Simbol Mahkamah Internasional

Mahkamah Agung Internasional: Pilar Keadilan Global dan Kedaulatan Hukum

Konsep mengenai sebuah 'Mahkamah Agung Internasional' (MAI) mencerminkan aspirasi tertinggi komunitas global untuk mencapai tata kelola hukum yang universal, imparsial, dan memiliki otoritas puncak. Meskipun secara formal tidak ada satu badan tunggal yang secara eksplisit menyandang nama ini—fungsi yudisial tertinggi internasional saat ini terdistribusi di antara berbagai institusi seperti Mahkamah Internasional (ICJ), Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan badan arbitrase khusus lainnya—pembahasan mengenai MAI adalah diskusi mengenai kebutuhan akan harmonisasi, hierarki, dan supremasi hukum dalam ranah hubungan antarnegara yang semakin kompleks.

Wacana ini tidak sekadar bersifat akademis, namun merupakan inti dari tantangan politik dan filosofis terbesar dalam hukum internasional: bagaimana menyeimbangkan kedaulatan negara (prinsip Westphalia) dengan tanggung jawab universal terhadap keadilan dan hak asasi manusia. MAI, dalam konteks konseptualnya, adalah titik kulminasi di mana semua sengketa hukum, interpretasi perjanjian, dan masalah yurisdiksi dapat diselesaikan melalui otoritas hukum tertinggi yang tidak memihak.

I. Fondasi Konseptual: Mengapa Sebuah Apex Court Global Dibutuhkan?

Sistem hukum nasional memiliki struktur hierarki yang jelas, dipuncaki oleh mahkamah agung yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Struktur ini memastikan keseragaman penerapan hukum dan mencegah konflik putusan dalam sistem yang sama. Dalam sistem internasional, struktur hierarki ini tidak ada. Sebaliknya, terdapat mosaik pengadilan dengan yurisdiksi yang tumpang tindih dan sering kali bersaing. Kekurangan sentralisasi ini memunculkan risiko fragmentasi hukum internasional.

1.1. Menghadapi Fragmentasi Hukum Internasional

Fragmentasi terjadi ketika berbagai pengadilan internasional (misalnya, badan penyelesaian sengketa WTO, pengadilan hak asasi regional, ICJ, dan pengadilan investasi) menafsirkan norma atau prinsip hukum internasional yang sama secara berbeda. Perbedaan penafsiran ini dapat merusak konsistensi dan kepastian hukum. Sebuah Mahkamah Agung Internasional konseptual akan berfungsi sebagai mekanisme penyatuan, memberikan penafsiran definitif yang harus diikuti oleh pengadilan sub-internasional lainnya. Ini bukan berarti pengadilan yang lebih rendah kehilangan relevansi, tetapi putusan mereka dapat ditinjau atau setidaknya harus selaras dengan prinsip-prinsip yurisprudensi puncak.

Tanpa otoritas puncak, praktik 'forum shopping'—negara memilih pengadilan yang paling mungkin memberikan putusan yang menguntungkan—menjadi lazim. Hal ini melemahkan integritas proses yudisial internasional secara keseluruhan. MAI akan mengurangi insentif untuk 'forum shopping' dengan menetapkan standar keadilan yang transparan dan seragam. Konsistensi putusan yang terjamin oleh MAI juga akan meningkatkan prediktabilitas, suatu elemen krusial bagi negara-negara dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan meratifikasi perjanjian.

1.2. Kebutuhan Akan Yurisdiksi Banding yang Jelas

Saat ini, sebagian besar pengadilan internasional beroperasi tanpa mekanisme banding hierarkis. Putusan ICC bersifat final dalam ranah pidana, begitu pula putusan ICJ dalam sengketa antarnegara. Jika terdapat kesalahan prosedural atau interpretasi hukum yang mendasar pada tingkat pengadilan khusus (misalnya, Pengadilan Internasional Hukum Laut), tidak ada jalur yang jelas untuk peninjauan pada tingkat yang lebih tinggi. MAI akan mengisi kekosongan ini, berfungsi sebagai badan peninjau tertinggi untuk kasus-kasus yang melibatkan pertanyaan mendasar mengenai hukum kebiasaan internasional atau interpretasi perjanjian universal, memastikan bahwa keadilan tidak hanya diterapkan tetapi juga terlihat diterapkan secara benar.

