Dalam khazanah bahasa dan filosofi Nusantara, terdapat banyak istilah yang tidak sekadar berfungsi sebagai penanda, melainkan sebagai penampung seluruh spektrum emosi dan sejarah. Salah satunya adalah lelung. Kata ini, yang sering dikaitkan dengan makna terlupa, hilang, atau tertinggal jauh di belakang ingatan, membawa beban yang jauh lebih berat daripada sekadar lupa sesaat. Lelung adalah kondisi kultural yang merayap, sebuah epidemi diam-diam yang mengikis fondasi identitas kolektif suatu bangsa. Ia adalah jurang sunyi antara masa kini yang serba cepat dan masa lalu yang kaya namun terabaikan. Memahami lelung berarti mengakui bahwa proses kehilangan tidak selalu dramatis; seringkali ia terjadi secara perlahan, setetes demi setetes, hingga warisan agung menjadi sekadar gumaman yang tidak lagi dikenali oleh pewarisnya sendiri.
Artikel ini akan menelusuri kedalaman makna lelung, bukan hanya sebagai fenomena linguistik, tetapi sebagai cerminan krisis identitas kultural yang dihadapi oleh masyarakat modern. Kita akan mengupas bagaimana elemen-elemen kebudayaan, mulai dari ritual sakral hingga seni rupa sehari-hari, beranjak dari vitalitas menjadi keterlupaan, dan bagaimana upaya untuk mengangkatnya kembali dari palung lelung menjadi sebuah perjuangan epik yang berkelanjutan.
Ketika sebuah tradisi memasuki fase lelung, ia tidak mati. Ia hanya bergerak ke ruang limbo, tempat di mana ia masih eksis dalam catatan lama atau memori segelintir orang tua, tetapi kehilangan daya hidupnya di tengah masyarakat luas. Proses ini terjadi melalui berbagai mekanisme, yang seringkali saling terkait dalam pusaran modernisasi, globalisasi, dan pergeseran nilai-nilai ekonomi.
Fondasi utama lelung adalah erosi bahasa. Setiap bahasa lokal di Nusantara menyimpan ribuan tahun kearifan. Ketika generasi muda tidak lagi menggunakan bahasa ibu mereka, yang hilang bukan sekadar alat komunikasi, tetapi seluruh matriks pengetahuan yang tersemat di dalamnya. Dalam banyak dialek daerah, istilah-istilah yang mendeskripsikan sistem irigasi kuno, teknik menenun yang rumit, atau klasifikasi obat-obatan herbal yang spesifik, telah menjadi lelung. Kata-kata tersebut, yang merupakan kunci untuk membuka gudang ilmu nenek moyang, kini hanya menjadi fosil linguistik.
Sebagai contoh, banyak ritual penyambutan panen memiliki leksikon khusus yang menghubungkan manusia, alam, dan spiritualitas. Ketika ritual tersebut berhenti dipraktikkan karena dianggap tidak relevan oleh kaum urban, seluruh leksikon yang menyertainya ikut tereduksi menjadi lelung. Keterlupaan ini menciptakan jurang pemisah yang tidak dapat dijembatani oleh terjemahan, karena tidak ada padanan kata yang mampu menangkap kedalaman filosofis dari istilah aslinya.
Seni tradisional, seperti tari, musik, atau kerajinan tangan, bergantung pada sistem pewarisan yang stabil—dari guru ke murid, dari orang tua ke anak. Kehidupan modern yang menuntut mobilitas, fokus pada pendidikan formal berbasis kurikulum nasional, dan tekanan ekonomi untuk mengejar pekerjaan yang menghasilkan pendapatan cepat, telah memecah belah rantai pewarisan ini. Dahulu, seorang anak mungkin menghabiskan masa remajanya di bawah bimbingan langsung seorang maestro. Sekarang, waktu yang sama dihabiskan untuk mengejar gelar akademis yang menjanjikan stabilitas finansial, meninggalkan seni sebagai hobi sampingan yang mudah ditinggalkan.
