Melazimkan Perilaku: Memahami Kekuatan Adaptasi Manusia

Simbol Siklus Adaptasi Ilustrasi abstrak lingkaran yang saling terkait dan panah yang melambangkan proses adaptasi, pengulangan, dan pembentukan kebiasaan atau kelaziman.
Siklus Adaptasi dan Pembiasaan

Dalam rentang eksistensi manusia, baik secara individu maupun kolektif, ada satu proses fundamental yang terus-menerus membentuk realitas kita: tindakan melazimkan. Kata 'melazimkan' sendiri merujuk pada upaya menjadikan sesuatu sebagai lazim, biasa, atau normal. Ini adalah inti dari bagaimana kebiasaan terbentuk, norma sosial ditegakkan, teknologi baru diadopsi, dan bahkan bagaimana ide-ide revolusioner menjadi bagian tak terpisahkan dari cara kita hidup. Memahami kekuatan di balik proses melazimkan ini adalah kunci untuk memahami evolusi budaya, dinamika masyarakat, dan kapasitas luar biasa manusia untuk beradaptasi.

Proses melazimkan jauh melampaui sekadar mengulang tindakan. Ia melibatkan serangkaian interaksi kompleks antara individu, lingkungan, dan sistem kepercayaan. Ketika sesuatu dilazimkan, ia berpindah dari status 'asing' atau 'baru' menjadi 'familiar' dan 'diharapkan'. Ini bukan hanya tentang frekuensi, tetapi juga tentang penerimaan, integrasi, dan pembentukan ekspektasi. Dari cara kita berinteraksi di media sosial hingga protokol kesehatan di tempat umum, setiap aspek kehidupan modern telah melalui atau sedang dalam proses pelaziman, membentuk kerangka dasar bagaimana kita berfungsi.

Esensi dan Ruang Lingkup Melazimkan

Pada hakikatnya, melazimkan adalah tentang mengubah sesuatu yang luar biasa menjadi lumrah. Ini adalah jembatan dari inovasi ke integrasi, dari gagasan radikal ke praktik umum. Proses ini tidak hanya terjadi pada tingkat permukaan perilaku, tetapi juga meresap ke dalam struktur kognitif kita, membentuk preferensi, persepsi, dan bahkan identitas. Ketika suatu perilaku, gagasan, atau teknologi berhasil dilazimkan, ia menjadi begitu tertanam sehingga keberadaannya seringkali tidak lagi dipertanyakan, melainkan diterima sebagai bagian dari tatanan alami yang tak terhindarkan. Fenomena ini bisa bersifat mikro, seperti kebiasaan pribadi, hingga makro, seperti norma-norma global.

Dari Tindakan Berulang Menjadi Struktur Sosial yang Kokoh

Konsep melazimkan bermula dari tindakan sederhana yang diulang-ulang. Seorang individu mungkin mulai melazimkan kebiasaan bangun pagi untuk berolahraga, dan seiring waktu, kebiasaan itu menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas hariannya, sebuah tindakan otomatis yang hampir tidak membutuhkan usaha sadar. Namun, kekuatan sesungguhnya dari melazimkan muncul ketika proses ini terjadi pada skala kolektif. Ketika suatu kelompok, masyarakat, atau bahkan peradaban mulai melazimkan praktik-praktik tertentu, hal itu membentuk struktur sosial yang mendasari. Ini menciptakan norma, tradisi, dan ekspektasi yang memandu interaksi dan membentuk identitas kolektif. Tanpa kemampuan untuk melazimkan, masyarakat akan terus-menerus berada dalam keadaan kebingungan dan ketidakpastian, karena tidak ada kerangka referensi yang stabil untuk perilaku atau kepercayaan. Ini adalah pondasi peradaban itu sendiri.

Sebagai contoh, gagasan tentang kebersihan personal, seperti mencuci tangan setelah buang air atau sebelum makan, yang kini dilazimkan secara universal di banyak budaya modern, dulunya mungkin merupakan praktik yang hanya dilakukan oleh segelintir orang atau kelompok tertentu, bahkan sering diabaikan. Melalui edukasi yang berkelanjutan tentang dampak kesehatan, penegakan sosial melalui tata krama, dan pemahaman tentang manfaat jangka panjang, praktik-praktik ini secara bertahap dilazimkan menjadi standar yang diharapkan. Begitu pula dengan penggunaan internet dan perangkat seluler. Hanya beberapa dekade yang lalu, mereka adalah kemewahan teknologi yang eksklusif; hari ini, mereka adalah kebutuhan yang dilazimkan, membentuk cara kita bekerja, belajar, berkomunikasi, dan bersosialisasi. Bayangkan kesulitan jika kita harus hidup tanpa kelaziman ini; aktivitas sehari-hari akan menjadi sangat terhambat.

Melazimkan dalam Berbagai Dimensi Kehidupan Manusia

Fenomena melazimkan dapat diamati dan memiliki pengaruh signifikan dalam berbagai dimensi kehidupan, menyentuh setiap aspek keberadaan manusia:

Setiap kali kita melihat perubahan besar dalam masyarakat, baik itu penerimaan vaksin secara massal, penggunaan transportasi daring sebagai alternatif utama, atau pergeseran paradigma tentang kesetaraan gender dan inklusi, kita menyaksikan proses panjang dan berliku dari melazimkan gagasan atau praktik baru. Ini adalah evolusi sosial yang bergerak lambat namun pasti, mengubah pondasi cara kita hidup dan berinteraksi. Proses ini terus berlangsung, dan kita semua adalah bagian darinya, baik sebagai pengamat maupun partisipan aktif.

Mekanisme Pembentukan Kelaziman: Bagaimana Sesuatu Menjadi Normal?