Struktur banding ini sangat penting untuk kasus-kasus sensitif yang melibatkan isu-isu lingkungan lintas batas, sengketa perdagangan besar, atau klaim genosida. Dengan adanya tingkat peninjauan, legitimasi keseluruhan sistem peradilan internasional akan diperkuat. Negara-negara akan lebih percaya pada proses yang menyediakan due process dan potensi koreksi kesalahan yudisial, yang pada gilirannya mendorong kepatuhan sukarela terhadap putusan.

II. Historisitas dan Prekursor Utama MAI

Ide mengenai pengadilan dunia bukanlah hal baru. Ia berakar pada idealisme pasca-perang dan upaya untuk menggantikan konflik bersenjata dengan resolusi hukum. Meskipun Mahkamah Agung Internasional sebagai badan tunggal belum terwujud, beberapa institusi telah menjalankan fungsi-fungsi serupa, membentuk fondasi bagi konsep yang lebih besar.

2.1. Warisan Mahkamah Tetap Internasional (PCIJ) dan ICJ

Mahkamah Tetap Internasional (PCIJ), didirikan pada tahun 1922 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa, adalah badan yudisial internasional permanen pertama yang beroperasi penuh. PCIJ meletakkan dasar bagi prosedur, aturan pembuktian, dan kerangka interpretasi yang kini menjadi standar dalam hukum internasional. PCIJ beroperasi hingga pembubarannya dan digantikan oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1945, sebagai organ utama PBB.

ICJ di Den Haag sering dianggap sebagai "Mahkamah Dunia" karena yurisdiksi utamanya atas sengketa antarnegara (hanya negara yang dapat menjadi pihak dalam kasus di hadapan ICJ). ICJ telah menetapkan sebagian besar yurisprudensi yang mengatur isu-isu kedaulatan, delimitasi maritim, tanggung jawab negara, dan interpretasi perjanjian multilateral. Fungsi ICJ yang menetapkan hukum melalui putusan dan pendapat penasehat menjadikannya prekursor terdekat dengan konsep MAI, khususnya dalam hal fungsinya sebagai penafsir utama Piagam PBB.

Namun, ICJ memiliki keterbatasan signifikan yang memisahkan fungsinya dari fungsi Mahkamah Agung sejati: yurisdiksinya bersifat konsensual (negara harus setuju untuk tunduk), dan ICJ tidak memiliki yurisdiksi kriminal terhadap individu, juga tidak berfungsi sebagai pengadilan banding bagi pengadilan internasional lainnya.

2.2. Munculnya Pengadilan Khusus: ICC, ITLOS, dan ECHR

Setelah Perang Dingin, pertumbuhan pesat dalam hukum internasional memicu spesialisasi pengadilan, mengarah pada apa yang dikenal sebagai ‘yurisdiksi khusus’:

  1. Mahkamah Pidana Internasional (ICC): Didirikan di bawah Statuta Roma, ICC mengadili individu yang dituduh melakukan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional (genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi). Peran ICC sangat spesifik dan merupakan pilar penting dalam hukum pidana internasional, tetapi fungsinya terpisah dari sengketa antarnegara.
  2. Pengadilan Internasional Hukum Laut (ITLOS): Dibentuk berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), ITLOS menangani sengketa terkait delimitasi maritim, penangkapan ikan, dan perlindungan lingkungan laut.
  3. Pengadilan Regional (Misalnya, European Court of Human Rights - ECHR): Badan-badan ini memberikan perlindungan hak asasi manusia di tingkat regional. ECHR, misalnya, memiliki mekanisme penegakan yang sangat kuat di Eropa, tetapi yurisdiksinya terbatas secara geografis.

Keberadaan lembaga-lembaga khusus ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan penyelesaian sengketa di berbagai bidang, namun juga menyoroti masalah koordinasi yudisial. Perbedaan dalam aturan pembuktian, prosedur, dan prinsip interpretasi antar badan-badan ini membenarkan perlunya sebuah otoritas sentral, yaitu MAI, yang dapat memastikan bahwa semua sub-sistem yudisial ini beroperasi di bawah payung prinsip hukum universal yang koheren.