Saat seorang empu meninggal tanpa sempat mendokumentasikan atau mentransfer pengetahuan spesifiknya—misalnya, rahasia campuran warna alami pada batik pusaka atau pola pukulan tertentu pada gamelan—maka pengetahuan itu secara definitif masuk ke dalam ruang lelung. Ia hilang bukan karena dihancurkan, melainkan karena tidak ada lagi penerima yang mampu menampungnya. Ini adalah kematian yang paling sunyi, di mana harta karun tak ternilai lenyap hanya karena kekurangan tangan yang mau memegangnya.
Pelita ingatan yang meredup, melambangkan pengetahuan yang terperangkap dalam batas-batas lelung.
Lelung tidak hanya berbicara tentang objek yang hilang, tetapi juga tentang kondisi psikologis dan filosofis yang diakibatkannya. Kondisi ini seringkali terwujud sebagai melankolia kolektif, perasaan rindu yang mendalam terhadap sesuatu yang tidak pernah dialami secara langsung, namun terasa penting untuk identitas diri.
Banyak generasi muda di perkotaan modern merasakan kekosongan atau rasa kehilangan yang tidak dapat mereka definisikan. Ini adalah 'rasa sakit hantu' kultural, seperti anggota tubuh yang diamputasi namun masih terasa sakitnya. Mereka tahu bahwa di balik modernitas, ada lapisan sejarah yang kaya, namun akses terhadap lapisan tersebut telah terputus oleh lelung.
Kekurangan koneksi ini seringkali menyebabkan pencarian identitas yang panik, di mana individu mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan budaya impor atau identitas yang dangkal. Kegagalan untuk memahami warisan yang menjadi lelung ini menghambat pemahaman diri yang utuh. Ketika seseorang tidak tahu dari mana ia berasal, ia kesulitan menentukan ke mana ia harus melangkah. Lelung, dalam konteks ini, adalah kegagalan sistematis untuk memberikan konteks sejarah dan filosofis kepada generasi penerus.
"Lelung adalah ketika sebuah masyarakat lupa bagaimana cara mendengarkan lagu lama mereka, bukan karena mereka tuli, tetapi karena mereka sudah terlalu lama terpapar pada kebisingan baru yang memekakkan."
Salah satu aspek lelung yang paling merusak adalah keterlupaan terhadap kearifan lokal yang berkaitan dengan lingkungan dan ekologi. Masyarakat adat telah mengembangkan sistem pengetahuan yang kompleks tentang siklus alam, mitigasi bencana, dan praktik pertanian berkelanjutan selama berabad-abad. Pengetahuan ini seringkali diwariskan melalui mitos, ritual, atau pantangan.
Ketika sistem kepercayaan ini di-‘lelung’-kan oleh narasi pembangunan dan eksploitasi industri, hasilnya adalah kerusakan ekologis yang tidak terhindarkan. Misalnya, teknik pengelolaan hutan berbasis adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan menjadi terlupakan, digantikan oleh metode industri yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek. Pengetahuan tentang penanda alam untuk musim hujan atau gempa bumi menjadi lelung, membuat komunitas lebih rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam. Mengangkat pengetahuan ekologis ini dari lelung bukan hanya tentang melestarikan budaya, tetapi tentang menyelamatkan masa depan planet.
Nama-nama tempat di Nusantara seringkali memiliki signifikansi historis, geografis, atau spiritual yang mendalam. Penggantian nama-nama tradisional dengan nomenklatur modern yang lebih generik atau administratif juga merupakan bentuk lelung. Ketika nama sebuah bukit atau sungai yang dulunya menceritakan kisah epik atau berfungsi sebagai pengingat moral diubah, identitas tempat itu ikut terdistorsi. Masyarakat kehilangan narasi kolektif yang mengikat mereka pada lanskap fisik mereka.
Fenomena lelung ini diperparah oleh migrasi besar-besaran dan urbanisasi. Komunitas yang berpindah dari desa ke kota secara bertahap kehilangan kontak dengan praktik-praktik kultural yang terikat pada geografis spesifik. Generasi kedua imigran kota mungkin hanya mengetahui nama desa leluhur mereka, tetapi tidak lagi memahami ritual yang harus dilakukan di sungai desa tersebut atau pantangan yang melekat pada hutan yang mengelilinginya. Jarak fisik ini mempercepat proses lelung menjadi keterlupaan total.