Bagaimana sesuatu bisa menjadi lazim dan diterima secara luas? Proses ini tidak terjadi secara spontan atau kebetulan semata. Ada beberapa mekanisme kunci yang bekerja sama secara sinergis untuk melazimkan sebuah ide, perilaku, atau objek ke dalam kesadaran dan praktik kolektif. Memahami mekanisme ini penting untuk dapat mengarahkan atau bahkan merekayasa proses pelaziman.

1. Repetisi dan Konsistensi: Pengulangan sebagai Bapak Kebiasaan

Mekanisme yang paling mendasar dan kuat dalam melazimkan adalah repetisi atau pengulangan. Pengulangan suatu tindakan atau paparan terhadap suatu ide secara konsisten akan secara bertahap mengurangi resistensi, meningkatkan familiaritas, dan pada akhirnya, mendorong penerimaan. Otak manusia cenderung menghemat energi; ketika suatu pola diulang-ulang, otak akan membangun jalur saraf yang lebih efisien untuk memprosesnya, sehingga tindakan tersebut menjadi otomatis dan kurang membutuhkan upaya kognitif sadar. Ini adalah prinsip dasar di balik pembentukan kebiasaan. Inilah mengapa melazimkan kebiasaan baru, seperti meditasi atau belajar bahasa, membutuhkan disiplin di awal, namun menjadi lebih mudah dan alami seiring waktu. Dalam konteks sosial yang lebih luas, repetisi terlihat dalam kampanye publik yang terus-menerus, kurikulum pendidikan yang berkelanjutan, atau bahkan ritual keagamaan yang diulang secara berkala, semua bertujuan untuk mengukuhkan suatu praktik atau keyakinan.

"Kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali. Keunggulan, oleh karena itu, bukanlah suatu tindakan, tetapi suatu kebiasaan." – Aristoteles

Kutipan ini menggarisbawahi betapa sentralnya repetisi dalam membentuk diri kita dan masyarakat. Dari skala terkecil hingga terbesar, pengulangan yang konsisten adalah fondasi dari segala yang dilazimkan.

2. Penerimaan Sosial dan Konformitas: Dorongan untuk Menjadi Bagian

Manusia adalah makhluk sosial yang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Keinginan mendalam untuk diterima, menjadi bagian dari kelompok, dan menghindari pengucilan adalah pendorong kuat dalam proses melazimkan. Ketika suatu praktik, ide, atau tren mulai diterima dan diadopsi oleh mayoritas atau kelompok referensi yang kita hormati, individu cenderung mengikuti untuk menjaga konformitas dan merasakan afiliasi. Ini sering disebut sebagai bukti sosial atau efek bandwagon. Jika teman-teman, keluarga, rekan kerja, atau figur otoritas Anda mulai melazimkan penggunaan teknologi tertentu (misalnya, aplikasi pesan instan baru) atau menganut pandangan tertentu (misalnya, pentingnya isu lingkungan), kemungkinan besar Anda juga akan terdorong untuk menyelidiki, mencoba, dan pada akhirnya mengadopsinya. Ketakutan akan pengucilan sosial atau keinginan untuk menjadi bagian dari tren yang berkembang dapat sangat mempercepat proses pelaziman ini, bahkan sebelum individu sepenuhnya memahami manfaatnya.

Media sosial telah mempercepat mekanisme ini secara dramatis. Melihat ribuan orang melakukan tantangan tertentu atau mendukung suatu gerakan bisa menjadi pendorong kuat bagi orang lain untuk ikut serta, secara tidak langsung melazimkan perilaku tersebut dalam skala besar.

3. Edukasi dan Pencerahan: Membangun Pemahaman

Edukasi memainkan peran krusial dalam melazimkan ide-ide yang kompleks, praktik yang memerlukan pemahaman mendalam, atau perubahan perilaku yang melibatkan aspek kesehatan atau keselamatan. Dengan memberikan informasi yang akurat, menjelaskan manfaat secara rasional, menunjukkan bukti ilmiah, dan mengatasi kesalahpahaman yang mungkin ada, edukasi dapat mengubah persepsi dan mendorong adopsi yang lebih sadar. Misalnya, kampanye kesehatan masyarakat yang bertujuan melazimkan perilaku hidup sehat, seperti mencuci tangan secara teratur, berhenti merokok, atau menggunakan masker di masa pandemi, sangat bergantung pada penyebaran informasi yang jelas dan pencerahan publik. Ketika masyarakat memahami "mengapa" di balik suatu tindakan, mereka lebih mungkin untuk menerima, menginternalisasi, dan menjadikannya kebiasaan. Edukasi juga membantu memecahkan hambatan budaya dan mitos yang mungkin menghalangi pelaziman.

4. Penguatan Positif dan Negatif: Hadiah dan Konsekuensi

Prinsip penguatan, baik positif maupun negatif, juga berkontribusi pada proses melazimkan perilaku. Penguatan positif terjadi ketika suatu perilaku diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan atau bermanfaat, meningkatkan kemungkinan perilaku tersebut diulang di masa depan. Contohnya, rasa nyaman dan peningkatan energi setelah berolahraga membuat seseorang lebih mungkin melazimkan rutinitas kebugaran tersebut. Begitu pula, apresiasi dari atasan setelah menyelesaikan tugas tepat waktu akan memperkuat kebiasaan kerja yang efisien.

Sebaliknya, penguatan negatif melibatkan penghapusan atau penghindaran konsekuensi yang tidak menyenangkan. Misalnya, jika mengenakan sabuk pengaman mencegah denda dari polisi atau mengurangi risiko cedera dalam kecelakaan, maka perilaku mengenakan sabuk pengaman akan dilazimkan karena menghindari hasil yang tidak diinginkan. Hukuman atau sanksi sosial juga bisa berperan dalam melazimkan perilaku yang diinginkan dengan menekan perilaku yang tidak diinginkan. Sistem hukum, misalnya, dirancang untuk melazimkan kepatuhan terhadap aturan dengan konsekuensi hukum bagi pelanggaran.