III. Struktur dan Yurisdiksi Hipotetis Mahkamah Agung Internasional

Untuk menjalankan fungsinya sebagai badan yudisial tertinggi, MAI harus memiliki struktur yang jauh lebih kuat dan yurisdiksi yang lebih luas daripada ICJ saat ini, sambil tetap menghormati kedaulatan negara anggota. Struktur ini harus dirancang untuk meminimalkan politisasi dan memaksimalkan imparsialitas, seringkali menjadi kritik utama terhadap banyak pengadilan internasional yang ada.

3.1. Kriteria Yurisdiksi: Ratione Personae, Materiae, dan Temporis

Yurisdiksi MAI harus ditetapkan secara ketat untuk mencegah kelebihan beban dan benturan dengan pengadilan yang lebih rendah. Fokus utama MAI haruslah pada pertanyaan hukum yang sangat fundamental dan bersifat universal.

A. Ratione Personae (Pihak yang Berperkara)

Tidak seperti ICJ yang hanya menerima negara, MAI mungkin perlu memperluas ratione personae-nya. MAI harus mampu mendengarkan banding atau peninjauan yudisial dari:

Perluasan pihak ini memastikan bahwa MAI dapat menyelesaikan konflik hukum yang timbul dari semua aktor utama dalam sistem internasional, bukan hanya negara kedaulatan. Perlu dicatat bahwa penambahan organisasi internasional dan badan yudisial lain sebagai pihak berperkara adalah kunci untuk melaksanakan fungsi harmonisasi MAI.

B. Ratione Materiae (Materi Sengketa)

Fokus MAI harus pada 'pertanyaan hukum murni' yang memiliki dampak sistemik. Ini mencakup:

MAI tidak akan berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Semua kasus harus sudah diputus atau setidaknya telah diperiksa oleh badan yudisial yang lebih rendah (baik regional, ad hoc, atau spesialis) sebelum mengajukan banding atau rujukan ke MAI. Hal ini menjaga efisiensi dan memastikan bahwa MAI berfokus pada isu-isu hukum yang paling tinggi dan paling berpengaruh.

C. Ratione Temporis (Waktu)

Yurisdiksi waktu MAI harus ditetapkan secara prospektif, berlaku untuk fakta atau tindakan hukum yang terjadi setelah tanggal berlakunya Statuta Pendirian MAI. Namun, MAI perlu memiliki kemampuan untuk meninjau kembali interpretasi hukum kebiasaan yang lebih tua, terutama jika perkembangan norma internasional yang cepat (seperti dalam hukum lingkungan atau siber) membenarkan peninjauan ulang yurisprudensi yang usang.

3.2. Komposisi dan Imparsialitas

Untuk memelihara legitimasi global, komposisi MAI harus mencerminkan sistem hukum utama dunia (common law, civil law, sosialis, dan hukum agama/tradisional) dan representasi geografis yang adil. Hakim MAI harus dipilih melalui proses yang sangat ketat, melibatkan badan-badan seperti Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan, tetapi dengan fokus utama pada kompetensi yudisial yang terbukti, bukan afiliasi politik.

"Kekuatan Mahkamah Agung Internasional tidak terletak pada kekuatan militer yang dimilikinya, melainkan pada kehendak negara-negara untuk menerima keputusan sebagai keharusan moral dan hukum. Legitimasi berasal dari imparsialitasnya, yang dipastikan melalui pemilihan hakim yang benar-benar independen."

Hakim-hakim MAI harus melayani masa jabatan yang panjang dan tidak dapat diperbarui (misalnya, 15 tahun) untuk melindungi mereka dari tekanan politik negara asal. Pembentukan kamar-kamar khusus (misalnya, kamar hak asasi, kamar lingkungan, kamar ekonomi) dapat meningkatkan efisiensi dan memastikan keahlian spesialis dalam materi yang kompleks, namun putusan kamar-kamar ini tetap harus tunduk pada tinjauan pleno MAI untuk memastikan keseragaman putusan.

IV. Tantangan Utama Terhadap Implementasi MAI

Mendirikan Mahkamah Agung Internasional menghadapi hambatan yang sangat besar, sebagian besar berakar pada prinsip fundamental sistem internasional: kedaulatan negara. Tantangan-tantangan ini bukan hanya bersifat prosedural, tetapi filosofis dan politik.