Seni adalah salah satu penanda utama keberadaan budaya. Ketika suatu bentuk seni mengalami lelung, ia membawa serta seluruh filosofi yang mendasarinya. Di Nusantara, banyak sekali bentuk seni yang kini hanya tersisa dalam arsip museum atau koleksi pribadi yang tertutup, jauh dari mata publik yang seharusnya menjadi pewarisnya.
Banyak genre musik tradisional yang diciptakan untuk fungsi spesifik—musik untuk ritual penyembuhan, lagu pengantar tidur yang mengandung ajaran moral, atau nyanyian kerja yang mengkoordinasikan tenaga. Seiring bergesernya fungsi sosial, lagu-lagu ini perlahan menghilang. Mereka tidak lagi diajarkan, tidak lagi direkam, dan akhirnya menjadi lelung.
Bayangkan kompleksitas sebuah kidung kuno yang hanya dapat dinyanyikan oleh seorang ahli dengan nada dan intonasi tertentu, diiringi oleh instrumen yang cara pembuatannya sendiri sudah hampir terlupakan. Ketika ahli tersebut tiada, lagu itu ikut lenyap, meninggalkan lubang dalam sejarah musikal. Upaya konservasi seringkali hanya mampu merekam melodi, tetapi gagal menangkap konteks emosional, spiritual, dan sosial yang membuatnya relevan.
Setiap goresan pada ukiran, setiap ikatan pada tenun, dan setiap pijatan pada tanah liat tradisional membawa kode-kode kultural yang kaya. Teknik-teknik yang membutuhkan dedikasi puluhan tahun untuk dikuasai, seperti pembuatan keramik dengan pembakaran tradisional tanpa glasir modern, atau teknik ikat ganda yang sangat rumit, berada di tepi lelung.
Penyebabnya sederhana: pasar modern menuntut kecepatan, efisiensi, dan harga yang murah. Seni yang membutuhkan kesabaran luar biasa dan bahan baku yang langka secara ekonomi tidak berkelanjutan. Akibatnya, para pengrajin beralih ke metode yang lebih cepat dan material yang lebih mudah didapatkan, meninggalkan teknik leluhur mereka untuk menjadi bagian dari lelung. Kehilangan teknik berarti kehilangan kekhasan estetik yang membedakan warisan tersebut dari komoditas global.
Lelung ini tidak hanya berdampak pada nilai artistik, tetapi juga pada ekosistem pengetahuan lokal. Misalnya, dalam proses pewarnaan alami, pengetahuan tentang tanaman mana yang menghasilkan warna tertentu, kapan waktu terbaik untuk memanennya, dan bagaimana cara memprosesnya tanpa merusak lingkungan—semua menjadi bagian dari lelung ketika pewarna kimia sintetis mengambil alih.
Jalur memori kolektif yang memudar semakin mendekati pusat keterlupaan.
Mengatasi lelung bukan berarti membangkitkan masa lalu secara harfiah, melainkan mengintegrasikan warisan yang terlupakan ke dalam konteks kontemporer. Ini adalah tugas monumental yang membutuhkan kolaborasi antara akademisi, praktisi budaya, pemerintah, dan yang paling penting, generasi muda.
Di era digital, ancaman lelung dapat dilawan dengan digitalisasi masif. Namun, digitalisasi tidak boleh berhenti pada sekadar memotret artefak atau merekam pertunjukan. Yang perlu didokumentasikan secara rinci adalah proses dan filosofi di balik warisan tersebut. Misalnya, jika mendokumentasikan tari, harus ada wawancara mendalam dengan penari tertua mengenai makna setiap gerakan, perbedaan variasi, dan lagu-lagu yang mengiringinya, sebelum semua itu menjadi lelung permanen.
Sistem pengarsipan harus terstruktur dan mudah diakses. Proyek-proyek yang berfokus pada open source knowledge mengenai tradisi lokal dapat menjadi benteng melawan lelung. Membuat basis data yang mengumpulkan rekaman bahasa, teknik kerajinan, dan sejarah lisan yang terancam punah, lalu menyediakannya secara bebas, adalah langkah kritis. Ini memastikan bahwa jika pun praktiknya terhenti, pengetahuannya tetap hidup dalam format yang dapat dipelajari kembali di masa depan.