5. Peran Media dan Teknologi Komunikasi: Akselerator Kelaziman Modern

Di era modern, media massa tradisional (televisi, radio, koran) dan teknologi komunikasi digital (internet, media sosial) memiliki kekuatan yang tak tertandingi dalam melazimkan ide-ide, tren, dan praktik secara cepat dan masif. Dari iklan yang berulang-ulang yang menanamkan merek dan produk ke dalam kesadaran publik, hingga liputan berita yang terus-menerus tentang suatu isu, media dapat secara signifikan membentuk opini publik dan mempercepat adopsi. Platform media sosial, khususnya, dapat menciptakan efek viral di mana suatu ide, meme, tantangan, atau gerakan sosial dapat dilazimkan di kalangan jutaan orang dalam hitungan jam atau hari.

Kekuatan ini datang dengan tanggung jawab besar, karena media juga dapat secara tidak sengaja atau sengaja melazimkan informasi yang salah (hoax), standar kecantikan yang tidak realistis, atau perilaku yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, kemampuan untuk berpikir kritis dan literasi media menjadi sangat penting bagi individu untuk menyaring apa yang dilazimkan oleh saluran-saluran ini.

Dampak Melazimkan: Sisi Positif dan Negatif

Proses melazimkan tidak selalu netral; ia memiliki konsekuensi yang mendalam, baik positif maupun negatif, yang membentuk masyarakat dan individu. Sama seperti dua sisi mata uang, kelaziman dapat menjadi kekuatan pendorong kemajuan atau penghalang bagi perubahan yang diperlukan.

Manfaat Positif Kelaziman: Pondasi Peradaban

Di sisi positif, kemampuan untuk melazimkan adalah fondasi kemajuan peradaban. Tanpa itu, kita tidak akan bisa membangun masyarakat yang berfungsi, mengembangkan pengetahuan secara berkelanjutan, atau bahkan hidup berdampingan secara damai.

  1. Efisiensi dan Stabilitas: Ketika banyak aspek kehidupan dilazimkan, kita tidak perlu terus-menerus membuat keputusan dasar atau merundingkan ulang norma dari nol. Ini menciptakan efisiensi yang luar biasa, mengurangi kebingungan, dan memberikan stabilitas yang esensial bagi masyarakat untuk berfungsi dengan lancar. Bayangkan jika setiap hari kita harus memutuskan sisi jalan mana yang akan digunakan untuk berkendara; tanpa kelaziman ini, kekacauan akan tak terhindarkan.
  2. Kohesi Sosial dan Identitas: Kelaziman bersama, seperti bahasa nasional, adat istiadat, perayaan hari besar, dan nilai-nilai moral, menciptakan rasa identitas dan kepemilikan yang kuat. Ini membantu memperkuat ikatan sosial, memupuk kohesi dalam suatu kelompok, komunitas, atau bangsa, dan memberikan rasa aman dalam berinteraksi. Kita merasa nyaman dengan orang-orang yang berbagi kelaziman yang sama.
  3. Akselerator Inovasi dan Pengetahuan: Setelah suatu inovasi dilazimkan (misalnya, listrik, internet, vaksinasi massal), ia menjadi dasar yang stabil dari mana inovasi-inovasi baru yang lebih kompleks dapat dibangun. Kelaziman teknologi tertentu memungkinkan pengembangan aplikasi, layanan, dan penemuan ilmiah yang lebih canggih, karena fondasinya sudah kokoh dan diterima luas.
  4. Pembentukan Karakter Individu: Pada tingkat individu, melazimkan kebiasaan baik seperti disiplin diri, empati, ketekunan, kejujuran, atau kebersihan pribadi adalah kunci untuk pengembangan karakter yang kuat dan pencapaian tujuan pribadi yang berarti. Kebiasaan ini, setelah dilazimkan, menjadi bagian integral dari siapa kita.
  5. Penyebaran Praktik Baik Global: Melazimkan praktik-praktik yang menguntungkan, seperti sanitasi yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, atau standar kesehatan global, telah berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup global secara signifikan. Kelaziman ini melampaui batas negara dan menjadi aspirasi bersama umat manusia.

Contohnya, melazimkan penggunaan mata uang sebagai alat tukar universal telah menyederhanakan perdagangan, memungkinkan spesialisasi ekonomi, dan membangun ekonomi global yang kompleks dan saling terhubung. Atau, melazimkan sistem pendidikan formal telah memungkinkan penyebaran pengetahuan secara massal, pemberdayaan generasi demi generasi, dan peningkatan mobilitas sosial.

Sisi Negatif dan Tantangan Melazimkan: Ketika Norma Menjadi Beban

Namun, kekuatan melazimkan juga memiliki sisi gelap dan tantangan yang signifikan. Ketika tidak diimbangi dengan kritik dan adaptasi, kelaziman dapat menjadi penghalang.