4.1. Dilema Kedaulatan Negara

Kedaulatan adalah hak eksklusif negara untuk memerintah wilayahnya tanpa campur tangan eksternal. Negara-negara besar, khususnya, sangat enggan untuk tunduk pada otoritas yudisial yang keputusannya mungkin bertentangan langsung dengan kepentingan keamanan nasional atau kebijakan domestik mereka. MAI, yang keputusannya akan bersifat final dan mengikat seluruh sistem, dipandang oleh beberapa negara sebagai erosi kedaulatan yang tidak dapat diterima.

Perlawanan ini terwujud dalam penolakan terhadap yurisdiksi wajib. ICJ saat ini hanya dapat beroperasi jika negara-negara setuju (melalui perjanjian khusus atau klausul opsional wajib). Untuk MAI agar berfungsi secara efektif, yurisdiksinya harus bersifat wajib, setidaknya dalam kaitannya dengan pertanyaan interpretasi hukum kebiasaan dan norma jus cogens. Mencapai konsensus global di antara semua negara anggota PBB mengenai yurisdiksi wajib adalah tantangan politik terbesar yang harus diatasi.

Selain itu, mekanisme pengecualian yurisdiksi (reservasi) harus dikelola secara hati-hati. Jika negara diperbolehkan membuat reservasi luas, kekuatan MAI akan sangat dilemahkan, menjadikannya 'macan ompong' seperti kritik yang sering dilontarkan terhadap lembaga internasional lainnya.

4.2. Masalah Penegakan dan Kepatuhan

Sebuah putusan, tidak peduli seberapa adil atau berwibawa, tidak berguna tanpa kemampuan penegakan. Dalam sistem domestik, penegakan didukung oleh aparatur kepolisian dan militer. Dalam sistem internasional, penegakan bergantung pada kemauan politik atau sanksi kolektif PBB.

MAI tidak akan memiliki militer sendiri. Oleh karena itu, penegakan putusannya harus didasarkan pada:

Tantangan terbesar di sini adalah memastikan bahwa MAI tidak menjadi alat politik. Jika keputusan penegakan selalu bergantung pada kekuatan politik Dewan Keamanan, MAI berisiko dianggap sebagai perpanjangan kekuatan dominan, yang akan merusak klaimnya atas imparsialitas hukum murni. Oleh karena itu, model penegakan MAI harus mencari jalur yang lebih otonom, mungkin melalui otoritas hukum yang diberikan oleh Statuta PBB yang telah direvisi, yang membatasi hak veto dalam kasus-kasus penegakan putusan MAI tertentu.

4.3. Konflik dengan Hukum Domestik

Dalam kasus di mana putusan MAI menuntut perubahan legislasi domestik—misalnya, dalam kasus sengketa investasi atau hak asasi manusia—akan terjadi gesekan serius dengan sistem hukum nasional. MAI harus berhati-hati dalam menyeimbangkan supremasi hukum internasional dengan prinsip subsidiaritas, memberikan ruang bagi negara untuk menerapkan putusan dalam kerangka konstitusi mereka sendiri, selama hasil akhirnya sesuai dengan keputusan MAI.

Konflik ini seringkali menjadi titik sensitif, terutama di negara-negara yang memiliki konstitusi yang menempatkan hukum nasional di atas perjanjian internasional. MAI harus mengembangkan yurisprudensi yang jelas mengenai kapan dan bagaimana hukum internasional mengesampingkan hukum domestik, tanpa memicu krisis konstitusional di negara anggota.

V. Fungsi Yudisial Mendalam MAI: Beyond Sengketa Antarnegara

Peran Mahkamah Agung Internasional jauh melampaui resolusi sengketa bilateral klasik yang ditangani ICJ. MAI harus berfungsi sebagai arsitek hukum, memastikan kohesi yurisprudensi di era spesialisasi hukum yang berlebihan.