Pendidikan formal seringkali terlalu kaku untuk menampung kekayaan tradisi lokal. Oleh karena itu, revitalisasi harus didorong melalui pendidikan non-formal dan berbasis komunitas. Konsep ‘sekolah adat’ atau ‘sanggar warisan’ yang dijalankan oleh para praktisi budaya yang tersisa adalah kunci. Di sini, transfer pengetahuan terjadi secara organik dan holistik, meniru model pewarisan tradisional yang rentan terhadap lelung.
Penting untuk membuat tradisi itu relevan dan menarik bagi generasi Z dan Alpha. Hal ini bisa berarti mengawinkan musik tradisional dengan genre modern, atau menggunakan media sosial dan platform video untuk menceritakan kisah-kisah lelung dengan cara yang menarik. Relevansi adalah vaksin terbaik melawan keterlupaan.
Seringkali, individu yang memegang kunci untuk membuka kembali pintu-pintu lelung adalah mereka yang secara ekonomi dan sosial terpinggirkan—para sesepuh di pelosok desa yang masih mempraktikkan ritual kuno. Pemerintah dan lembaga kebudayaan harus memberikan dukungan finansial dan pengakuan sosial yang kuat kepada para praktisi ini.
Mengubah status mereka dari 'orang kuno' menjadi 'penjaga harta tak ternilai' adalah perubahan narasi yang mendasar. Tanpa dukungan nyata, mereka akan terpaksa meninggalkan praktik mereka demi mencari penghidupan yang lebih stabil, mempercepat kepergian pengetahuan mereka ke dalam ruang lelung.
Perjuangan melawan lelung bukanlah upaya untuk menjadi museum yang beku, melainkan proses dinamis yang memungkinkan budaya tradisional berinteraksi dengan dunia modern. Identitas kontemporer berperan besar dalam menentukan apakah suatu warisan akan tetap hidup atau masuk ke dalam sejarah terlupakan.
Agar tidak menjadi lelung, tradisi harus bernapas. Ini berarti mengizinkan modifikasi dan adaptasi yang bertanggung jawab. Misalnya, seorang desainer busana yang menggunakan motif tenun yang hampir lelung dan menerapkannya pada pakaian siap pakai modern. Ini tidak menodai tradisi, tetapi memberikannya fungsi dan pasar baru, menjamin kelangsungan hidup motif tersebut.
Keseimbangan harus dijaga: inovasi tidak boleh mengorbankan esensi filosofis. Modifikasi harus dilakukan dengan pemahaman mendalam tentang warisan yang dilelung. Jika inti dari tradisi tersebut adalah ritual, maka adaptasinya mungkin berupa pertunjukan yang mempertahankan kesakralan tetapi disajikan dalam format yang dapat diakses oleh khalayak urban yang beragam.
Konsumen modern juga memiliki peran besar dalam memerangi lelung. Ketika masyarakat memilih produk yang dibuat secara tradisional, mendukung pengrajin lokal, dan menanyakan asal-usul budaya dari barang yang mereka beli, mereka menciptakan permintaan ekonomi yang diperlukan untuk mempertahankan praktik-praktik yang hampir punah.
Etika konsumsi ini menuntut kesadaran bahwa keindahan dan filosofi yang terkandung dalam sebuah artefak tradisional memerlukan waktu, keahlian, dan sumber daya, yang harus dihargai secara wajar. Jika masyarakat hanya memilih replika massal yang murah, mereka secara tidak langsung mendorong keahlian asli untuk menjadi lelung.
Salah satu medan perang terbaru melawan lelung adalah internet. Narasi yang kuat, video dokumenter yang mendalam, dan kehadiran aktif di platform digital dapat menghidupkan kembali minat terhadap subjek yang terlupakan. Menerjemahkan kearifan lokal ke dalam bentuk podcast, vlog, atau thread media sosial memungkinkan penyebaran yang cepat dan menjangkau audiens global.
Namun, bahayanya adalah simplifikasi. Untuk melawan lelung, narasi digital harus autentik dan jujur terhadap kompleksitas warisan tersebut, menghindari penggunaan tradisi hanya sebagai latar belakang eksotis tanpa makna mendalam. Mengubah lelung menjadi konten yang bermakna adalah tantangan besar bagi para kreator di era digital.