  1. Inersia dan Resistensi terhadap Perubahan: Begitu suatu praktik atau ide dilazimkan, ia bisa menjadi sangat sulit untuk diubah, bahkan jika ia sudah usang, tidak efisien, atau bahkan merugikan. Ini menciptakan inersia sosial yang menghambat kemajuan. Banyak masyarakat berjuang untuk melazimkan perubahan penting, seperti pengurangan emisi karbon, reformasi sosial yang mendalam, atau adopsi teknologi yang disruptif, karena resistensi terhadap perubahan dari apa yang sudah lazim dan nyaman.
  2. Pembentukan Prasangka dan Diskriminasi: Sayangnya, melazimkan juga dapat memperkuat prasangka, stereotip, dan bahkan sistem diskriminasi yang merugikan. Ketika pandangan negatif tentang kelompok tertentu dilazimkan dalam budaya, media, atau institusi, hal itu dapat menyebabkan diskriminasi sistemik, ketidakadilan, dan marginalisasi yang sulit diatasi karena sudah dianggap "normal."
  3. Kehilangan Keunikan dan Kreativitas: Jika terlalu banyak hal dilazimkan, atau ada tekanan kuat untuk mengikuti kelaziman, ada risiko kehilangan keunikan individu dan kreativitas. Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma yang lazim dapat menekan ekspresi diri, pemikiran orisinal, dan inovasi yang berani.
  4. Penyebaran Praktik Buruk atau Tidak Sehat: Sama seperti praktik baik, praktik buruk atau merugikan juga bisa dilazimkan. Kebiasaan merokok di masa lalu, konsumsi gula berlebihan, atau perilaku konsumsi yang tidak berkelanjutan saat ini, adalah contoh bagaimana hal-hal yang merugikan individu atau lingkungan dapat menjadi "normal" dalam masyarakat, seringkali karena strategi pemasaran atau tekanan sosial.
  5. Blind Spot dan Kritisitas yang Berkurang: Ketika sesuatu dilazimkan, kita cenderung berhenti mempertanyakannya. Ini dapat menciptakan "titik buta" di mana masalah-masalah yang mendalam tidak terlihat atau diabaikan karena sudah dianggap sebagai "begitulah adanya" atau "sudah dari dulu begini." Ini menghambat kemampuan kita untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang mendasar.

Sebuah masyarakat yang terlalu kaku dalam kelazimannya mungkin akan stagnan, gagal beradaptasi dengan tantangan baru, dan akhirnya tertinggal. Sebaliknya, masyarakat yang terlalu cepat melazimkan hal-hal baru tanpa refleksi yang memadai bisa kehilangan pijakan, nilai-nilai, atau jatuh ke dalam kekacauan. Keseimbangan antara menghargai tradisi dan mendorong inovasi, antara apa yang sudah lazim dan apa yang perlu diubah, adalah perjuangan abadi yang mendefinisikan kemajuan manusia.

Peran Individu dalam Proses Melazimkan: Dari Penerima hingga Agen Perubahan

Meskipun melazimkan seringkali tampak seperti proses makro yang didorong oleh kekuatan sosial, individu memainkan peran yang sangat signifikan, baik sebagai penerima pasif dari kelaziman yang ada maupun sebagai agen perubahan aktif yang membentuk kelaziman baru.

Sebagai Penerima Kelaziman: Internalitas dan Pembentukan Diri

Sejak lahir, kita terpapar pada berbagai kelaziman yang telah ada dalam masyarakat kita: bahasa yang kita gunakan, cara kita berpakaian, kebiasaan makan, norma kesopanan, dan bahkan cara kita berpikir tentang waktu atau ruang. Kita menyerap kelaziman ini melalui observasi, imitasi, pembelajaran eksplisit dari orang tua dan guru, serta instruksi sosial yang tak terucapkan. Proses ini memungkinkan kita untuk berfungsi dalam masyarakat dan berinteraksi dengan orang lain. Seorang anak yang diajari untuk mengatakan "tolong" dan "terima kasih" adalah contoh sederhana bagaimana individu melazimkan perilaku yang sesuai secara sosial, yang kemudian menjadi bagian dari kepribadiannya.

Banyak dari kelaziman ini menjadi begitu terinternalisasi sehingga membentuk inti dari identitas kita. Cara kita berpikir, bereaksi, merasakan emosi, dan bahkan merespons stres seringkali dibentuk oleh kelaziman yang telah kita serap. Misalnya, individu di masyarakat yang melazimkan budaya kerja keras dan produktivitas cenderung merasa bersalah atau tidak nyaman jika mereka tidak produktif, bahkan di waktu luang mereka. Ini menunjukkan bagaimana kelaziman dapat menembus jauh ke dalam psikologi pribadi dan memengaruhi kesejahteraan mental seseorang. Kemampuan untuk menginternalisasi kelaziman ini adalah bagian dari kapasitas adaptif kita.

Sebagai Agen Perubahan: Menantang dan Menciptakan Norma Baru

Namun, individu juga memiliki kekuatan luar biasa untuk menentang kelaziman yang sudah ada dan melazimkan praktik baru yang lebih baik atau lebih relevan. Setiap inovasi, setiap gerakan sosial, setiap perubahan budaya yang signifikan, seringkali dimulai dari satu atau beberapa individu yang berani menantang status quo, berpikir di luar kotak, dan bertindak secara berbeda. Ketika Rosa Parks menolak menyerahkan kursinya di bus, ia menantang kelaziman segregasi rasial yang sudah mengakar. Ketika para ilmuwan seperti Galileo pertama kali mengemukakan teori heliosentris, mereka menantang kelaziman geosentris yang sudah mapan selama berabad-abad. Perubahan ini tidak instan; mereka adalah hasil dari upaya berkelanjutan untuk melazimkan cara pandang yang berbeda.

Untuk menjadi agen perubahan yang efektif dalam proses melazimkan, seseorang seringkali membutuhkan kombinasi kualitas dan strategi:

Setiap kali seseorang memutuskan untuk hidup secara lebih berkelanjutan, atau berbicara menentang ketidakadilan, atau mengadopsi teknologi baru yang lebih efisien, mereka berkontribusi pada upaya kolektif untuk melazimkan norma-norma baru yang lebih baik. Bahkan tindakan kecil yang diulang oleh banyak orang dapat menghasilkan perubahan besar seiring waktu, secara bertahap menggeser kelaziman lama menjadi yang baru, dan dengan demikian membentuk arah masa depan masyarakat.

Tantangan dan Masa Depan Melazimkan di Dunia yang Berubah Cepat

Di dunia yang terus bergerak dengan kecepatan eksponensial, didorong oleh globalisasi dan revolusi digital, proses melazimkan menghadapi tantangan unik dan menuntut adaptasi yang lebih cepat dari sebelumnya. Perubahan iklim, pandemi global, dan inovasi teknologi semuanya memaksa kita untuk melazimkan cara-cara baru dalam berpikir dan bertindak, seringkali dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada yang diperlukan di masa lalu.