5.1. Fungsi Peninjauan Yudisial dan Harmoniasi

Ini adalah fungsi inti yang membedakan MAI dari ICJ. MAI bertindak sebagai pengadilan kasasi atau banding untuk pengadilan sub-internasional. Mekanisme peninjauan ini tidak seharusnya meninjau fakta, tetapi berfokus pada empat area utama kesalahan hukum:

  1. Kesalahan Yurisdiksi: Apakah pengadilan yang lebih rendah (misalnya, ITLOS atau pengadilan arbitrase) bertindak di luar lingkup mandatnya.
  2. Pelanggaran Prosedur Mendasar: Apakah proses due process atau prinsip keadilan alamiah telah dilanggar secara serius.
  3. Kesalahan Interpretasi Hukum Kebiasaan: Apakah pengadilan yang lebih rendah salah menafsirkan prinsip-prinsip universal hukum internasional.
  4. Konflik Yurisprudensi: Ketika dua atau lebih pengadilan spesialis telah mengeluarkan putusan yang saling bertentangan mengenai norma hukum internasional yang sama.

Dengan memfokuskan pada harmonisasi, MAI dapat mencegah terciptanya 'regime' hukum internasional yang terisolasi. Misalnya, MAI dapat menentukan apakah norma perlindungan lingkungan yang ditetapkan oleh WTO (melalui penyelesaian sengketa) sejalan dengan norma perlindungan lingkungan laut yang dikembangkan oleh ITLOS, dan memberikan interpretasi tunggal yang mengikat kedua badan tersebut.

Fungsi peninjauan ini harus disertai dengan batasan waktu yang ketat untuk memastikan penyelesaian sengketa yang cepat. Hanya kasus yang memiliki implikasi hukum global yang substansial yang harus diizinkan untuk diajukan ke tingkat MAI, menghindari MAI menjadi terlalu padat dengan kasus-kasus teknis yang lebih cocok ditangani oleh pengadilan spesialis.

5.2. Pengembangan Hukum Progresif

Selain meninjau kasus, MAI harus memiliki peran aktif dalam pengembangan hukum progresif. Ini dapat dilakukan melalui penerbitan Opini Penasihat (Advisory Opinions) atas permintaan Majelis Umum atau Dewan Keamanan PBB, atau bahkan atas permintaan badan-badan regional kunci, mengenai isu-isu hukum yang baru dan mendesak, seperti:

Pendapat penasihat MAI, meskipun secara teknis non-mengikat dalam beberapa konteks, akan membawa bobot moral dan hukum yang sedemikian rupa sehingga akan membentuk dasar bagi negosiasi perjanjian internasional di masa depan. MAI berfungsi sebagai 'komite hukum' permanen untuk komunitas global, memastikan bahwa hukum internasional berevolusi sejalan dengan perubahan teknologi dan sosial.

5.3. Mediasi dan Penyelesaian Alternatif

Meskipun MAI adalah mahkamah, ia juga dapat memainkan peran dalam memfasilitasi resolusi konflik tanpa harus melalui proses litigasi penuh. Pembentukan 'Kamar Mediasi' dalam MAI, diisi oleh hakim-hakim berpengalaman, dapat memberikan kesempatan bagi negara-negara yang bersengketa untuk mencapai solusi yang dinegosiasikan di bawah pengawasan yudisial tertinggi. Mediasi ini menawarkan keuntungan karena putusan yang dicapai cenderung lebih berkelanjutan daripada putusan yang dipaksakan, dan mengurangi beban kasus pada jadwal litigasi MAI.

VI. Analisis Mendalam Kasus Hipotetis: Peran MAI dalam Krisis Sistemik

Untuk memahami potensi penuh dari Mahkamah Agung Internasional, penting untuk menganalisis bagaimana ia akan beroperasi dalam menghadapi krisis hukum internasional yang mendalam dan multidimensi, sesuatu yang tidak dapat ditangani oleh pengadilan spesialis tunggal.

6.1. Kasus 1: Sengketa Lingkungan Global dan Kewajiban Intergenerasi

Bayangkan sebuah negara kepulauan, Negara A, mengajukan gugatan terhadap sekelompok negara industri, Negara B, C, dan D, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tertinggi. Gugatan tersebut diajukan ke pengadilan lingkungan spesialis, yang memutuskan bahwa Negara B, C, dan D bertanggung jawab karena emisi mereka melanggar hak lingkungan generasi mendatang, namun pengadilan tersebut kesulitan menentukan skala kompensasi dan mekanisme penegakan yang sesuai.