Meskipun lelung adalah kondisi kehilangan, ia juga berfungsi sebagai pengingat. Ia mengingatkan kita bahwa budaya bukanlah entitas statis; ia adalah sungai yang terus mengalir, dan jika kita berhenti menjaganya, ia akan kering. Kesadaran akan lelung mendorong introspeksi kolektif: Apa yang telah kita abaikan? Berapa harga yang harus kita bayar atas ketergesaan kita?
Semua hal di dunia ini berada di bawah bayang-bayang keterlupaan, tetapi beberapa tradisi memiliki daya tahan yang luar biasa. Tradisi yang bertahan melawan lelung adalah mereka yang berhasil menanamkan diri mereka sedalam mungkin di hati dan praktik sehari-hari. Ritual yang dilakukan secara kolektif, cerita yang diulang-ulang di ranjang tidur, lagu yang dinyanyikan saat bekerja—ini adalah benteng pertahanan paling efektif melawan lelung.
Jika kita menerima lelung sebagai bagian tak terhindarkan dari sejarah, kita menjadi lebih sadar dan menghargai apa yang masih kita miliki. Perjuangan melawan lelung adalah perjuangan untuk mempertahankan konteks kemanusiaan kita, memastikan bahwa kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi tanpa akar, tetapi pewaris peradaban yang kaya akan makna dan sejarah.
Upaya kolektif untuk membangun 'pustaka ingatan' yang tahan terhadap lelung harus melibatkan institusi dan individu. Setiap keluarga, misalnya, harus didorong untuk mendokumentasikan sejarah lisan mereka sendiri: cerita tentang kakek-nenek, resep masakan yang hilang, atau foto lama dengan konteks yang jelas. Ketika ingatan mikro ini terkumpul, mereka membentuk jaringan yang kuat yang sulit ditembus oleh lelung.
Melawan lelung adalah tugas yang tidak pernah selesai. Ia adalah sebuah panggilan abadi untuk terus bertanya, untuk terus mencari, dan untuk terus menghormati apa yang telah ditinggalkan oleh generasi sebelumnya. Bahkan jika kita hanya mampu menyelamatkan sehelai benang dari tenun yang hampir terlupakan, helai benang itu sudah cukup untuk mengingatkan kita tentang betapa luasnya permadani yang pernah ada.
Lelung adalah peringatan bahwa globalisasi dan modernisasi tidak serta merta membawa kemajuan universal tanpa mengorbankan kekayaan lokal. Ia menuntut agar kita tidak hanya menjadi penduduk masa kini, tetapi juga penjaga masa lalu dan arsitek masa depan, memastikan bahwa permata-permata kearifan lokal tidak tenggelam dalam keheningan abadi keterlupaan.
Perjalanan ini panjang dan penuh tantangan. Setiap desa, setiap komunitas, memiliki kisah lelung mereka sendiri, kisah-kisah tentang lagu yang tak lagi dilantunkan, tarian yang tak lagi dipertunjukkan, atau ilmu pengobatan yang tak lagi dipercaya. Kita harus bersedia mendengarkan keheningan yang ditinggalkan oleh lelung, karena di dalam keheningan itu terdapat petunjuk tentang identitas kita yang sebenarnya, yang harus kita genggam erat sebelum benar-benar lenyap ditelan waktu.
Mengatasi lelung juga berarti menerima bahwa beberapa hal memang harus bertransformasi. Bukan berarti menolak perubahan, melainkan memastikan bahwa perubahan itu berbasis pada kesadaran dan penghormatan terhadap apa yang telah ada. Jika kita berhasil melakukan ini, maka istilah lelung mungkin akan berubah dari penanda kehilangan menjadi penanda kewaspadaan—sebuah kata yang mengingatkan kita untuk tidak pernah berhenti merawat ingatan.
Kita harus menjadikan setiap praktik, setiap bahasa, dan setiap karya seni yang tersisa sebagai monumen yang hidup, sebuah perayaan atas daya tahan spiritual dan kreativitas manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa warisan Nusantara akan terus mengalir, menembus batas waktu, jauh dari jurang keterlupaan yang disebut lelung. Tugas ini, pada dasarnya, adalah tugas kemanusiaan—tugas untuk selalu mengingat, meskipun dunia terus mendesak kita untuk melupakan.
Memeluk yang terlupa, menyelamatkan yang hampir hilang. Lelung bukan akhir, melainkan awal dari sebuah pencarian abadi.