Kecepatan Melazimkan di Era Digital: Pedang Bermata Dua

Internet dan media sosial telah mengubah dinamika pelaziman secara fundamental. Dulu, suatu ide, tren, atau praktik mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk dilazimkan secara luas di berbagai belahan dunia. Kini, melalui viralitas daring dan konektivitas global, sesuatu dapat dilazimkan di seluruh dunia dalam hitungan hari atau bahkan jam. Fenomena ini memiliki implikasi yang sangat besar.

Di satu sisi, ia memungkinkan penyebaran informasi penting, praktik baik (seperti kampanye kesehatan global), dan gerakan sosial yang mendukung kebaikan bersama secara cepat. Ini adalah kekuatan yang memberdayakan untuk menyatukan orang-orang di seluruh dunia demi tujuan bersama. Namun, di sisi lain, kecepatan ini juga dapat melazimkan tren yang dangkal, informasi yang salah (disinformasi), atau standar yang tidak sehat (misalnya, standar kecantikan yang tidak realistis) dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, sebelum ada waktu untuk evaluasi kritis.

Tantangan utama di sini adalah bagaimana membedakan antara kelaziman yang bermanfaat dan kelaziman yang merugikan. Kita perlu mengembangkan literasi digital yang kuat, kemampuan berpikir kritis yang tajam, dan ketahanan psikologis untuk menyaring arus informasi yang tak henti-hentinya dan memilih secara sadar apa yang benar-benar kita ingin melazimkan dalam hidup kita dan di masyarakat kita. Ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab platform digital dalam mengelola proses pelaziman konten.

Melazimkan Keberlanjutan di Tengah Krisis Lingkungan: Sebuah Keharusan

Salah satu tantangan terbesar dan paling mendesak di abad ini adalah melazimkan perilaku berkelanjutan. Perubahan iklim yang semakin parah, hilangnya keanekaragaman hayati secara massal, dan penipisan sumber daya alam menuntut pergeseran radikal dalam cara kita mengonsumsi, memproduksi, dan berinteraksi dengan planet ini. Ini bukan hanya tentang mengadopsi teknologi hijau yang lebih efisien, tetapi juga tentang melazimkan pola pikir baru yang menghargai keberlanjutan, keseimbangan ekologis, dan keadilan antar-generasi di atas pertumbuhan ekonomi semata atau keuntungan jangka pendek.

Proses melazimkan keberlanjutan sangat kompleks karena memerlukan perubahan pada tingkat individu, korporasi, pemerintah, dan bahkan tatanan internasional. Ini melibatkan edukasi masif, insentif ekonomi yang tepat, regulasi yang ketat, inovasi teknologi yang didorong, dan perubahan budaya yang mendalam. Masyarakat perlu melazimkan praktik daur ulang, mengurangi konsumsi berlebihan, beralih ke energi terbarukan, menggunakan transportasi publik, dan menghargai ekosistem alam sebagai bagian integral dari kelangsungan hidup kita, bukan hanya sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi. Ini adalah pertaruhan besar untuk masa depan spesies manusia.

Fleksibilitas dalam Kelaziman: Kunci Adaptasi

Di masa depan yang ditandai oleh ketidakpastian dan perubahan konstan, kemampuan untuk tidak hanya melazimkan hal-hal baru, tetapi juga mengubah kelaziman dengan cepat dan tanpa resistensi berlebihan, akan menjadi sangat penting. Dunia yang cepat berubah membutuhkan adaptabilitas yang tinggi, baik dari individu maupun institusi. Ini berarti kita harus tetap terbuka untuk mempertanyakan apa yang sudah lazim, dan bersedia melepaskan kebiasaan, norma, atau bahkan keyakinan yang tidak lagi melayani tujuan kita atau merugikan. Konsep "un-learning" menjadi sama pentingnya dengan "learning".

Menciptakan budaya di mana kritik konstruktif terhadap kelaziman yang ada diterima dan didorong akan menjadi kunci. Ini bukan berarti menolak semua tradisi dan warisan budaya, tetapi secara selektif mengevaluasi dan memperbarui kelaziman agar tetap relevan, bermanfaat, dan etis di tengah perubahan. Fleksibilitas ini akan memungkinkan kita untuk terus berkembang dan beradaptasi tanpa terjebak dalam kelaziman yang sudah usang dan menghambat. Pertanyaan yang relevan bukan hanya "apa yang harus kita lazimkan?", tetapi juga "apa yang harus kita berhenti lazimkan?".

Strategi untuk Melazimkan Perilaku Positif: Membangun Kebiasaan Baik

Mengingat kekuatan besar dari proses melazimkan, bagaimana kita bisa secara sadar menggunakannya untuk mendorong perilaku positif dan perubahan yang diinginkan, baik pada diri sendiri maupun di masyarakat? Ada berbagai strategi yang dapat diterapkan, berakar pada pemahaman tentang psikologi manusia dan dinamika sosial.

1. Identifikasi dan Mulai dari Hal Kecil: Prinsip Kemenangan Kecil

Untuk melazimkan kebiasaan positif, langkah pertama adalah mengidentifikasi satu perilaku kecil, spesifik, dan mudah dicapai yang ingin Anda tanamkan. Jangan mencoba mengubah segalanya sekaligus, karena ini seringkali menyebabkan kelelahan dan kegagalan. Misalnya, jika Anda ingin melazimkan kebiasaan membaca, mulailah dengan target yang sangat realistis seperti 10 menit setiap hari, bukan langsung dua jam. Kemenangan kecil yang konsisten akan membangun momentum, meningkatkan rasa percaya diri, dan memicu motivasi untuk melanjutkan. Ini adalah fondasi yang kokoh untuk pertumbuhan kebiasaan.