Ketika putusan ini naik banding ke MAI, peran MAI menjadi krusial. MAI tidak akan meninjau fakta emisi, tetapi akan menetapkan standar hukum mengenai:

Dalam skenario ini, MAI berfungsi sebagai jembatan antara hukum lingkungan, hukum perdagangan, dan hukum hak asasi manusia, menghasilkan putusan yang koheren yang harus diterima oleh semua organisasi internasional terkait.

6.2. Kasus 2: Konflik Yurisdiksi Pidana dan Kedaulatan

Sebuah negara non-anggota ICC (Negara X) dituduh melakukan kejahatan perang di wilayah Negara Y (anggota ICC). ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Negara X. Negara X menolak yurisdiksi ICC, mengklaim Statuta Roma melanggar kedaulatan mereka. Sengketa ini kemudian diajukan ke MAI sebagai pertanyaan hukum mendasar mengenai batas-batas yurisdiksi universal.

MAI akan diminta untuk memutuskan apakah Statuta Roma mencerminkan jus cogens (norma yang mengikat semua negara, terlepas dari ratifikasi) dalam kaitannya dengan kejahatan inti. Keputusan MAI akan memiliki dampak masif:

MAI memastikan bahwa konflik antar pengadilan yang berbeda (ICC vs. pengadilan domestik Negara X, misalnya) diselesaikan melalui lensa hukum yang paling tinggi, memberikan preseden yang mengikat semua pengadilan pidana dan hibrida internasional di masa depan.

VII. Mengatasi Tantangan Praktis: Logistik dan Pembiayaan MAI

Mendirikan dan menjalankan MAI membutuhkan komitmen logistik dan finansial yang substansial. Operasi Mahkamah Agung Internasional tidak boleh terancam oleh fluktuasi politik atau tekanan ekonomi dari negara anggota tertentu.

7.1. Model Pendanaan yang Stabil

Pembiayaan MAI harus otonom. Mengandalkan kontribusi sukarela atau kontribusi PBB yang ditetapkan dapat membuat MAI rentan terhadap pemotongan dana oleh negara-negara yang tidak puas dengan putusan tertentu. Sebuah model pendanaan yang ideal harus mencakup:

Stabilitas finansial memastikan bahwa hakim dan staf pendukung (peneliti hukum, penerjemah, ahli teknologi) dapat bekerja dengan integritas total, bebas dari kekhawatiran mengenai pemotongan anggaran yang didorong secara politis.

7.2. Aksesibilitas dan Bahasa Kerja

MAI harus mengatasi tantangan bahasa dalam skala global. Sementara ICJ sebagian besar beroperasi dalam bahasa Inggris dan Prancis, MAI, mengingat yurisdiksi globalnya atas berbagai sistem hukum, harus mengakomodasi semua enam bahasa resmi PBB (Arab, Tiongkok, Inggris, Prancis, Rusia, dan Spanyol) sebagai bahasa kerja. Ini memerlukan korps penerjemah dan juru bahasa hukum yang sangat terampil dan mahal.

Selain itu, akses ke MAI harus adil. Negara-negara berkembang sering kekurangan sumber daya untuk mengajukan kasus yang kompleks atau menanggapi litigasi multinasional. MAI harus memiliki divisi bantuan hukum (legal aid) yang didanai dengan baik untuk membantu negara-negara kecil dalam menyiapkan kasus yang rumit, memastikan bahwa keadilan global tidak hanya tersedia bagi negara-negara yang kaya sumber daya.

VIII. Masa Depan Mahkamah Agung Internasional: Menuju Tata Kelola Global

Konsep Mahkamah Agung Internasional merepresentasikan visi masa depan di mana hukum internasional mencapai tingkat kematangan dan koherensi yang sebanding dengan sistem hukum domestik yang paling maju. Realisasi MAI membutuhkan reformasi institusional global yang berani.

8.1. Reformasi Piagam PBB

Pendirian MAI secara formal mungkin memerlukan amandemen Piagam PBB untuk mengakui MAI sebagai organ yudisial utama di atas ICJ, atau mengintegrasikan fungsi Mahkamah Agung ke dalam struktur ICJ yang diperluas dan direformasi. Reformasi ini harus mengatasi masalah hak veto di Dewan Keamanan dalam konteks penegakan putusan MAI yang berkaitan dengan norma fundamental (misalnya, genosida atau pelanggaran jus cogens).

