal dan saling menguatkan. Kegagalan banyak program adalah karena mereka datang dari luar, membongkar seluruh sistem dukungan, dan meninggalkan individu dalam isolasi total, yang justru meningkatkan risiko mereka kembali ke lingkungan lama.
Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara aktivitas informal beroperasi. Lokalisasi fisik tradisional cenderung mengalami penurunan seiring munculnya platform digital yang memfasilitasi interaksi dan transaksi tersembunyi. Pergeseran ini menimbulkan tantangan pengawasan baru, tetapi juga peluang baru dalam intervensi.
Tantangannya adalah bahwa penyebaran melalui platform digital membuat intervensi kesehatan dan sosial menjadi lebih sulit dilacak dan dijangkau. Namun, peluangnya adalah bahwa teknologi dapat digunakan untuk memberikan pelatihan vokasi secara daring, memfasilitasi akses informasi kesehatan anonim, dan menghubungkan individu dengan peluang pekerjaan formal jarak jauh. Kebijakan tata kelola kota harus mulai memasukkan dimensi digital dalam strategi penanggulangan segregasi sosial.
Tidak jarang, keberadaan atau penutupan lokalisasi menjadi isu politik lokal yang dipolitisasi selama pemilihan kepala daerah. Keputusan penutupan seringkali didasarkan pada perhitungan politik jangka pendek untuk mendapatkan dukungan dari kelompok konservatif, bukan pada analisis dampak sosial dan ekonomi jangka panjang. Hal ini menghasilkan inkonsistensi kebijakan yang merugikan semua pihak.
Untuk mencapai solusi yang berkelanjutan, proses pengambilan keputusan harus didemokratisasi dan didasarkan pada data sosiologis, bukan sekadar janji politik. Diperlukan lembaga pengawasan independen yang mampu menilai efektivitas program pasca-penutupan dan memberikan rekomendasi kebijakan yang didorong oleh kebutuhan masyarakat, bukan oleh kepentingan politik pragmatis.
Pada akhirnya, perlakuan sebuah kota terhadap warganya yang paling terpinggirkan adalah indikator utama peradabannya. Penyelesaian dilema lokalisasi menuntut bukan hanya bangunan fisik baru, tetapi juga bangunan ulang etos kota menuju keadilan, empati, dan inklusivitas sosial sejati.