2. Ciptakan Pemicu dan Lingkungan yang Mendukung: Arsitektur Pilihan

Kelaziman seringkali dipicu oleh isyarat atau pemicu dari lingkungan. Kita dapat merekayasa lingkungan kita untuk membuat perilaku yang diinginkan lebih mudah dilazimkan dan perilaku yang tidak diinginkan lebih sulit. Jika Anda ingin melazimkan berolahraga, letakkan pakaian olahraga Anda di tempat yang mudah terlihat atau siapkan tas gym Anda semalam sebelumnya. Jika Anda ingin makan lebih sehat, singkirkan makanan tidak sehat dari dapur Anda dan isi dengan pilihan yang bergizi. Lingkungan yang mendukung akan membuat perilaku yang diinginkan terasa lebih otomatis dan kurang membutuhkan kekuatan kehendak yang besar untuk memulainya. Ini adalah strategi "arsitektur pilihan" yang efektif.

3. Gabungkan dengan Kebiasaan yang Sudah Ada: Habit Stacking

Salah satu strategi yang sangat efektif untuk melazimkan kebiasaan baru adalah menggabungkannya dengan kebiasaan yang sudah dilazimkan dan tertanam kuat. Ini dikenal sebagai habit stacking. Prinsipnya adalah menggunakan kebiasaan lama sebagai pemicu untuk kebiasaan baru. Misalnya, Anda dapat menetapkan formula seperti: "Setelah saya menyikat gigi (kebiasaan lama yang lazim), saya akan membaca selama 10 menit (kebiasaan baru yang ingin dilazimkan)." Atau, "Setelah saya minum kopi pagi (kebiasaan lama), saya akan menulis daftar tugas saya (kebiasaan baru)." Ini memanfaatkan jalur saraf yang sudah ada di otak untuk memperkuat kebiasaan baru, membuatnya lebih mudah untuk diingat dan dilakukan.

4. Libatkan Komunitas dan Jaringan Sosial: Kekuatan Bukti Sosial

Mengingat peran penting penerimaan sosial dan konformitas dalam proses pelaziman, melibatkan teman, keluarga, atau komunitas dapat sangat membantu dalam melazimkan perilaku positif. Bergabung dengan kelompok pendukung, berbagi tujuan Anda dengan orang terdekat, dan mendapatkan dorongan dari orang lain dapat memberikan akuntabilitas dan motivasi tambahan. Ketika suatu perilaku dilazimkan oleh kelompok Anda atau menjadi norma dalam komunitas Anda, kemungkinan besar Anda juga akan mengikutinya karena dorongan untuk menjadi bagian. Ini juga menciptakan sistem dukungan di mana individu dapat saling menguatkan. Contohnya, bergabung dengan klub lari untuk melazimkan olahraga rutin.

5. Ulangi dan Bersabar: Proses Jangka Panjang

Repetisi adalah inti dari melazimkan, tetapi kesabaran adalah bahan bakar utamanya. Jangan berkecil hati jika Anda sesekali melewatkan suatu hari atau tergelincir dari kebiasaan Anda. Yang terpenting adalah kembali ke jalur sesegera mungkin tanpa mengkritik diri sendiri secara berlebihan. Butuh waktu agar suatu perilaku menjadi lazim, otomatis, dan terinternalisasi. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dibutuhkan puluhan, bahkan ratusan, pengulangan agar suatu kebiasaan baru benar-benar mengakar. Kesabaran, ketekunan, dan kemauan untuk bangkit kembali dari kegagalan kecil adalah kunci. Ingatlah bahwa proses melazimkan adalah maraton, bukan sprint.

6. Refleksi dan Evaluasi Kritis: Adaptasi Berkelanjutan

Secara berkala, luangkan waktu untuk merefleksikan kelaziman Anda, baik yang personal maupun sosial. Apakah kelaziman ini masih melayani Anda atau masyarakat dengan baik? Apakah ada kelaziman yang sudah usang, tidak efisien, atau bahkan merugikan yang perlu diubah atau dihilangkan? Kemampuan untuk secara kritis mengevaluasi kelaziman adalah tanda kematangan, kesadaran diri, dan adaptabilitas. Ini memungkinkan kita untuk secara proaktif membentuk masa depan, bukan hanya pasif mengikuti apa yang sudah dilazimkan. Dalam skala yang lebih besar, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang tidak takut untuk secara berkala mempertanyakan dan mereformasi kelazimannya. Ini adalah masyarakat yang mampu melazimkan ide-ide baru seperti keadilan sosial yang lebih luas, kesetaraan penuh, dan kelestarian lingkungan, bahkan ketika hal itu menantang norma-norma yang sudah lama berdiri. Proses ini memerlukan dialog terbuka, empati, dan keinginan untuk belajar dan tumbuh bersama secara kolektif.

Studi Kasus: Bagaimana Teknologi Baru Dilazimkan ke dalam Kehidupan

Teknologi adalah salah satu pendorong perubahan terbesar di zaman kita, dan proses bagaimana ia berhasil dilazimkan ke dalam kehidupan sehari-hari memberikan ilustrasi yang kaya tentang mekanisme yang telah kita bahas.

Telepon Seluler: Dari Mewah Menjadi Mutlak

Pada awal kemunculannya, telepon seluler adalah perangkat yang mahal, besar, dan hanya digunakan oleh kalangan tertentu, seperti pebisnis atau individu berkantong tebal. Namun, melalui serangkaian inovasi yang tak henti-hentinya (pengecilan ukuran, peningkatan fitur, penurunan harga yang dramatis) dan kampanye pemasaran yang agresif, masyarakat secara bertahap mulai melazimkan penggunaan telepon seluler. Puncaknya adalah era smartphone, di mana perangkat ini tidak lagi hanya alat komunikasi dasar, tetapi menjadi pusat aktivitas digital: bekerja, belajar, bersosialisasi, hiburan, navigasi, dan bahkan transaksi keuangan.