Sebuah MAI yang terintegrasi penuh dalam sistem PBB akan meningkatkan legitimasi dan kekuatan hukumnya. Namun, proses amandemen Piagam PBB sangat sulit, memerlukan persetujuan dua pertiga anggota, termasuk kelima anggota tetap Dewan Keamanan. Hambatan politik ini menjelaskan mengapa wacana MAI seringkali tetap berada dalam ranah teoretis, meskipun kebutuhan fungsionalnya jelas.

8.2. Penerimaan Prinsip 'Kompetensi Kompetensi'

Agar MAI berhasil, semua negara dan pengadilan internasional harus menerima prinsip Kompetenz-Kompetenz, yaitu hak Mahkamah Agung untuk menentukan lingkup yurisdiksinya sendiri. Ketika pengadilan sub-internasional meragukan apakah kasus mereka jatuh di bawah wewenang MAI, MAI harus memiliki otoritas terakhir untuk menyelesaikan perselisihan yurisdiksi ini.

Penerimaan universal terhadap Kompetenz-Kompetenz adalah pengakuan tertinggi terhadap supremasi hukum yang diwakili oleh MAI. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada entitas yudisial internasional yang dapat secara sepihak memblokir tinjauan atas putusan mereka, memaksa koherensi sistemik dari atas ke bawah.

IX. Penutup: Keadilan di Puncak Piramida Hukum

Mahkamah Agung Internasional, sebagai sebuah ideal, melambangkan perjalanan panjang masyarakat internasional dari anarki dan kekuatan bersenjata menuju tatanan berdasarkan aturan hukum. Meskipun implementasi penuh dari badan yudisial puncak yang tunggal ini menghadapi rintangan politik dan kedaulatan yang sangat besar, fungsi-fungsi yang diwakilinya—koherensi yurisprudensi, peninjauan banding, dan penafsiran hukum universal—adalah hal yang mutlak diperlukan bagi stabilitas global di abad ini.

Tanpa mekanisme sentral untuk menyelesaikan konflik yurisprudensi dan menafsirkan norma-norma global secara definitif, risiko fragmentasi hukum akan terus meningkat, melemahkan efektivitas semua lembaga internasional yang ada. Oleh karena itu, diskusi mengenai Mahkamah Agung Internasional adalah diskusi tentang kehendak politik kolektif: apakah negara-negara siap untuk menyerahkan sebagian kecil dari kedaulatan mereka demi mencapai tata hukum yang lebih adil, stabil, dan universal.

Pembentukan MAI, dalam bentuk apa pun, akan menandai tonggak sejarah terbesar dalam sejarah hukum internasional, memastikan bahwa keadilan tidak hanya diterapkan dalam yurisdiksi spesialis, tetapi bersemayam di puncak piramida hukum, memberikan kepastian dan harapan bagi tatanan dunia yang terus berubah.

Tantangan yang tersisa adalah mengubah konsep ini dari aspirasi idealis menjadi kenyataan institusional yang fungsional. Hal ini membutuhkan diplomat yang berani, hakim yang visioner, dan negara-negara yang bersedia memprioritaskan kepentingan hukum bersama di atas keuntungan politik jangka pendek.

X. Analisis Kritis Terhadap Model ICJ yang Ada

Untuk benar-benar menghargai kebutuhan akan MAI, perlu disoroti keterbatasan struktural ICJ, yang meskipun merupakan pengadilan terpenting di dunia, tidak dapat berfungsi sebagai Mahkamah Agung dalam pengertian hierarkis. Salah satu keterbatasan terbesar adalah 'Klausul Opsi Wajib' di bawah Pasal 36(2) Statuta ICJ. Meskipun klausul ini memungkinkan negara untuk menerima yurisdiksi wajib, banyak negara (terutama negara-negara besar) menarik atau menambahkan reservasi signifikan, yang secara efektif membuat yurisdiksi ICJ bersifat sukarela dan terbatas dalam banyak kasus sensitif. Sebuah MAI yang efektif harus mengatasi mekanisme penarikan sepihak ini, mungkin dengan yurisdiksi wajib yang dikunci oleh perjanjian pendiriannya tanpa kemungkinan reservasi substansial dalam materi tertentu.