Proses pelaziman telepon seluler melibatkan beberapa tahapan yang jelas:

  1. Inovasi Awal dan Adopsi Dini: Teknologi dasar diciptakan dan pertama kali diadopsi oleh early adopters atau inovator yang berani mencoba hal baru dan siap membayar mahal.
  2. Penyempurnaan dan Kemudahan Penggunaan: Perusahaan teknologi secara terus-menerus berusaha membuat perangkat lebih mudah diakses, lebih intuitif, dan lebih murah untuk digunakan oleh massa. Ini adalah tahap krusial agar masyarakat luas dapat melazimkan teknologi tersebut tanpa hambatan besar dalam pembelajaran atau biaya.
  3. Jaringan Efek: Semakin banyak orang yang mengadopsi dan menggunakan telepon seluler, semakin berharga perangkat tersebut bagi individu lainnya, mendorong lebih banyak orang untuk mengadopsi. Telepon seluler menjadi lebih berguna ketika lebih banyak teman, keluarga, dan rekan kerja yang bisa dihubungi melaluinya. Ini menciptakan lingkaran umpan balik positif.
  4. Integrasi Sosial dan Kultural: Telepon seluler menjadi bagian tak terpisahkan dari interaksi sosial, praktik bisnis, dan bahkan budaya populer. Kita mulai melazimkan perilaku seperti selalu memegang ponsel di tangan, memeriksanya secara teratur untuk notifikasi, atau menggunakannya untuk mengambil gambar setiap momen penting.
  5. Kelaziman Mutlak: Keberadaan telepon seluler diterima sebagai norma yang tak terelakkan, dan ketiadaannya terasa aneh, tidak lengkap, atau bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari. Istilah "nomophobia" (ketakutan tanpa ponsel) muncul sebagai bukti betapa dalamnya teknologi ini telah dilazimkan.

Saat ini, sulit membayangkan hidup tanpa telepon seluler. Ini adalah contoh nyata bagaimana sesuatu yang dulunya asing bisa menjadi begitu fundamental sehingga kita hampir tidak lagi menyadari bahwa itu adalah hasil dari proses melazimkan yang masif dan berkelanjutan.

Media Sosial: Membentuk Ulang Cara Kita Berinteraksi

Mirip dengan telepon seluler, media sosial adalah fenomena lain yang telah berhasil melazimkan cara baru berinteraksi antarmanusia dalam skala global. Dari jejaring pertemanan awal seperti Friendster dan MySpace, hingga platform berbagi video (YouTube, TikTok) dan mikro-blogging (Twitter/X), media sosial telah mengubah lanskap komunikasi, membentuk cara kita berbagi informasi, membangun komunitas, dan bahkan membentuk opini publik.

Awalnya, banyak orang, terutama generasi tua, skeptis terhadap media sosial. Ada kekhawatiran yang sah tentang privasi, keamanan data, dan dampak sosialnya terhadap interaksi tatap muka. Namun, daya tarik konektivitas global yang instan, kemudahan ekspresi diri, kemampuan untuk tetap terhubung dengan lingkaran sosial yang luas, dan rasa FOMO (Fear of Missing Out) secara bertahap melazimkan penggunaannya. Algoritma cerdas yang dirancang untuk menjaga keterlibatan pengguna, fitur-fitur yang menarik secara visual, dan kebutuhan mendasar manusia untuk afiliasi sosial semuanya berkontribusi pada pelaziman platform-platform ini ke dalam rutinitas miliaran orang.

Akibatnya, kita kini melihat kelaziman baru yang tak terbayangkan beberapa dekade lalu, seperti:

Meskipun ada banyak perdebatan yang terus berlangsung tentang dampak positif dan negatif media sosial terhadap kesehatan mental, polarisasi politik, dan kohesi sosial, tidak dapat disangkal bahwa platform-platform ini telah berhasil melazimkan dirinya sebagai bagian integral dari kain sosial global, membentuk ulang cara kita hidup dan berhubungan satu sama lain.

Refleksi Filosofis tentang Melazimkan: Kebebasan, Realitas, dan Moralitas

Lebih dari sekadar proses sosiologis atau psikologis, tindakan melazimkan juga memiliki dimensi filosofis yang mendalam. Ia menyentuh pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat kebebasan, determinisme, konstruksi realitas, dan dasar moralitas kita.

Kelaziman sebagai Konstruksi Realitas: Membangun Dunia Kita

Dari sudut pandang konstruktivisme sosial, banyak dari apa yang kita anggap "nyata", "objektif", atau "alami" sebenarnya adalah kelaziman sosial yang kuat. Konsep abstrak seperti uang (yang nilainya hanya ada karena kita semua percaya padanya), batas-batas negara, institusi pernikahan, atau bahkan kategori identitas seperti gender, adalah konstruksi sosial yang telah dilazimkan melalui konsensus kolektif, praktik berulang, dan penegakan oleh institusi. Mereka tidak memiliki keberadaan fisik yang independen dari kesepakatan kolektif kita, tetapi karena telah begitu mendalam dilazimkan, mereka terasa sangat nyata dan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk kehidupan, keputusan, dan interaksi kita.

Memahami bahwa banyak kelaziman kita adalah konstruksi, bukan kebenaran absolut yang tak tergoyahkan, memberikan kita kekuatan yang sangat besar untuk mempertanyakannya. Ini membuka jalan bagi perubahan sosial yang mendasar dan memungkinkan kita untuk secara sadar memutuskan kelaziman apa yang ingin kita pertahankan, mana yang perlu kita melazimkan ulang, atau bahkan mana yang perlu kita tinggalkan sama sekali. Ini adalah langkah pertama menuju pemberdayaan kolektif dan individu untuk membentuk realitas yang lebih baik.

Batas Antara Kebebasan dan Keterikatan Kelaziman: Dilema Eksistensial

Apakah kita benar-benar bebas jika hidup kita begitu terikat oleh kelaziman yang telah ada sebelum kita lahir dan terus dibentuk di sekitar kita? Pertanyaan ini menyinggung dikotomi klasik antara kebebasan individu dan determinisme sosial. Di satu sisi, kelaziman menyediakan struktur, aturan, dan ekspektasi yang memungkinkan kebebasan bertindak di dalam batasan yang dapat diprediksi. Tanpa kelaziman lalu lintas, misalnya, berkendara akan menjadi kekacauan yang membatasi pergerakan. Kelaziman bahasa memungkinkan kita berkomunikasi dan mengekspresikan pemikiran kompleks.

Namun, di sisi lain, kelaziman juga bisa menjadi semacam "penjara tak terlihat," membatasi pemikiran, perilaku, dan aspirasi kita pada pola-pola yang telah ditentukan sebelumnya oleh masyarakat. Tekanan untuk sesuai dengan kelaziman sosial dapat menghambat ekspresi diri yang autentik dan pilihan hidup yang berbeda. Tantangan bagi setiap individu adalah menemukan keseimbangan yang sehat: bagaimana menghargai kelaziman yang fungsional dan bermanfaat sambil tetap mempertahankan kapasitas untuk berpikir secara kritis, menantang yang tidak relevan, dan memiliki keberanian untuk melazimkan cara-cara baru yang lebih baik. Ini adalah pencarian seumur hidup untuk otonomi dalam masyarakat yang saling terhubung dan penuh kelaziman.

Melazimkan Etika dan Moralitas: Evolusi Nilai

Etika dan moralitas adalah area lain di mana proses melazimkan sangat menonjol dan memiliki implikasi yang mendalam. Apa yang dianggap benar atau salah, adil atau tidak adil, baik atau buruk, seringkali merupakan hasil dari kelaziman budaya, historis, dan religius. Nilai-nilai dasar seperti "jangan mencuri," "jujur," atau "membantu yang lemah" telah dilazimkan dalam banyak masyarakat sebagai dasar untuk koeksistensi yang harmonis dan teratur.

Namun, nilai-nilai ini tidak statis; mereka terus-menerus beradaptasi, berkembang, dan kadang-kadang dipertanyakan seiring waktu. Gerakan hak-hak sipil, misalnya, adalah upaya untuk melazimkan prinsip kesetaraan dan keadilan yang lebih luas daripada yang diizinkan atau diakui oleh kelaziman sebelumnya yang diskriminatif. Tantangan etis modern, seperti etika kecerdasan buatan, hak-hak hewan, atau bioetika, memaksa kita untuk secara aktif melazimkan norma-norma baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam konteks ini, kita harus secara sadar berdialog dan menentukan apa yang akan kita anggap sebagai standar moral yang diterima dan dilazimkan di masa depan untuk menghadapi kompleksitas dunia modern.

Kesimpulan: Sebuah Ajakan untuk Berpikir dan Bertindak Sadar

Melazimkan bukanlah sekadar kata kerja pasif; ia adalah kekuatan fundamental yang secara aktif membentuk realitas kita dan merupakan inti dari pengalaman manusia. Dari kebiasaan personal terkecil yang kita lakukan setiap hari hingga norma sosial terbesar yang mengatur interaksi miliaran orang, ia adalah arsitek tak terlihat dari dunia yang kita huni. Memahami esensi, mekanisme, dampak, dan tantangan dari proses melazimkan memberikan kita wawasan yang berharga tentang bagaimana masyarakat berfungsi, bagaimana individu beradaptasi, dan bagaimana masa depan dapat dibentuk.

Masyarakat yang maju, yang mampu bertahan dan berkembang di tengah tantangan, adalah masyarakat yang tidak hanya mampu melazimkan kebiasaan baik, inovasi yang bermanfaat, dan nilai-nilai positif, tetapi juga memiliki kapasitas kritis untuk secara berkala mengevaluasi kelaziman yang ada. Masyarakat semacam ini berani menantang kelaziman yang usang, merugikan, atau tidak relevan, dan dengan sengaja melazimkan perubahan menuju arah yang lebih baik, lebih etis, dan lebih inklusif. Ini adalah tugas yang berkelanjutan, memerlukan partisipasi aktif, refleksi mendalam, dan keberanian dari setiap individu.

Sebagai individu, kita memiliki pilihan dan tanggung jawab. Kita bisa menjadi pasif dan hanya mengikuti kelaziman yang sudah ada, menerima apa adanya tanpa pertanyaan, atau kita bisa menjadi agen yang sadar dan proaktif. Kita dapat memilih apa yang kita ingin melazimkan dalam hidup kita sendiri, membentuk kebiasaan yang memberdayakan, dan berkontribusi pada pelaziman praktik-praktik yang lebih etis, berkelanjutan, dan manusiawi di masyarakat luas. Kekuatan untuk membentuk masa depan, untuk menciptakan dunia yang kita inginkan, terletak pada kemampuan kita untuk memahami, mengarahkan, dan kadang-kadang, bahkan menantang apa yang telah kita lazimkan.

Oleh karena itu, marilah kita secara sadar merenungkan setiap kebiasaan, setiap norma, dan setiap praktik yang kita jalani dan saksikan. Tanyakan pada diri kita: Apakah ini sesuatu yang ingin kita terus melazimkan? Apakah ini berkontribusi pada kebaikan yang lebih besar bagi diri kita, komunitas kita, dan planet ini? Dengan kesadaran ini, kita dapat menjadi lebih dari sekadar produk dari kelaziman; kita dapat menjadi pencipta yang bertanggung jawab atas kelaziman masa depan, membentuknya dengan tujuan dan integritas. Inilah esensi dari adaptasi yang sadar dan pembangunan peradaban yang berkesinambungan.