Selain itu, ICJ sering dikritik karena lambat dalam menangani kasus, proses yang panjang dan bertele-tele mengurangi efektivitasnya dalam menyelesaikan sengketa yang membutuhkan intervensi cepat, seperti kasus darurat lingkungan atau konflik perbatasan yang memanas. MAI harus memiliki prosedur yang dipercepat untuk kasus-kasus banding yang sensitif waktu. Pengadilan spesialis (seperti ICC) memiliki proses yang lebih cepat dalam beberapa aspek, dan MAI harus mengadopsi praktik terbaik dari berbagai pengadilan internasional untuk menciptakan prosedur yang efisien dan adil.

Kritik lain adalah kurangnya transparansi dalam proses internal seleksi hakim ICJ, meskipun ini diperjuangkan melalui Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. MAI harus mengimplementasikan proses pemilihan hakim yang sepenuhnya transparan, melibatkan tinjauan oleh komite ahli hukum independen, sebelum nominasi resmi diajukan kepada badan PBB, untuk memastikan bahwa bias politik diminimalkan sejak awal proses.

XI. Integrasi Hukum Soft Law dan Normatif

Hukum internasional saat ini semakin dipengaruhi oleh soft law—instrumen non-mengikat seperti resolusi PBB, pedoman, dan kode etik. Meskipun soft law tidak memiliki kekuatan perjanjian, ia sering menjadi cikal bakal hukum kebiasaan internasional yang mengikat. MAI harus memiliki yurisdiksi untuk mempertimbangkan soft law dalam penafsirannya, menilai apakah praktik negara telah meningkat sedemikian rupa sehingga soft law telah mengkristal menjadi hukum yang mengikat.

Peran MAI di sini adalah memvalidasi perkembangan normatif di komunitas internasional. Dengan mengakui dan menginterpretasikan soft law, MAI dapat memberikan kepastian hukum yang sangat dibutuhkan di area-area baru, seperti regulasi teknologi atau etika bisnis global. Keputusan MAI akan memberikan arahan definitif kepada badan-badan penetap standar internasional (seperti Komisi Hukum Internasional atau berbagai komite PBB) mengenai arah yang harus diambil oleh hukum internasional.

Pertimbangan soft law oleh MAI juga penting dalam kasus-kasus di mana perjanjian multilateral formal belum ada, namun terdapat konsensus global yang jelas (misalnya, mengenai standar minimum perlindungan data atau prinsip-prinsip anti-korupsi). MAI dapat mengisi kekosongan hukum sementara negosiasi perjanjian sedang berlangsung, menjembatani kesenjangan antara kebutuhan global yang mendesak dan lambatnya proses ratifikasi perjanjian.

XII. Dampak Sosial dan Politik: Legitimasi di Mata Publik Global

Keberhasilan Mahkamah Agung Internasional tidak hanya bergantung pada dukungan negara, tetapi juga pada legitimasi di mata masyarakat sipil global. Seiring meningkatnya globalisasi, individu dan organisasi non-pemerintah (LSM) semakin menuntut akuntabilitas dari negara dan perusahaan multinasional.

MAI harus memiliki mekanisme untuk menerima amicus curiae (teman pengadilan) dari LSM dan ahli hukum, memungkinkan perspektif masyarakat sipil untuk dipertimbangkan dalam kasus-kasus besar, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan lingkungan. Keterlibatan publik ini meningkatkan transparansi dan memastikan bahwa putusan MAI mencerminkan bukan hanya kepentingan negara, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas.

Selain itu, MAI harus aktif dalam komunikasi publik, menjelaskan putusannya dalam bahasa yang mudah diakses. Dalam sistem hukum domestik, putusan Mahkamah Agung seringkali menjadi berita utama yang membentuk diskursus sosial. MAI harus meniru ini; putusan mengenai tanggung jawab perubahan iklim atau genosida harus dipublikasikan secara luas untuk mengedukasi masyarakat global dan membangun dasar dukungan moral yang diperlukan untuk penegakan putusan tersebut. Legitimasi publik adalah kekuatan penegakan yang paling ampuh di dunia yang saling terhubung.